Seberapa besar kita merasa bisa melakukan sesuatu?
Seberapa besar kita mampu menahan diri untuk merenungi diri akan batas kemampuan yang kita miliki? Dentuman pertanyan-pertanyaan ini bukan sekedar mampu kita alunkan di benak, akan tetapi perlu diresapi dalam hati.
Banyak sesumbar yang kadang kita legalkan dalam logika, mendongakkan kepala seraya melantang bahwa tanpa saya semua tak akan mampu berbuat.

Alangkah dangkalnya pemikiran seperti itu.
Sejatinya pribadi yang berilmu tidak akan pernah merasa hebat atau angkuh dengan keadaan, sebab putaran waktu selalu menjadi alarm nyata pada kita.
Tidak ada yang mampu berjuang dengan sendirinya tanpa kawalan orang lain.
Namun, terlepas dari narasi yang tertoreh kita masih belum bisa berdiri tegak dengan konstruksi kemampuan yang ada.
Jasad ini bukan anti gores yang tidak dapat terluka.

Mengapa realitas banyak menyuguhkan cerita orang yang berpendidikan tinggi justru mengejar jauh dari poros asalnya.
Karena banyak yang menuntut ilmu tinggi hanya sekedar merekayasa nilai sosialnya dan berharap penghormatan tinggi di masyarakat sehingga mereka berjuang untuk mendapatkan label tertinggi demi status sosial.
Akhirnya, menjadi gulma di masyarakat dan merusakan eksistensi dari keilmuan itu sendiri. 

Mereka melihat sisi kerapuhan yang bisa dimanfaatkan dalam realitas yang ada dengan segenap tumpukan manuskrip keilmuannya.
Melegalkan pembenaran dengan argumen kebenaran sektoral semata tapi wujud aslinya mereka ingin menjadi penguasa yang haus akan rating sosial.

Pribadi seperti ini, lupa menakar diri bahwa saya belum apa-apa di matras kehidupan.
Kita terlalu menakar jauh akan kuasa ilmu yang tertancap di batok kepala kita sehingga sifat natural yang seharusnya menyelimuti hati hilang begitu saja dan bahkan jauh dari wujud dasar keilmuan yang sebenarnya.

Tengok hamparan realitas, banyak yang memiliki ilmu yang tinggi tapi jauh dari kata berilmu atau di saat lain, banyak yang tidak menempuh jalur pendidikan tinggi tapi justru sarat akan keilmuan. 
Logika sederhananya, semakin tinggi pendidikan seharusnya semakin tajam aplikasi keilmuan tersemai di kehidupannya.
Bukan malahan terjun bebas ke dasar kesesatan.
Untaian keilmuan seharusnya tidak menjadikan kita buta hati dan tinggi hati, namun yang menjadi pondasi dasar dari kekuatan ilmu adalah kemampuan kita untuk tetap merendah.
Sebab kerendahan hati lah yang akan membawa kita ke tempat yang tinggi.

Orang yang berilmu akan senantiasa menautkan kesederhanaan dan kesantunan dalam merangkai kehidupannya.
Dia tidak merasa menonjol namun akan di tonjolkan oleh ilmunya.
Pribadi yang berilmu selalu mendekap kerendahan hati dalam berbuat, sebab dia percaya bahwa setiap pintu kehidupan akan menyambutnya dengan kehangatan. 

Titik dasar ilmu bukan pada titel yang tersemat, namun seberapa bijak dia menerapkan akhlak di setiap rotasi perbuatan yang terhela. Pribadi yang berilmu, seperti jembatan titian yang kokoh menjadi pijakan dan narahubung kebaikan bagi sesama, membina persatuan bukan malahan meruntuhkan kebenaran dengan dalil pembenaran ego semata atau menjadi tembok penghalang masuknya cahaya kebaikan bagi sesama.

Jalan pribadi yang berilmu dan berakhlak akan seperti lecutan panah.
Sang pemanah diam di posisi namun lecutannya dan titik bidiknya akan merubah semesta dan sekitarnya. Diamnya pribadi yang berilmu mulia adalah titik jeda untuk merefleksi diri untuk kembali giat memperbaiki kesalahan yang ada dan akan terus mencari solusi untuk ke depannya.

Pribadi yang berilmu dan berahlak akan melihat titik keadilan dalam ruang yang lebih luas sebab mereka percaya keadilan akan terus bergulir.
Jeda sesaat, maka keadilan akan mewujud tanpa kita sadari terjadinya.
Tentunya dia akan menampakkan diri seberapa besar pun upaya untuk menghalangi lajunya.
Entitasnya akan datang pada waktu yang tidak terkira oleh kita semua.

Penulis : Askarim
Editor : Faudzan Farhana
Ilustrasi : Yati Paturusi
Gambar : canva.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!