Setelah menilik perspektif tiga filsuf besar dalam memaknai hidup pada bagian pertama ulasan buku “Menghilang, Menemukan Diri Sejati”, bagian kedua ulasan buku ini akan membahas pemaknaan hidup dari sudut pandang agama, aliran kepercayaan, dan pemikiran salah satu toko besar dunia.

Hakikat Hidup dan Kehidupan dalam Hindu

Ada lima dasar keimanan dalam Hindu, percaya adanya brahman; percaya adanya atman; percaya adanya karmaphala; percaya adanya samsara (reinkarnasi); dan percaya adanya moksha. Kelima konsep ini dapat dengan mudah dipahami melalui penjabaran di buku ini karena penulis kerap kali melakukan passing over dengan mengaitkannya dengan konsep serupa dalam Islam. Dalam terminologi agama Ibrahim, padanan brahman itu adalah Tuhan; atman adalah jiwa manusia; karmaphala adalah kausalitas hukum alam duniawi; samsara adalah kausalitas di level ruhani; dan moksha merupakan kebebasan ruhani yang menjadi tujuan/puncak kehidupan.

Brahman digambarkan sebagai sesuatu yang mysterium, tremendum, dan vaccinatum. Misterius karena susah sekali dipahami, menggentarkan sehingga menjadikan orang merasa takut dan kecil, tetapi sangat memesona sehingga orang tetap ingin mendekatinya. Konsep berikutnya, atman, cukup dalam dibahas oleh penulis. Atman diibaratkan sebagai “sinar” yang berasal dari brahman. Atman seharusnya menjadi tujuan hidup manusia. Adapun agama, utusan, ajaran, atau nabi sebenarnya petunjuk dari brahman agar kita bisa menemukan atman.

Dua konsep lainnya, karmaphala dan samsara (reinkarnasi) dijelaskan saling terkait satu sama lain. Karma merupakan hukum sebab-akibat yang mengatur bahwa manusia akan menanggung akibat dari segala perbuatannya. Ketika manusia mati, jiwanya akan menanggung balasan perbuatannya dengan terlahir kembali di dalam tubuh yang baru, sehingga merasakan samsara atau sengsara luar biasa. Siklus ini akan terus terjadi hingga manusia mencapai moksha. Penulis menggunakan konsep ilaihi roji’un (“bertemu” dengan Allah) dalam Islam untuk menjelaskan moksha. Ketika sudah moksha, seseorang sudah diridhai dan dia sendiri ridha sampai kepada Allah.

Selanjutnya, bab ini juga menjelaskan tentang tujuan hidup dalam gagasan Hinduisme. Orang Hindu mempunyai empat tujuan hidup, yang harus dilalui secara berurutan dari tahapan paling bawah; artha (uang), kama (kesenangan, fisik, emosi), dharma (kebajikan), dan moksha (keselamatan atau kebebasan). Jika satu tahapan tidak beres, maka seseorang tidak akan bisa naik ke tahap berikutnya. Dalam konsep Islam, kita harus kaya dulu baru kita bisa tidak suka terhadap dunia atau materi. Begitu pun dengan kama, tidak bisa potong jalan langsung ke moksha, pasti terjadi kekacauan. Tidak mengherankan apabila kita menemui fenomena seorang kiai yang menghamili santrinya. Ini karena urusan kama-nya belum beres.

Perjalanan Mencari Cahaya dalam Buddhisme

Seperti Hinduisme, Buddhisme sebenarnya masih bergaya Weda. Akan tetapi, ada beberapa ajaran Hinduisme yang ditolak oleh Buddhisme. Beberapa di antaranya, Buddhisme menggeser orientasi beragama Weda, dari orientasi tekstual menuju orientasi pengalaman; mengkritik sistem kasta; menolak kepercayaan politeisme Hindu; dan menolak sistem kependetaan dalam Hinduisme yang dinilai eksklusif. Buddhisme lahir dari buah perjalanan mencari cahaya (mencari kunci kehidupan) yang dilakukan oleh “founding father“-nya, Siddharta Gautama, setelah mencoba berbagai jalan, seperti meditasi, ritual ibadah, hingga uzlah. Apa yang diperoleh setelah mendapatkan pencerahan ini dirumuskan menjadi empat kebenaran mulia dalam Buddhisme.

Buddhisme merumuskan empat kebenaran mulia yang menjadi nyawa ajaran agamanya, yaitu dukkha, sebab dukkha (samudaya), lenyapnya dukkha (niroda atau nirwana), dan jalan akhir menuju dukkha (magga). Hal pertama yang diingat oleh Siddharta Gautama setelah mendapatkan pencerahan adalah bahwa hidup ini punya karakter dukkha. Hakikat hidup manusia itu penuh penderitaan. Setelah menyadari bahwa hidup ini penuh penderitaan, lahirlah kebenaran kedua tentang sebab dukkha (samudaya) yang mengatakan kunci penderitaan itu ada pada diri sendiri. Ini karena manusia terus-menerus menuruti nafsunya (tanha), mengalami kebodohan, atau kegelapan batin (avijja), sehingga hidup akan terasa berat luar biasa.

