Cinta itu sebenarnya mudah.
Ia mengalir seperti air hujan di atap rumah.
Seperti embun di pucuk daun yang menetes ke bumi.
Semuanya alami, semuanya mengalir begitu saja, dan semuanya tanpa pernah diduga.
Cinta itu mudah, alami, dan tidak terduga.
Seperti embun yang datang dan pergi begitu mentari bersinar.
Atau seperti api yang membakar ranting kayu kering hingga habis tanpa sisa.
Kubelokkan mobil ke arah gerbang sekolah. Dulu, gerbang ini dikenal dengan nama Gerbang Bastille. Seperti sebutan penjara ketat Perancis Bastille Saint- Antoine di Paris. Tapi, tentu saja gerbang ini tidak menahan narapidana. Aku sendiri lupa mengapa gerbang sekolah di Smudama dijuluki demikian. Aku yang pernah menjadi bagian di dalamnya selama tiga tahun tidak pernah merasa seperti narapidana.
Mobilku melaju di jalanan yang tidak rata. Dua puluh tahun berlalu, tidak banyak yang berubah dari jalanan sekolah. Aku membuka kaca mobil dan mulai menghirup segarnya udara Malino. Mungkin karena pemanasan global, udaranya kini tidak sedingin dulu.
Mobil melewati rumah panggung dari kayu. Rupanya, rumah daeng- daeng yang dulu sering menjajakan makanan untuk siswa itu masih ada. Aku memicingkan mata ingin melihat apakah penghuninya masih ada di sana. Setelah memastikan, kupacu mobil menuruni deretan kelas hingga tiba di parkiran sebelah lapangan basket.
Saat memarkir mobil, kulihat beberapa siswa sedang asyik bercengkrama. Jam menunjukkan pukul 10 pagi. Memang tengah libur nasional. Pantas jika ada siswa yang nongkrong di dekat lapangan basket sepagi itu.
“Mariki Kakak, ada yang bisa dibantu?” tanya seseorang dari mereka yang tiba- tiba menghampiri begitu aku berjalan masuk selasar.
Namanya Agan, siswa kelas XII. Rupanya dia Ketua OSIS sekolah. Aku tersenyum kikuk dan memperkenalkan diri. Sudah cukup tua memang. Dua puluh tahun berlalu sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini.
Agan menawarkan diri untuk menemaniku berkeliling. Aku merasa menyesal datang ke sekolah sendirian tanpa pengawalan. Padahal, ada beberapa teman seangkatanku di Makassar. Tanpa berpikir panjang, kuterima tawaran Agan.
Aku tidak tahu apakah ini hal yang tepat membiarkan adik yang baru dikenal mengajakku berkeliling. Dari dulu aku agak kikuk dalam berkomunikasi. Apalagi dengan orang asing. Tapi aku datang ke sini karena ingin melupakan pernikahanku yang batal. Kupikir ini pengalaman baru yang cukup menyenangkan.
Spot pertama, Agan membawaku jauh ke pojok paling depan sekolah yakni ruang guru. Rupanya ia ingin mengenalkan kepala sekolah baru yang kebetulan ada di ruangan itu. Aku hanya mengangguk seadanya saat bertemu kepsek kemudian ijin pamit berkeliling. Agan yang ingin menemaniku sempat ditahan oleh kepala sekolah. Mereka berdua terdengar membicarakan event sekolah yang akan datang.
Kutinggalkan mereka dan menyusuri lemari piala di ruang tengah. Seingatku, dulu lemari itu hanya ada dua. Tapi sekarang, sudah banyak penambahan. Piala nampak berderet dalam rak lemari kaca. Banyak juga piala yang tidak dimasukkan ke dalam lemari dan hanya tergeletak di luar. Pikirku, tidak salah memang reputasi sekolah ini dijuluki “Sekolah Andalan” sejak dulu.
Di antara sekian banyak piala, satu piala olimpiade fisika menarik minatku. Aku ingat, olimpiade nasional tingkat satu itu. Dulu, pertama kali ditembus oleh seorang pria satu angkatan di bawahku.
Dama, nama yang tidak pernah asing di telingaku. Sosok yang menemaniku dalam dua tahun terakhir menapaki sekolah ini. Yang selalu akrab dan mengingatkan akan kenangan. Dialah yang pertama kali membawa nama Smudama dengan raihan medali emas tingkat nasional pada Olimpiade Fisika.
Aku tersenyum dan berlalu keluar dari ruangan guru. Cuaca sedang cerah. Nampak arak- arakan awan putih menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Deretan gunung menjadi latar bangunan sekolah yang megah. Selasar yang meliuk- liuk terlihat bagaikan aliran Sungai Jenne’berang yang menganga lebar dari kejauhan. Aku menikmati pemandangan fantastis itu.
