Quarter-life milestone hits me hard.
Sedikit-sedikit FOMO, self-doubt, dan berbagai krisis identitas lainnya. Beberapa minggu lalu, saya bersua dengan salah satu teman SMA di salah satu kafe di bilangan Jakarta Selatan. Lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal saya yang tidak lagi termasuk dalam singkatan “Ja” pada Jabodetabek. Tapi, setelah sekian lama berinteraksi dengan orang-orang hanya secara virtual, interaksi langsung dengan manusia nyata rasanya sangat saya butuhkan saat itu.
Ada banyak topik yang kami bicarakan di pertemuan tersebut. Yang paling menarik adalah saat teman saya bercerita bahwa dia rutin “ngaji” dalam satu kelompok, dan dia pun membahas materi yang dia peroleh dan diskusikan. Menurut saya, perspektif yang diambil dalam mempelajari Islam di kelompok ngaji teman saya tersebut cukup menarik, karena mengkaji Islam tidak hanya melalui sumber kebenaran kitab, tapi memadukannya dengan berbagai konsep filsafat agar lebih mudah dipahami melalui penalaran.
Singkat cerita, cerita teman saya membuat saya FOMO dan mendorong saya untuk mencari bacaan yang menawarkan sudut pandang religius-spiritual maupun filosofis-eksistensial. Setelah mencari-cari, akhirnya saya menemukan buku “Menghilang, Menemukan Diri Sejati” karya Fahruddin Faiz. Pada tulisan ini, saya mencoba untuk merangkum poin-poin penting yang saya pahami dari buku tersebut.
Aku Berpikir, Maka Aku Ada
Bagian paling awal buku ini menjabarkan pemikiran dari filsuf rasionalis yang dijuluki “Bapak Filsafat Modern”, yaitu Rene Descartes. Menurut Descartes, untuk memperoleh kebijaksanaan dalam hidup, seseorang harus terus-menerus meragukan dan mempertanyakan apa pun. Ketika kita meragukan segalanya – baik dunia materiil dan spiritual – niscaya kita akan sampai pada titik bahwa ada sesuatu yang bisa dipercaya. Dari sinilah lahir adagium yang sangat terkenal dari Descartes; Corgito ergo sum. Aku berpikir, berarti aku ada. Sosok aku yang sedang berpikir tidak bisa dibantah karena siapa lagi yang meragukan mimpi, meragukan Tuhan, dan segala macamnya?
Lalu, bagaimanakah manusia bisa berpikir? Menurut Descartes, dari innate ideas atau gagasan bawaan. Adanya proses berpikir menunjukkan bahwa kesempurnaan di dalam pikiran itu terus berkembang, meskipun kita tidak benar-benar menjadi sempurna. Dengan demikian, secara logika, puncak kesempurnaan itu ada, dan di sinilah kita menemukan Tuhan. Hikmah pemikiran Descartes mendorong manusia untuk menggunakan akalnya untuk berpikir, seperti beberapa sindiran dalam Al-Quran, afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir), atau afala yatadabbarun (apakah mereka tidak merenung).
Gagasan Descartes yang juga sangat terkenal adalah Dualisme. Kata Descartes, di antara semua hal dalam kehidupan ini, yang paling unik adalah manusia sebab manusia punya dua unsur sekaligus: res extensa (materi) dan res cogitans (mind/pikiran sadar). Berbeda dengan hewan yang tidak memiliki kesadaran, yang mendorong dan menggerakkan segalanya pada manusia adalah dimensi jiwanya. Untuk itu, dalam beberapa tulisannya, Descartes berpesan bahwa untuk mengendalikan badan secara sehat, maka jangan terlalu suka, jangan terlalu benci, jangan terlalu kagum, jangan terlalu semangat, jangan terlalu gembira, dan jangan terlalu sedih.
“It is not enough to have a good mind; the main thing is to use it well.”
– Rene Descartes (1596-1650)
Hidup Bebas Berbekal Intuisi
Perspektif tentang diri dan kehidupan berikutnya yang dielaborasi dalam buku ini datang dari filsuf Prancis bernama Henri Bergson. Bergson beranggapan bahwa akal dapat bersifat lemah, sehingga diperlukan kemampuan manusia lainnya, yang meliputi nurani, naluri, dan imajinasi. Akal tidak bisa mencari hakikat dalam kehidupan. Tidak mengherankan apabila hubungan sesama manusia akan terasa kering jika hanya berlandaskan akal, tanpa disertai nurani.
Selanjutnya, Bergson mengemukakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis: knowledge about atau pengetahuan diskursif dan knowledge of atau pengetahuan intuitif. Konsep ini mirip dengan gagasan Imam Al-Ghazali bahwa ada ilmu hushuli dan ada ilmu hudhuri. Ilmu hudhuri sama dengan knowledge of – ilmu yang hadir dalam diri kita. Knowledge about itu hanya “kata orang”, sementara knowledge of itu mengalami dan mengetahui sendiri.
Implikasi teori Bergson mengenai dua jenis pengetahuan tersebut berpengaruh pada moral tertutup (aturan moral hanya berlaku untuk masyarakat itu sendiri, yang bukan mereka berarti berbeda) dan moral terbuka (terbuka, universal, melihat seluruh manusia itu sama). Tidak ada yang bersifat negatif maupun positif, karena keduanya bersifat reduktif. Adapun jembatan keduanya – menurut saran Bergson – adalah rasionalitas. Dengan rasionalitas, kita bisa membedakan mana urusan yang harus melibatkan semua orang dan mana yang lakum dinukum waliyadin.
“The eye sees only what the mind is prepared to comprehend.”
– Henri Bergson (1859-1941)
Hidup itu Absurd, Jangan Lari Dirinya
Menurut saya, bagian ketiga buku ini adalah bagian yang paling menarik. Tidak hanya karena cukup kuat menggema dengan kegelisahan yang sedang saya lalui. Namun, konsep absurditas yang selama ini sulit saya pahami dapat terjelaskan dengan baik di buku ini. Pemikiran absurditas ini digagas oleh Albert Camus yang merupakan peraih penghargaan Nobel Sastra.
Absurdisme merupakan filsafat pemikiran yang menyatakan bahwa upaya-upaya manusia untuk menemukan makna-makna batin – yang tertinggi, terdalam – akan sepenuhnya gagal, sehingga bersifat absurd. Kodrat manusia seutuhnya menginginkan adanya penjelasan yang sifatnya menyeluruh, sementara di lain pihak, dunia hanya memberikan penjelasan setengah-setengah. Salah satu contoh absurditas manusia adalah ketika mereka membuat aturan sendiri, tetapi ketika direpotkan oleh aturan tersebut, aturan itu dihapus sendiri, kemudian membuat aturan baru lagi.
Untuk menghadapi absurditas, Camus merekomendasikan untuk mengakui saja bahwa hidup ini memang absurd. Kemudian, ciptakanlah makna sendiri untuk hidup kita. Mungkin makna tersebut tidak objektif, tetapi setidaknya bisa membuat hidup kita menjadi lebih berharga. Pemberian makna dalam hidup ini dapat dilakukan setelah kita terbebas dari belenggu-belenggu yang menghalangi kemajuan kita. Kebebasan yang kita miliki ini akan berperan pada pembentukan moral dan integritas manusia. Manusia dikatakan bermoral jika melakukan sesuatu berdasarkan hasil keputusan sendiri, bukan berdasarkan paksaan atau komitmen tertentu.
“I don’t want to be a genius. I have enough problems just trying to be a man.”
– Albert Camus (1913-1960)
Itulah setengah bagian pertama penjabaran buku “Menghilang, Menemukan Diri Sejati”. Hal lain yang menjadi perhatian saya di buku ini adalah nasihat penulis untuk menempatkan pemikiran tokoh-tokoh yang kita pelajari agar kompatibel dengan hidup kita. Misalnya saja, kajian tasawuf yang banyak menyuruh tawakal kepada Allah SWT, bisa saja sebagiannya tidak kompatibel dengan hidup kita yang saat itu butuh berjuang dan maju. Menurut saya, pemikiran ini sangat bijaksana, namun sering kali terluput dari benak.
Buku ini sangat cocok untuk siapa saja yang ingin “belanja” wawasan dan memperkuat keyakinannya melalui penalaran. Seperti pepatah “Ada banyak jalan menuju Roma”, berbagai argumen dalam buku ini membuat saya, yang sedang dalam krisis, meninjau kembali apakah jalur yang umumnya diambil orang benar-benar merupakan jalur kebenaran. Lebih penting lagi, apakah jalur tersebut sesuai dengan kebutuhan diri sendiri? Di bagian kedua ulasan buku ini, belanja wawasan akan dilanjutkan dengan meninjau perspektif Hindu, Buddhisme, dan pemikiran Gandhi dalam memaknai hidup.
Baca juga : Islam Tuhan, Islam Manusia
Keterangan:
FOMO= singkatan dari fear of missing out, istilah kolokial yang digunakan untuk menggambarkan situasi ketika seseorang terus menerus berupaya mengikuti tren hanya karena tidak ingin dianggap “ketinggalan”
self-doubt= istilah bahasa Inggris yang dapat diterjemahkan sebagai “meragukan kemampuan diri sendiri”
Adagium= pepatah; peribahasa
Penulis: Irfani Sakinah
Editor: Faudzan Farhana
Ilustrasi: Irfani Sakinah
Gambar: Canva
[…] menilik perspektif tiga filsuf besar dalam memaknai hidup pada bagian pertama ulasan buku “Menghilang, Menemukan Diri Sejati”, bagian kedua ulasan buku ini akan membahas pemaknaan hidup dari sudut pandang agama, aliran […]