Kebenaran yang ketiga adalah niroda atau nirvana. Ini adalah kondisi yang tidak bisa dijelaskan dan dirasakan ketika semua dukkha sudah tuntas. Nirvana tidak sama dengan surga yang ada dalam bayangan kebanyakan orang. Nirvana adalah ketika batin kita merasakan tenteram luar biasa karena tidak lagi punya beban atau hasrat. Kebenaran terakhir, Magga, dibahas cukup panjang dalam buku ini. Intinya, agar manusia bebas dari dukkha, ada delapan jalan yang harus ditempuh. Kedelapan jalan mulia ini terbagi dalam tiga tema besar, yaitu panna prajna (kebijaksanaan), sila (moralitas) dan samadhi (konsentrasi).

Sebagai penutup pada bab ini, saya akan membahas secara ringkas tentang filsafat ehipassiko dalam Buddhisme. Filsafat ini berlawanan dari kepercayaan semua agama lainnya yang menyuruh manusia untuk percaya. Sebaliknya, ehipassiko menyuruh manusia untuk membuktikan dan mengalami sendiri. Menurut Buddha, agama itu esensial bagi manusia, maka dari itu, jangan mengambil jarak dengannya. Alami lah dia secara langsung.

Antara Hidup Agresif dan Menyerah Menurut Gandhi

Di bagian terakhir ulasan buku ini, kita akan mengenal sosok Mahatma Gandhi dan gagasan yang melandasi gerakan monumental yang dipimpinnya. Salah satu gerakan Gandhi yang tercatat di sejarah adalah keberhasilannya mengusir penjajah Inggris dari India dengan gerakan anti-kekerasan. Landasan pertama gerakan Gandhi adalah satyagraha, yang bisa diartikan sebagai “hidup dalam kebenaran”. Gandhi berargumen bahwa hidup dalam kebenaran sama dengan hidup demi Tuhan. Yang mana merupakan kebenaran ini tidak perlu ditanyakan lagi, karena dapat dijawab oleh hati kecil dan akal yang sehat. Dari satyagraha ini lahir prinsip berikutnya yang bernama ahimsa.

Secara harfiah, “ahimsa” berarti tidak menyakiti. Ini adalah lawan dari “himsa” yang bermakna keras, agresif, dan suka menyakiti. Ahimsa bukan hanya menolak untuk membunuh dan menyakiti saja, tapi juga menolak keinginan untuk menyakiti dan membunuh. Selain itu, ahimsa juga berarti tidak mau menyakiti hati orang lain dan tidak membenci apa pun yang terjadi. Terakhir, ahimsa juga dijelaskan tidak membuat orang lain marah dan tidak mencari keuntungan sendiri dalam hubungan apa pun dengan orang lain.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa ahimsa memiliki aksioma untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan orang untuk ahimsa dan kenapa harus orang harus ahimsa. Aksioma ahimsa meliputi, bersihkan diri kita; asah kemampuan dan kerelaan; yakin bahwa kelembutan lebih kuat daripada kekerasan; karena itulah ahimsa tidak pernah kalah; dan ahimsa tidak memikirkan kemenangan. Jika visi ahimsa kita terapkan dalam hidup, hidup akan jauh lebih tenteram. Dasar berpikir ahimsa yang anti-kekerasan bukan berarti harus menyingkir dari kehidupan sehari-hari. Ahimsa diibaratkan sebagai titik tengah antara hidup yang agresif dan menyerah.

Gagasan Gandhi terakhir yang akan dibahas adalah swadesi, yaitu mencintai tanah air dengan cara mengabdikan hidup untuk tanah air. Hidup kita adalah pengabdian di semua level. Pengabdian dimulai di lingkup keluarga. Jika keluarga kita sudah bagus, pengabdian dilanjutkan untuk kebaikan masyarakat, hingga pengabdian untuk negara. Jadi, jangan menuntut negara, lingkungan, atau keluarga, tetapi mengabdi lah, sekecil apa pun yang kita mampu. Kesadaran swadesi ini yang membuahkan keberhasilan dalam perjuangan Gandhi untuk menyatukan warga India dalam melawan penjajah.

Demikianlah ulasan dari bagian kedua buku “Menghilang, Menemukan Diri Sejati”. Masih banyak wawasan yang dimuat dalam buku ini yang tidak tersentuh dalam ulasan ini dan sangat menarik untuk disimak dengan membaca bukunya langsung. Setelah menyelesaikan membaca buku ini, saya merasa tersadar bahwa sangat tidak pantas untuk menghakimi kebenaran orang lain. Banyaknya agama di dunia menunjukkan bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih. Tuhan lah yang akan menghisab di akhir perjalanan. Wallahu a’lam.

Baca juga: Menghilang, Menemukan Diri Sejati (Bagian 1)

Keterangan:
Passing over: menggunakan kacamata orang lain untuk melihat sesuatu dengan lebih jelas
Weda: kitab suci agama Hindu yang berisi kumpulan wahyu dari Brahman
Mysterium: istilah bahasa latin yang berarti misterius
Tremendum: istilah bahasa latin yang berarti menggetarkan
vaccinatum:: istilah bahasa latin yang berarti memesona/menarik
Founding father: istilah yang digunakan untuk merujuk pada tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam pembentukan dan pendirian sebuah negara atau organisasi
Uzlah: istilah dalam bahasa Arab yang merujuk pada sebuah tindakan atau kondisi menjauhkan diri dari kehidupan sosial untuk mengisolasi diri dalam rangka memperdalam ibadah dan ketaatan kepada Allah.
Harfiah: menurut huruf, kata demi kata
Aksioma: pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian

Penulis: Irfani Sakinah
Editor:
Faudzan Farhana
Ilustrasi:
Irfani Sakinah
Gambar:
Canva

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!