“Sekolah ini memang tidak pernah mengecewakan para penikmat keindahan alam,” gumamku mengagumi pemandangan di depan mataku.
Kupandangi salah satu awan yang menyerupai bentuk dua manusia yang sedang berlarian.
“Ada di mana Dama sekarang? Apakah dia tahu aku sekarang kembali ke sekolah dan tengah mengingat kenangan bersamanya?” Aku kembali bergumam sendiri. Seketika teringat saat kami berlari dari kejaran anjing congek yang baunya seperti bulu unta mati.
Saat berjalan ke arah kanan, aku memperhatikan deretan kelas yang biasanya digunakan untuk belajar. Kelas yang juga menjadi tempatku bertemu Dama usai pelajaran sekolah atau saat malam.
Apakah salah jika perasaan ini datang? Sebenarnya sejak kapan perasaan ini berubah menjadi sayang? Jika waktu itu aku menyadarinya lebih cepat, apakah kami akan bersama sekarang? Cinta memang rahasia Tuhan.
Tak pernah kusangka. Dama, lelaki culun yang cerdas itu berhasil merebut hatiku. Dama yang selalu tersenyum dan menyemangatiku. Yang awalnya kuakrabi agar nilai pelajaran fisikaku bagus. Ia yang setia menemani malam- malam setelah perceraian orang tuaku. Ah, ternyata sudah lama aku menganggap Dama seperti rumah.
Kutelusuri koridor kelas dan masuk ke salah satu kelas XII yang pintunya terbuka. Rasanya, ruangan kelas tidak sekecil ini dulu. Kini kursi kelas terasa kecil buatku. Mejanya juga lebih kecil hingga tanganku cukup untuk meraih semua sudutnya.
Aku memandang ke seluruh ruangan dan menuju kursi yang berada di ujung paling belakang. Kursi yang dulu menjadi tempat dudukku semasa berseragam putih abu- abu. Kursi dengan jendela di sampingnya. Angin sering berhembus dan membuat siswa menggigil kedinginan di sini. Mungkin, karena itulah kursinya jarang diduduki orang lain.
Kurasakan memori nostalgia langsung menelesup ke dalam hatiku. Inilah tempatku setahun terakhir di sekolah. Kursi yang penuh perjuangan agar aku tidak tinggal kelas. Aku ingat waktu itu, Dama menggodaku dan justru berharap aku tinggal kelas agar kami bisa menghabiskan waktu di kelas yang sama.
Tidak butuh waktu lama bagi Dama menyadari. Bahwa di SMA Andalan, tinggal kelas berarti Drop Out alias harus pindah sekolah lain. Aku ingat wajah sedihnya seperti anjing yang ditinggal pemiliknya saat ia menyadari harus membantuku lulus. Meskipun sebenarnya ia enggan.
Dama sering membawa camilan buatku yang ia beli di Kantin Daeng Juli. Ia memberikannya melalui jendela ini. Pernah sekali ia dipergoki oleh Pak Budi, Guru Bahasa Indonesia. Karena kejadian itu, Dama dihukum menguras bak penampungan air sekolah. Lucunya, saat dihukum ia diminta sambil meneriakkan Puisi Ari Pane. Sayangnya, hukuman guru tersebut tidak membuatnya jera.
Dama tidak pernah sehari pun bolos membawa cemilan buatku. Bahkan saat aku tengah mengikuti Try Out SNMPTN. Hingga pernah seluruh siswa di sekolah menggoda dan mengira kami sudah berpacaran. Aneh memang, dua tahun yang kuhabiskan dengan Dama di sekolah ini tidak pernah menjurus ke hal- hal romantis. Teman- teman mengatakan aku kurang peka. Tapi kupikir, hubungan kami memang tidak pernah lebih dari hubungan antara kakak dan adik saja.
Aku berdiri ketika melihat Agan yang menungguku di luar kelas.
“Baruki ini ke sekolah Kak?” tanya Agan penasaran setelah aku menghampirinya.
“Betul. Dulu setelah lulus sekolah langsung ke Jawa lanjut kuliah dek,” balasku.
“Kenapakah?”aku bertanya balik pada Agan.
“Ndakji, Kak. Soalnya ada beberapa angkatan lama yang kukenal tapi tidak pernahka lihatki, Kakak. Di acara alumni juga ndak pernahka lihatki,” jawab Agan sambal melirikku.
“Yang sering datang itu Kak Dama. Tapi jarangmi kulihat Kak. Terakhir kali di pertemuan alumni tiga bulan lalu Kak,” lanjut Agan.
“Eh, ko kenal Dama Dek?” sentakku terkejut.
“Iye’ Kak,” jawab Agan singkat.
“Sering juga disebut Pak Frans itu kalau di Kelas Fisika, Kak. