Bulan itu mudah ya…mudah ditebak. Kita bisa tahu kapan bentuknya bulat utuh, kapan hanya separuh, dan kapan dia berbentuk sabit, seperti senyuman. Sesuatu yang sedang kulakukan sekarang.
DRRT…
Ponsel yang telah diatur ke mode getar tetap saja berisik. Aku berusaha mengabaikannya. Namun getaran itu tak kunjung berhenti juga. Dengan gusar kulihat siapa yang menelepon.
Sudah kuduga, orang yang sama.
DRRT…DRRT…
Getaran itu masih mengusik. Ah…Bahkan bulan pun saat bersembunyi tidak ada yang mencari.
“Kamu tidak bisa begini.”
Sebuah pesan singkat masuk. Sepertinya orang itu sadar kalau teleponnya tidak diangkat.
“Ini bukan cara yang baik. Coba pertimbangkan lagi.”
Dahiku mengernyit membaca pesan itu. Aah…Aku ingin seperti bulan saja. Saat dia lelah bersinar demi orang lain, dia akan bersembunyi di balik matahari atau bumi. Dan orang tetap akan menganggapnya hebat, dan menjulukinya “gerhana”.
DRRT…
Getaran ponsel terdengar lagi. Rupanya orang itu tidak ingin menyerah. Tapi aku sudah muak. Kuabaikan getaran itu dan beranjak menuju balkon rumah. Dari luar terdengar sayup-sayup tetangga memutar lagu Peter Pan “Bagai Bintang di Surga”. Ah, sempurna sekali suasananya dengan bulan sabit di luar yang tersenyum menyambut.
“Langit kan menangkapku, walau ku terjatuh.”
Bulan kali ini tampak begitu mempesona. Aku lupa diri dan memanjat pagar pembatasnya. Sepertinya alam bawah sadarku mengambil alih, meyakini bahwa langit memang akan menangkap tubuhku, meski aku terjatuh dari lantai atas. Tanpa sadar tanganku terentang, berusaha menggapai bulan yang jauh di sana. Aku ingat terakhir kali bulan begitu mempesona saat sekolah.
“Bagai bintang di surga dan seluruh warna.”
Syair lagu Peter Pan masih melantun lembut. Membawa kenangan kembali ke masa SMA yang indah. Saat semua begitu berwarna. Satu-satunya masalah hanya pelajaran fisika dan perhitungan matematika. Aku tersenyum kecil mengingat diriku yang dulu. Aku yang penuh dengan mimpi. Mataku yang penuh dengan harapan. Tanpa tahu betapa kejamnya manusia di luar sana.
Sekolah yang tertutup dengan langit indahnya. Asrama yang dikelilingi bukit dan udara segarnya. Jika malam, aku selalu menyempatkan diri melihat ke langit. Mengagumi jutaan bintang yang bersinar di atas sana. Seketika semua lelah akan hilang.
DRRTT…
Oh astaga! Aku lupa di saku jeansku masih ada ponselku yang lain. Ku coba membuka pesan yang masuk itu.
“Bukan begini caranya. Apa-apaan postingan dengan pisau di statusmu?”
Aku tersenyum mengejek. Baru kali ini kau peduli?
Aku memicingkan mata, secercah cahaya bulan memantul di bahan stainless steel yang dingin di tanganku. Mataku berkilat melihatnya. Tekadku sudah bulat. Harus hari ini, atau aku akan kehilangan keberanian lagi nantinya.
DRRT…DRRT…
Pesan itu terus berdatangan.
“Kamu di mana?”
“Aku segera ke sana.”
“Jangan lakukan itu, please! Kamu tidak harus melakukannya! Gunakan akal sehatmu!”
Ha! Akal sehat? Justru aku sangat sehat sekarang. Ini aku, dengan akal sehatku. Aku tersenyum lagi ke arah bulan. Dulu setiap selesai pelajaran tambahan di malam hari, aku selalu melihatnya, Sang Bulan. Kali ini dengan sinar yang sama, aku mengingat diriku yang dulu. Bagai sekelebat kenangan, seperti film yang diputar mundur. Gambaran-gambaran saat di sekolah tergambar. Semua mimpiku, pelajaran-pelajaran yang kudapat. Ah, mungkin aku akan membuat banyak orang kecewa dengan keputusan ini.
Aku ingat bazar sekolah yang didirikan dengan kerja keras. Pengalaman menyusun artikel mading hingga larut malam. Pengalaman jurit malam saat malam inisiasi. Pengalaman menangis saat MOS karena akhirnya aku resmi menjadi bagian dari sekolah yang agung dan hebat itu.
Ah…
Orang bilang sebelum mati kita akan mengingat gambaran kehidupan kita di masa lalu.
Aku mendesah. Kulihat lagi logam dingin di tanganku itu. Apa aku siap?
Sudah jauh aku melangkah. Sudah ribuan malam kuhabiskan. Apa sampai di sini saja? Apakah usahaku ini akan berakhir sia-sia?
DRRT…
Bagai tahu kegalauanku, orang itu kembali mengirimkan pesan.
“Jangan lakukan itu, please! Kau tahu semua orang berharap padamu.”
Aku tahu mungkin ini egois. Tapi aku sudah muak sekarang. Aku menggenggam logam dingin di tanganku dengan lebih kencang. Aku sudah mengambil keputusan yang tepat!
Aku turun dengan lincah dari pagar pembatas dan buru-buru masuk ke dalam kamar.
DRRT…DRRT..DRRTT…
Suara getar ponsel tidak henti-hentinya bersahut-sahutan. Sekarang kedua telepon genggamku penuh dengan getaran pesan yang masuk dan telepon berganti-gantian.
Seolah mereka mencoba mencegahku melakukan perbuatan yang menurut mereka hina. Menurut mereka cara orang kalah. Menurut mereka lari dari masalah. Tapi aku sudah tidak peduli kata orang lain. Mataku sudah terbuka. Aku mengingat perjalanan jauh yang kutempuh di bawah ratusan malam dalam dinding asrama itu. Sekolah yang mengajarkanku karakter pemberani, yakin pada diri sendiri. Sekolah yang mengajarkan untuk berdiri di atas kaki sendiri dan berani bermimpi. Sekolah yang mengajarkan perjuangan akan membuahkan hasil pada akhirnya, meskipun kadang kita harus mengambil Langkah mundur untuk maju kembali.
Aku tersenyum lagi, kuambil logam kecil ditanganku, lalu…
SRET..SRET..SRETT…
Kububuhkan tanda tanganku di atas kertas itu. Goresan tinta dan badan pulpen yang dingin membuatku bergidik. Seolah-olah mempertanyakan lagi keyakinanku atas keputusan itu. Pulpen logam itu menjadi saksi bisu akhir kehidupanku…ya, aku sudah berakhir hari ini.
Kubaca lagi bait pertama dalam surat itu.
“Sehubungan dengan itu maka saya mengajukan surat pengunduran diri terhitung sejak tanggal hari ini.”
Aku mendengus puas. Setelah berkutat sekian tahun lamanya, akhirnya aku berani juga mengajukan surat itu. Meski tanpa pegangan baru dan entah hidup ini akan membawa kemana, namun aku yakin dengan kemampuanku. Dan kasih sayang Tuhan. Berserah pada Tuhan adalah hal wajib yang kupelajari dalam kehidupan berasrama. Manusia wajib berusaha, Tuhan yang akan mengatur sisanya.
Tinggal satu hal penting yang harus aku lakukan. Kulirik laptop di sebelahku. Semua dan segala hal yang terjadi ada dalam laptop itu, terekam dengan baik. Laptop dengan latar gambar pisau di layar itu menjadi saksi terhadap semua hal yang orang itu takut akan bocor ke luar.
Dia tahu saat aku memasang gambar pisau di statusku. Aku bukan putus asa. Aku mengancamnya.
Dia tahu apa maksud gambar itu dan apa yang ada di dalam laptop ini.
Jariku melirik jendela layar yang sempat dikecilkan sebelumnya. Kutampilkan kembali ke layar. Itu adalah sebuah folder dengan banyak file. Aku tersenyum lagi. Folder ini bisa menyelamatkan atau mematikan hidup seseorang.
Jariku bergerak melakukan sesuatu dengan laptop itu. Sebuah jendela peringatan terbuka.
“Apa Anda yakin akan menghapus permanen semua file?”
Aku tersenyum, mencoba berpikir kembali. Dan…
***End***
Keterangan:
Stainless steel: Jenis besi yang tahan karat
Mading: Majalah dinding
Jurit Malam: salah satu kegiatan Pramuka di malam hari saat Perkemahan Sabtu Malam Minggu (Persami)
MOS: Masa Orientasi Siswa
Baca juga : Ada Dama di Smudama
Penulis : Miranda
Editor : Faudzan Farhana
Ilustrasi : Yati Paturusi
endingnya… out of the box banget kaak :”)