Hujan di penghujung Desember. Baru 15 menit yang lalu kami berhenti di sebuah kedai di ujung jalan. Aku memesan secangkir teh hangat dan Rangga memesan secangkir kopi. Kami duduk berhadapan di sebuah meja. Di sampingnya ada jendela besar berupa dinding kaca. Aroma robusta dan petrichor menemani cengkrama kami sore itu.
…
“Apa rahasia yang kamu simpan diam- diam selama kita SMA?” spontan Rangga bertanya padaku.
“Hah?” reaksiku sedikit terkejut.
“Apa ya? Hmm… pernah ngefans sama kakak kelas” jawabku.
“Siapa?” Rangga mengangkat alisnya.
“Kak Kica, sekretaris asrama,” jawabku lugas.
“Oh, kukira siapa. Yang kecil- kecil pake kacamata kan?” tanya Rangga penasaran.
Kami memang seringkali bernostalgia tentang masa- masa sekolah. Tak banyak kisah manis di antara kami, bahkan nyaris tak ada. Kami hanya teman kelas biasa yang sesekali saling bercanda. Tak pernah kusangka ‘Rumah Andalan’ menjadi mula pertemuan kami. Dan dengan seluruh caranya, semesta kemudian menyatukan kami dalam sebuah janji suci.
Di tengah obrolan kami, aku teringat akan sesuatu di masa lalu. Pertanyaan Rangga tadi, bak korek api menyalakan sumbu kenangan yang ada di dalam kepalaku.
Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. -Dee Lestari
Tiga belas tahun lalu aku pernah mempunyai seseorang seperti itu. Apakah masuk akal jika aku mengatakan ‘dari punggung turun ke hati’? Haha! Paling kalian akan mengejekku karena terlalu banyak menonton drakor. Tapi, bukankah kita memang tak pernah memilih dengan siapa dan bagaimana rasa itu hadir?
Sirine berbunyi, sekumpulan raut polos yang baru saja mengenakan seragam putih abu- abu berhamburan panik. Mereka berlarian menuruni anak tangga Perpustakaan Anakkukang. Hampir saja aku jatuh karena tersenggol.
“Di mana sepatuku? Padahal tadi kusimpan di sini,” bisikku sambil menggerutu.
“Ayo, lari! Lari!” teriak kakak seksi keamanan. Panikku semakin menjadi melihat teman lain yang sudah berlarian di sepanjang selasar. Aku mencoba mencari di sisi sebelah kiri, di sekitar tangga.
“Ah! Di situ ternyata, jauhnya nyasar!” kesalku dalam hati.
Aku lantas menunduk dan memakai sepasang sepatuku yang baru saja kutemukan. Pada detik itu juga, aku melihat sesosok punggung tinggi tegap sedang menaiki tujuh belas anak tangga. Jam dinding Sekretariat OSIS menunjukkan pukul 12.15 saat itu.
Belum sampai langkahnya mencapai anak tangga paling atas, seorang teman membuyarkanku.
“Weh, apa mubikin? Mauko dihukum karena terlambat?”
Aku langsung bergegas beranjak membawa ingatan akan sesosok punggung itu. Tentu aku tak tahu namanya. Hitam atau cokelatkah bola matanya dan setinggi apa batang hidungnya. Yang kutahu, di detik itu, saat dia berjarak sebanyak delapan anak tangga dariku, duniaku seakan berhenti. Mungkin, itulah kali pertamaku menjatuhkan hati.
bersambung
Arti klitika dalam dialeg Sulsel :
Mubikin = kamu perbuat
Ko = kamu, dalam percakapan santai digunakan kepada teman sebaya atau yang lebih muda
Arti kata asing :
Petrichor = aroma khas tanah setelah hujan
Akronim :
Drakor = drama Korea
Penulis : Farahlynaa
Editor & Ilustrator : Uli’ Why
Gambar : Dokpri penulis, Winarniks