“Apa itu Parakang, kak?” Lile menimpali dengan rasa penasaran. Si Kakak menatapnya dengan wajah keheranan. Ada ketakutan terlihat di mata Lile.
“Parakang itu sejenis hantu. Mungkin karena sekolah kita ini dibangun di dusun yang terkenal banyak hantunya, wajar kalau ada hantu-hantu berkeliaran di asrama.” jawab si Kakak.
Lile terdiam, berupaya mencerna informasi baru yang memberikan alternatif penjelasan atas pengalaman yang baru dialaminya.
“Nanti kalau ko pulang kampung, coba tanya keluargamu Dek, apa itu Parakang,” ucap si Kakak menambahkan.
***
“Aaaaaaaaa….aaaa…!!”
Anak aspuri kompak berteriak ketakutan usai mendengarkan cerita Yuke.
Pengalaman Yuke melihat sesosok aneh dekat selasar membuat Lile hanya bergeming. Sementara temannya sudah histeris, melompat ke kasur, dan saling berpelukan.
“Hahaha, kayak Teletubies ki kurasa begini posisita,” ucap Yuke meredakan ketakutan teman-temannya.
Beberapa anak aspuri berkumpul di kamar Yuke, termasuk Lile. Mereka tengah menunggu jadwal makan siang usai shalat Jumat. Bukannya membahas pelajaran dari sekolah, salah satu dari mereka justru mulai bercerita tentang hantu.
“Bagaimanakah wujudnya itu hantu yang kita lihat tadi malam?” tanya Lile.
“Serem sekali, Li. Astagafirullah, seumur hidupku baru pa lihat begituan,” Yuke menimpali dengan mata terbelalak.
“Deh, saya juga minggu lalu sudah lihat hantu. Masih mending kita lihat dari jauh. Saya lihat hantunya di kamarku. Dekat tempat tidur lagi,” kata Lile menatap Yuke dengan mata yang masih terbelalak.
***
Pukul 2.30 dini hari, Yuke terbangun setelah alarm weker di meja belajarnya berkali- kali berbunyi. Yuke melompat dari kasur lalu menonaktifkan alarmnya.
“Brrrr.. dinginnya,” Yuke menyambar jaket dari kursi lalu bergegas keluar kamar. Lantai asrama yang sedingin es membuatnya setengah berjinjit masuk ke kamar mandi.
Yuke mulai bersenandung ketika menutup pintu kamar mandi. Demi mengurangi rasa takutnya, Yuke memang suka bernyanyi ketika sendirian. Tapi, ada yang aneh kali ini. Suaranya seperti menggema kemana- mana. Padahal, ia sedang berada di ruangan kecil.
“Tiada yang salah. Hanya aku manusia bodoh,” Yuke menaikkan nada suaranya. Sementara itu, imajinasinya tentang hantu seperti membayangi pikirannya.
Yuke mulai membayangkan bagaimana jika ada hantu berambut panjang tiba- tiba muncul di belakangnya. Bagaimana jika ada hantu berdiri saat ia membuka pintu kamar mandi. Bagaimana jika ada hantu terbang yang mengejarnya saat kembali ke kamarnya.
“Ya Allah, lindungi hamba-Mu ini,” Yuke berhenti bersenandung dan mulai berdoa dalam hati. Bergegas ia meninggalkan kamar mandi sambil menahan dingin.
Setengah berlari Yuke menuju kamarnya, tapi matanya tiba- tiba menangkap sesosok aneh di antara selasar.
“Allahu Akbar!” hampir saja timba berisi peralatan mandi terlepas dari tangan Yuke.
Sesosok kepala tanpa tubuh dengan rambut panjang nampak jelas dari kejauhan. Langkah Yuke terhenti. Tubuhnya seperti mematung saat menatap sosok itu. Jantungnya berdegum kencang. Bibirnya bergetar hebat. Sekian detik ia seperti kehilangan kesadaran. Yuke hampir pingsan!
Dengan susah payah Yuke akhirnya berhasil masuk kamar, ia buru- buru melepas jaket dan mengambil selimut. Bukan hanya udara dingin yang membuatnya mengigil. Tapi, sesosok hantu tadi membuat pikirannya mulai tak menentu.
Padahal, sebelum ke kamar mandi, Yuke sudah berniat shalat malam, lalu mengulang pelajaran kimia yang belum ia pahami dari materi kemarin. Tapi, rasa takut membuatnya enggan membuka lipatan mukena.
“Nanti kalau pas ka shalat tiba- tiba ada itu hantu di belakangku bagaimana?,” pikirnya.
Belum lagi di kamarnya ada cermin besar. Mukena putih yang tergantung di pintu saja sudah ia bayangkan seperti pocong.
Tak berapa lama, Mimi, teman kamar Yuke tiba- tiba terbangun.
“Jam berapa sekarang, Yuk?” tanya Mimi.
“He? Ndak tahuka juga. Ndak tahu di mana itu weker tadi saya simpan,” jawab Yuke hanya melirik ke Mimi.
“Kenapaki, Yuk?” Mimi seketika penasaran dengan tingkah aneh teman kamarnya. Mulut Yuke komat- kamit seperti membaca sesuatu dengan cepat.
Mimi beranjak dari kasurnya dan mengambil air minum.
“Ndak mau jeki ke WC, mi?” pertanyaan Yuke membuat Mimi berhenti menegak air botol yang dipegangnya.
“Iya mau. Temanika nah. Takutka pergi sendiri!” ajak Mimi.
“Jangan meki dulu, Mi. Barusanka lihat hantu,” ucap Yuke.
“Ha! Seriuski? Di mana?” Mimi refleks mendekati Yuke.
Suara angin terdengar jelas dari dalam kamar mereka. Angin kencang menggetarkan pintu dan jendela. Tirainya sempat tersibak. Keduanya baru sadar jika lupa menutup salah satu jendela.
“Astaga, lupaka tutup,” ucap Yuke melirik Mimi di dekatnya.
Sebenarnya Yuke ingin segera melompat menutup jendela. Tapi, sosok hantu tadi masih terbayang- bayang di pikirannya.
“Bagaimana kalau pas ka mau tutup itu jendela tiba-tiba ada tangan tarik ka,” pikirnya.
Dalam suasana mencekam, tiba- tiba terdengar suara seperti pintu kamar diketuk dari luar. Lampu kamar pun ikut padam.
“Aaaaaaaa!!!” Mimi dan Yuke serempak meringkuk dalam satu selimut. Keduanya saling menatap dalam gelap sementara suara ketukan kian terdengar jelas.
Bersambung…
Baca juga : Ada Hantu di Asrama (Part 1)
https://celotehanakgunung.com/ada-hantu-di-asrama-1/
Catatan:
Kita / ki = kamu (dalam dialek khas Sulawesi Selatan, digunakan untuk menyapa orang yang dianggap lebih tua atau dihormati atau dengan tujuan bersikap sopan)
Ko = kamu (dalam dialek khas dalam dialek khas Sulawesi Selatan, digunakan untuk menyapa orang yang sebaya atau lebih muda dalam percakapan kasual)
Editor : Faudzan Farhana
Ilustrasi : Farahlynaa
Gambar : Dokpri Penulis
Teriaki saja, he…setang pergi ko bikin takut takut orang saja 😁
Toktok… ini abang gojek datang bawa go food dek… 😀