Antara Takdir, Jepang, dan Monbugakusho

Antara Takdir, Jepang, dan Monbukagakusho

Posted by

Seorang wanita muda tengah beristirahat setelah menemui klien di salah satu ruangan di Wisma Kalla. Handphonenya yang tergeletak di meja tiba- tiba berdering. Tampak di layar tertera ‘Family Kk Ye2kw Chayank’. Kemudian bergegas diangkatnya.

“Assalamu’alaikum. Eka dek, di manako sekarang?” kata suara di seberang sana.

“Wisma Kalla kak, kenapa?” jawab Eka.

“Cocokmi! Coba kau tanyakan adakah Konsulat Jenderal Jepang di sana? Kalau betul, tanya apa syarat pengurusan visa,” itulah amanah yang sampai padanya.

Wanita ini berpikir sejenak, seingatnya dia pernah dengar Konjen Jepang sudah tidak ada di Makassar. Tapi, batinnya berkata, tidak salahnya bertanya. Dan ternyata benar, Konjen Jepang ada di Lantai 7 Wisma Kalla.

Sepanjang yang diingatnya, pemeriksaan di sana jauh lebih ketat. Setelah menyerahkan KTP, dia diantar seorang satpam. Tak lama kemudian, muncul seorang wanita berhijab.

“Kak, sejak kapan Konjen Jepang pindah ke sini? Kukira malah sudah tidak adami di Makassar. Dulu saya biasa ke Ahmad Yani,” kata Eka pada wanita berhijab yang ditemuinya.

“Oh, dulu urusan apa?” tanya wanita berhijab itu kemudian.
“Temani kakakku, dulu dia sempat dapat Monbusho,” timpal Eka.

Wanita berhijab tadi memandangnya sejenak lalu berkata,
“Bukan Mukarramah kakakta? Yang sejak S1 di Jepang kan?”

“Yah begitulah kalau kita mirip,” ucap Eka kembali menimpali.

“Astaga, di mana Mukarramah sekarang? Ada dulu kakakta di atasnya Mukarramah yang heboh sekali. Lulus Monbukagakusho tapi karena telat infonya jadi tidak berangkat. Karena di daerah kodong tinggal,” ujar wanita berhijab tadi mulai bercerita.

Sedikit terkejut, Eka tiba- tiba berucap,
“Oh, masih kita ingat rupanya?”

“Iya, heboh dulu soalnya lulusan SMA,” lanjut wanita tadi.

Lalu, ingatan Eka melayang ke waktu 15 tahun silam.

Flashback

Sebuah pengumuman kelulusan baru saja keluar. Nama remaja yang baru lulus SMA itu tercantum sebagai calon mahasiswa jalur bebas tes di Jurusan Kedokteran Universitas Hasanuddin (Unhas). Kabar ini seperti membuatnya tak punya beban untuk masa depan. Tapi, ia masih punya cita- cita lain.

Remaja ini kemudian mengikuti seleksi masuk PTN yang kala itu bernama UMPTN.  Jurusan Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) menjadi pilihannya. Selain itu, ia juga mencoba mengikuti tes beasiswa ke Jepang. Tak disangka, ia lulus di Kedokteran UGM. Biaya untuk satu semester di Unhas terpaksa harus diikhlaskan. Uang semester itu memang sengaja dibayar untuk berjaga- jaga andai ia tidak lulus UMPTN.

Berbekal doa dari keluarga, ia berangkat dengan kapal laut. Lalu, beberapa bulan kemudian pengumuman Monbukagakusho keluar. Remaja itu, yang tak lain adalah Kakakku yang bernama Yenni Yusuf dinyatakan lulus. Alhamdulillah, Kak Yenni dapat panggilan tes untuk wawancara di Jakarta.

Kami berasal dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Saat itu, keluarga tidak memiliki telepon rumah. Saat mendaftar Beasiswa Monbukagakusho, Kakak hanya mencantumkan nomor telepon keluarga. Takdir berkata lain, informasi jadwal wawancara terlambat kami ketahui. Rejeki tertunda ke Jepang, Kak Yenni tidak sempat mengikuti tes wawancara.

Ditakdirkan ke Jepang

Lima belas tahun berlalu. Setelah menyelesaikan kuliah S1 di Kedokteran UGM dan sempat melanjutkan S2 dengan beasiswa AAS di Australia, Kak Yenni ditakdirkan kembali kuliah dan beasiswa LPDP mengantarnya ke Universitas Kanazawa. Tidak ada yang tahu rahasia Allah, kakakku ternyata berjodoh dengan Negeri Sakura.

Mendengar cerita wanita berhijab tadi, Eka hanya bisa tersenyum.
“Kakakku itu yang mau tanya tentang pengurusan visa. Alhamdulillah lulus S3 di sana.”

Jika harapanmu tak menjadi nyata,
jangan pernah lelah untuk berusaha
dan melangitkan pinta.

Jangan ragu dan kehilangan percata,
karena Dia selalu punya jalan cerita indah
dalam skenario-Nya.

@kangihsan_

Penulis : Kartika Yusuf
Editor : Uli’ Why, Faudzan Farhana
Ilustrasi : Uli’ Why
Gambar : Dokumentasi Pribadi, liburankejepang.com, natureindex.com

2 comments

Leave a Reply