Sebagian besar orang menganggap hari Senin berat untuk dilalui. Bagi anak sekolah, beratnya karena harus ke sekolah lebih pagi dan ikut upacara. Hal itu juga yang dirasakan siswa Smudama. Meski jarak asrama dan sekolah hanya sekian meter dan tinggal berjalan kaki. Tapi, hari Senin seperti menjadi tantangan tersendiri.
***
Gumi bergegas menyetrika seragam sekolahnya. Ia belum mandi dan sarapan. Padahal, kurang sejam lagi upacara di sekolah dimulai. “Tidak lama lagi suara sirine toa bunyi ini,” pikirnya.
Sirine toa merah di Smudama memang sering menimbulkan kepanikan bagi siswa. Gumi jadi teringat saat awal masuk asrama. Suara dari toa biasanya terdengar subuh- subuh saat ia masih mengikuti masa orientasi siswa (MOS).
“Ngnggggggg….nggggggngngng, cepat larii !!” teriakan seksi keamaan panitia MOS akan diselingi suara dari TOA. Kalau sudah begitu, siswa akan berlari dari asrama hingga perpustakaan. Jalan yang mendaki dengan banyak anak tangga seringkali membuat kaki Gumi terbentur. Beruntung, ia tidak pernah benar- benar jatuh selama MOS. Meski jari kakinya sering bengkak akibat benturan di bebatuan tangga selasar.
Gumi sering senyum-senyum sendiri setiap kali mengingat masa-masa itu. Satu minggu yang penuh perjuangan, ia dan teman- temannya ditempa sebagai anak baru asrama, siswa SMA.
Kelar menyetrika, Gumi buru- buru mandi. Persediaan airnya tinggal seember. Ia hanya menggosok gigi, membasuh wajah, dan membasahi tubuhnya sebentar.
Meski lokasinya di gunung, tapi sumber air bersih sulit dijangkau di Smudama. Kebutuhan air di asrama hanya mengandalkan mobil tangki yang datang ke sekolah. Itupun, tidak setiap hari dan harus mengantre. Bahkan harus berebutan di antara ratusan siswa di asrama.
Gumi berlari kecil masuk ke kamarnya setelah mandi. Tubuhnya yang bongsor membuat langkahnya melambat. Tiba di kamar, tampak Tata dan Chaha sudah bersiap ke sekolah. Kedua gadis itu setahun belakangan jadi teman kamar Gumi.
“Apa sarapannya, Cha?” tanya Tata pada Chacha yang baru pulang dari ruang saji.
“Telur rebus kuah bakso.”
Tata hanya bergeming. Mendengar menu telur rebus kuah bakso, selera makannya hilang. Gumi pun sempat urung ke ruang saji. Tapi perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi. Ia khawatir jika tidak sarapan, bisa pingsan di tengah pelaksanaan upacara.
“Ta, ayo buruan ke ruang saji!” Gumi mencoba mengajak Tata karena enggan sendirian.
“Hmm, nggak deh. Saya ke Daeng Juli saja nanti.”
Jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul 07.00. Tanpa pikir panjang, Gumi setengah berlari menuruni tangga aspuri dan bergegas mengenakan sepatunya. Ruang saji sudah mulai sepi saat Gumi masuk. Ia berjalan sendirian dan mengambil ompreng.
“Kak, ada kecap?” Gumi bertanya ke pegawai ruang saji yang ditemuinya pagi itu.
“Habis, Dek.”
Gumi memasang wajah cemberut mendegarnya. Padahal, ia sudah membayangkan nasi putih dicampur kecap dan sambel akan sedikit mengurangi hambarnya telur rebus kuah bakso.
“Ya udahlah, makan ini saja dari pada nanti pingsan.”
Setelah duduk di pojok ruangan, Gumi berdoa sejenak dan mulai menyantap makanannya. Makan pakai ompreng dengan menu nasi putih, telur rebus setengah potong, dan kuah bening. Memang tak ada daging bakso dalam menu itu. Tapi, rasa asin dan gurih pada kuahnya mirip seperti kuah bakso. Meski tampilannya tidak membuat Gumi berselera, tapi ia berusaha menghabiskannya.
“Tidak ada yang boleh menyisakan makanan bahkan sebiji nasi sekalipun,” Gumi kembali teringat perkataan gurunya saat masa karantina di Smudama.
Seperti latihan militer, semua siswa diminta menghabiskan makanannya dalam waktu tertentu. Sang guru berkeliling memeriksa setiap ompreng siswa. Memastikan semua siswa mematuhi perintahnya. Tidak ada yang berani bersuara apalagi melawan.
Meski diawal terasa berat, Gumi bersyukur mendapat pelajaran hidup seperti itu. Baginya, menghabiskan makanan di ompreng juga bentuk penghargaan pada pegawai ruang saji.
“Mereka yang capek-capek masak dari subuh sampai malam. Masaknya juga untuk ratusan siswa di asrama. Masa iya, kita tega buang- buang makanan,” ucapnya suatu hari pada temannya yang ia pergoki menyisakan makanan.
