Takdir memang tak pernah suka ditebak- tebak.
Jika kau terlalu iseng mendiktenya, pemiliknya seringkali akan memberimu kejutan yang tak terduga.
Aku sedang duduk menikmati sarapan di salah satu restoran cepat saji yang ada di bandara. Sesosok wanita bertubuh jenjang berjalan ke arahku. Ia nampak mengenakan tunik biru serta jilbab menjuntai khas kekinian berwarna senada. Wanita itu adalah Kanaya.
“Ra, kok nggak pernah cerita sih? Loe udah ketemu doi and say yes? Oh My God! Trus, kenapa tiba-tiba udah di sini? Untung gue liat status Raya pas mau berangkat nganterin loe ke Bandara,” ia belum sempat duduk di kursi, namun puluhan kata telah meluncur dari lisannya.
“Nay, untuk pertanyaan pertama, aku yakin kamu ngerti kenapa aku nahan untuk nggak cerita dulu sebelum semuanya fix. Untuk pertanyaan kedua, banyak yang mau diurus Nay. Karena aku mau semua prosesnya terjaga. Kamu tahu kan pernikahan impianku? Bahkan gaunnya dijahit sendiri sama Mama. Aku harus bantuin,” aku menjelaskan dan menutupnya dengan senyuman.
“Iya juga sih, kalau loe cerita ke gue, habis tuh doi gue kepoin dan seantero kampus juga mungkin bakal tahu. Hehehe. Tante juga kasian kalau ngurus- ngurus semua sendiri. Tapi beneran, loe cuma ketemu sekali trus say yes? Emang dia ganteng?” Kanaya melanjutkan sesi interogasinya.
“Iya Nay. Kan udah tahu latar belakangnya dari CV. Aku nggak merhatiin, nggak berani natap, malu. Pas SMA sih, “katanya” banyak yang nge-fans. Mungkin karena dia ketua OSIS,” jawabku sekenanya.
“Hahaha, dasar putri malu. Trus, kalau bukan karena ganteng, apa yang bikin loe yakin he’s the one, Ra? Kenapa bukan yang ngajuin proposal ta’aruf duluan lewat Teh Tiya? Tajir tuh dia. Atau nggak, sekalian nungguin Si Kay yang selama ini lo nantikan. Walaupun dalam diam sih. Gue heran aja gitu, kenapa nerima dia yang seolah ujug-ujug datang trus ngajak ta’aruf. Eeh langsung diterima. Such a perfect condition buat dia,” Kanaya masih menyerangku dengan rentetan pertanyaan bagai barisan commuter line di stasiun.
“Hmmm, sebenarnya aku juga nggak bisa mastiin he’s the one or not 100% Nay. Aku cuma ngerasa dia datang di waktu yang tepat. Hadir sebagai jawaban dari doa-doaku yang melangit beberapa bulan terakhir. Selain itu, dia datang dengan cara yang baik. Anggap aja, aku milih dia karena punya firasat baik. Cukup nggak tuh?” aku berusaha menjelaskan.
“Firasat tuh relatif Ra, heuh. Trus-trus, si akang yang ngasih proposal ta’aruf ke Teh Tiya juga baik. Kenapa nggak nerima dia?” Kanaya belum puas.
“Baik sih, tapi waktu itu kan kita belum lulus. Orang tuaku juga belum ngasih izin. Sekarang, udah boleh, hehehe,” aku hanya nyengir kuda.
“Trus, si Kay? Orang yang lo tunggu bertahun-tahun tanpa kejelasan? Udah move on?” Kanaya meledek.
“Bener yang kamu bilang, dia nggak jelas dan nggak pernah berani datang. Mungkin emang bukan dia yang aku butuhin buat jadi partner dalam ibadah panjang ini Nay.
Move on? Aku malah udah move up, Insya Allah untuk hal yang lebih baik,” jawabku sedikit bangga.
“Iya sih, gue juga nggak pernah setuju loe sama dia, terlalu kaku kayak kanebo, nggak peka. Hahaha. Satu lagi deh pertanyaan, sebelum gue cabut jemput nyokap. Status alumni Smudama juga jadi penyebab loe milih dia? Iyaa kaaan? Ini sih udah pasti nih jawabannya,” Kanaya mencoba menerka.
“Yes Mam, salah satu faktor valid. You know me so well, Nay. Udah ah sana, kasian Tante nungguin,” aku mendesak.
“Iya gue udah mau cabut. Baik-baik yaa persiapan nikahannya. Nanti kabarin kalau udah sampai rumah. Titip salam buat Mama juga,” Kanaya beranjak pergi.
“Iya, iya. See you soon Nay. Assalamu ‘Alaykum,” aku pun memberi salam perpisahan.
“Wa’alaykumussalam. Bye!” Kanaya melangkah menjauh sambil melambaikan tangan.
Smudama memang telah menjadi bagian hidupku. Tiga tahun masa SMA begitu membekas dan mewarnai diriku. Maka status Langit yang juga anak Smudama memiliki andil besar dalam keputusanku memilihnya. Aku akui itu.
~~~
Langit berhias arak- arakan awan yang terlihat dari jendela pesawat membawaku terbang pada kenangan tentang “Langit” 8 tahun lalu. Saat aku yang masih kelas X sedang menjalani Latihan Dasar Kepemimpinan. Dan kedapatan olehnya tidak serius menyimak materi. Ia menjabat sebagai Ketua OSIS yang harus berperan sebagai pemimpin forum yang tegas dan berwibawa kala itu. Ia menegurku dengan cukup keras, menurutku. Karenanya, momen itu sangat berkesan dan tak tertelan waktu.
Mungkin, itulah satu- satunya momen yang paling kuingat tentangnya. Selain nama, asal, serta statusnya sebagai kakak kelas XII dan Ketua OSIS.
Menikmati kenangan menjadikan perjalanan terasa singkat. Tak terasa pesawat sudah mendarat. Aku mengaktifkan smartphone setelah turun dari pesawat. Pesan teratas yang tertera adalah pesan Mama. “Kak, Angga yang jemputki di’ Nak. Ada acara pentingnya Bapak, baru mau ditemani. Adaji itu Nana sama Naila ikut menjemput.”
Aku mematung setelah membaca pesan Mama. Aku belum ingin bertemu dengannya lagi setelah proses nadzor. Setidaknya untuk saat ini, kami masih harus bersabar dalam ruang tunggu masing-masing.
bersambung
Arti kata asing :
Nadzor = “melihat” wanita yang akan dinikahi (salah satu tahapan dalam proses ta’aruf)
Penulis : Ana Ainul Syamsi
Editor : Faudzan Farhana
Ilustrasi : Uli’ Why
Gambar : Luke Stackpoole via unsplash.com