Tiket Masa Muda dan Bahaya BiasaTiket Masa Muda dan Bahaya Biasa

Seishun Juhachi Kippu (青春18きっぷ, yang berarti kurang lebih “Tiket masa muda 18”; selanjutnya akan kita singkat dengan sebutan 18 kippu) adalah tiket khusus yang dijual setiap musim liburan di Jepang. Tiket ini berlaku di seluruh Jepang dan memungkinkan pemiliknya untuk naik kereta sepuasnya selama 5 hari menggunakan kereta lokal/rapid JR (Japan Railways). Dengan harga 12,050 yen atau 2,410 yen per hari, tiket ini bisa menjadi opsi yang sangat ramah dompet.

Jika Anda datang ke Jepang sebagai mahasiswa, saya merekomendasikan untuk mencoba tiket ini. Setidaknya, sekali selama Anda di sini, jika Anda datang sebagai turis? Tidak usah mencari penyakit dan silahkan menggunakan JR Pass (tiket terusan yang tidak bisa digunakan orang berdomisili Jepang). Mengapa demikian? Karena dengan JR Pass kita bisa naik shinkansen, sedangkan dengan 18 kippu kita terbatas dengan kereta lokal/rapid.

Untuk perbandingan, waktu tempuh Tokyo→Shin Osaka dengan shinkansen adalah 174 menit dan kita tinggal duduk manis di dalam kereta menikmati pemandangan. Jika menggunakan kereta lokal/rapid? 556 menit dengan 6 kali transfer! Ya, sesuai namanya tiket ini membutuhkan semangat masa muda ala Guy-Sensei.

Saya sendiri sudah berkali-kali memakai 18 kippu dan ingin membandingkan salah dua dari perjalanan tersebut, semoga ada pelajaran yang bisa kita petik dari cerita ini.

Trip 1: Jauh dan Ramai

Perjalanan ini terjadi saat musim dingin 2015, saat itu saya sedang menjalani tahun pertama di kampus D3 dan belum mengenal yang namanya sakit pinggang.

Memasuki liburan musim dingin, ada kegiatan tahunan bagi penerima beasiswa program D3 yaitu reuni yang diadakan di Tokyo. Saya dan teman-teman yang berdomisili di daerah Tohoku memilih untuk berkeliling terlebih dahulu sebelum menghadiri acara tersebut.

Perjalanan dimulai dengan berangkat dari asrama masing-masing. Kami memilih kota yang pernah dipimpin oleh naga bermata satu Date Masamune, yaitu Sendai. Setelah berkumpul dan makan malam, kami memilih untuk bergerak ke satu provinsi ke selatan menuju Fukushima dan mencari tempat menginap di sana.

Tragedi dimulai setiba kami di sana, 3 orang remaja laki-laki yang tidak tahu apa-apa mulai mencari tempat karaoke untuk dijadikan tempat bermalam, hal yang biasa dijadikan pilihan bagi backpacker.

Satu hal yang tidak kami ketahui saat itu adalah, bukan hal yang mudah menemukan karaoke booth yang kosong saat akhir tahun di Jepang. Jadilah kami mencari dari pukul 11 malam hingga pukul 1 dini hari. Masuk ke karaoke booth untuk sekedar menutup mata dan men-charge barang-barang elektronik sebelum harus kembali keluar menggigil bersama salju Fukushima pukul 5 subuh.

Kami berangkat meninggalkan Fukushima menggunakan kereta paling awal yang berangkat pukul 6 pagi setelah 1 jam duduk menunggu di depan pintu stasiun yang belum terbuka. Sembari merenungkan pilihan hidup yang kami ambil, tujuan hari kedua adalah Nagoya.

Trip 2: Tak terlalu jauh, sudah biasa, dan sendiri

Perjalanan ini terjadi di musim panas 2017, kali ini saya menggunakan 18 kippu untuk berkeliling Tohoku, dengan menjadikan tempat tinggal teman di Akita sebagai “base”, kami berkeliling Akita dan Aomori.

Masalah terjadi ketika dalam perjalanan pulang dari Akita menuju Ichinoseki. Ini bukan kali pertama saya melewati jalur ini. Tiga bulan sebelumnya saya sudah melalui jalur yang sama selepas lebaran di Akita.

Mungkin karena merasa sudah “tahu” mengenai perjalanan kali ini saya memiliki mental what could go wrong. Saya duduk di kereta sambil membaca buku dan tidak sadar tempat di mana saya seharusnya berpindah kereta ternyata sudah lewat. Perjalanan yang secara das sollen hanya melalui 2 provinsi: Akita dan Iwate berakhir dengan das sein dan saya harus melewati 4 provinsi: Akita, Yamagata, Miyagi lalu Iwate.

Belajar dari Perjalanan

Saya tidak tahu apakah hal yang saya pikirkan sama dengan orang lain, tapi mengenang tentang dua perjalanan ini membuat saya mengetahui dua hal. Yang pertama adalah bagaimana kata “biasa” dalam rutinitas saya membuat saya kehilangan fokus, dalam cerita di atas mungkin tidak seberapa, tapi cukuplah untuk mengajarkan betapa tidak bijak menganggap enteng kata “biasa”.

Selanjutnya, saya bisa disebut merasakan kebenaran kata-kata : Jika ingin berjalan cepat berjalanlah sendirian, jika kamu ingin berjalan jauh, berjalanlah bersama-sama. Setidaknya jika bersama-sama akan ada orang yang mengingatkan saya untuk berhenti ketika sudah saatnya berhenti atau setidaknya ada teman untuk berbagi kemalangan, misery looks for company after all.

Penulis : Somnus Tinro
Editor : Uli’ Why
Ilustrator : Nur Farahiyah Amalina
Gambar : Masahiko Naragaki, Escape, WeXpats Guide, Jimery

CATATAN :
Das sollen = apa yang seharusnya terjadi
Das sein = kenyataan yang sebenarnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!