Sudah banyak siswa yang berbaris rapi ketika Gumi tiba di lapangan sekolah. Lapangan dengan rumput hijau di depan kelas itu memang tidak begitu luas. Tapi, masih mampu menampung sekitar 300-an siswa dan belasan guru satu upacara.
Gumi hanya menyimpan tas di kelas lalu masuk ke dalam barisan. Nafas Gumi tak beraturan saat tiba di ujung lapangan. “Hhhhh, capek lari- lari, kirain sudah terlambat.”
“Tapi sudah sarapan ?” tanya temannya dan Gumi hanya mengangguk.
Gumi memang setengah berlari sejak keluar dari ruang saji. Ia takut dihukum jika terlambat masuk barisan. Belum lagi lokasi kelasnya berada di ujung. Berlari bolak- balik dari kelas ke lapangan tentu butuh tenaga ekstra. Apalagi tangga menuju kelasnya terbilang cukup curam.
“Gumgum, ada topimu satu lagi?” tanya salah satu teman kelasnya tiba- tiba, tak jauh dari tempatnya berdiri.
Aturan dalam upacara di Smudama memang terbilang ketat. Setiap siswa harus mengenakan atribut lengkap. Seragam harus rapi dengan ikat pinggang berwarna hitam, sepatu hitam, dan kaos kaki putih. Semua siswa akan diperiksa. Jika ketahuan melanggar, akan dihukum.
Cuaca pagi itu sangat cerah. Sinar matahari begitu menyengat. Upacara baru dimulai, tapi Gumi sudah kegerahan. Bulir- bulir keringat mulai membasahi area jidat dan hidungnya. Beberapa temannya tampak tidak tenang. Sementara itu, guru-guru yang berdiri di depan barisan mereka terus mengawasi, memastikan semua siswa tetap tertib.
“Please, jangan lama-lama ceramahnya, Pak.” Gumi menahan tawa mendengar suara temannya dalam barisan.
Ketika pasukan bendera merah putih kembali ke barisan, tiba- tiba saja terdengar suara keras. Seperti orang benda besar jatuh ke tanah. Gumi dan teman- temannya seketika panik mencari sumber suara. Beberapa orang terlihat meninggalkan barisan dan berkumpul.
“Siapa itu yang pingsan,” ucap teman Gumi yang berada di barisan depannya.
“Tata yang pingsan. Teman kamarmu Gum,” kata temannya yang lain. Gumi hanya berdiri bengong karena merasa tak mampu menolong. Karena berbeda kelas, tempatnya berdiri tadi lumayan jauh dari barisan Tata.
Usai upacara, Gumi bergegas ke kelas Tata. Dari pintu masuk, ia sudah melihat teman kamarnya itu terbaring lemas. Tak sendiri, rupanya ada Chacha yang duduk di sampingnya.
“Saya bilang memang pergiko sarapan,” ucap Chacha berdiri setelah melihat Gumi mendekat.
“Tapi, ndak sukaka sarapannya,” Tata menimpali dengan wajah cemberut.
“Biar ndak suka, makan saja biar ada tenagamu sedikit,” Chacha kembali menceramahi teman kamarnya itu. Sementara Gumi hanya melotot ke Chacha, seolah memberi kode untuk berhenti mendebat temannya yang tengah sakit.
“Kalau ndak kuat, pulang ke kamar Ta, nanti saya antar,” ucap Gumi kemudian. Tata hanya mengangguk dan mengulurkan tangannya. Tata dan Chacha kemudian membantunya bangun.
Tata akhirnya diantar beristirahat ke Aspuri. Sepanjang jalan, Gumi terus berpikir bagaimana agar teman kamarnya itu berhenti pilih- pilih makanan. Ia menyesalkan sikap Tata yang kerap tak mau masuk ruang saji jika menunya tidak sesuai harapannya.
Telur rebus kuah bakso, salah satu menu sarapan yang paling dihindari teman kamarnya itu. Meskipun di awal masuk asrama, Gumi juga tidak menyukai menu ini. Tapi, lambat laun Gumi belajar untuk menerima. Andai pagi itu ia tidak sarapan, mungkin ia juga ikut pingsan.
Menu sederhana itu seperti mengajarkan siswa untuk tak lupa bersyukur. Bisa jadi, kelak ketika mereka sudah ditempa di dunia kerja, kondisinya jauh lebih sulit. Tapi, kehidupan berasrama membuat mereka belajar untuk selalu beradaptasi dalam kondisi yang sulit itu. Bahwa, meski ketidaksukaan itu tidak terhindarkan, jika pilihannya bisa membantu untuk bertahan, kenapa tidak dilakukan?
Penulis : Uli’ Why
Editor : Faudzan Farhana
Gambar : Wilistya, Youtube Smudama, food.detik.com
[…] Mengutip dari binamutubangsa.com, istilah table manner pertama kali muncul pada tahun 1533 ketika bangsawan Perancis merasa perlu merubah tata-krama keluarga kerajaannya saat menikmati hidangan. Istri Raja Henry II, Catherine de’ Medici mulai memperkenalkan pemakaian serbet, hingga penataan peralatan di meja makan. Tentu saja, ruang makan bangsawan Perancis berbeda dengan Ruang Saji ‘Maccini Baji’ di Smudama. […]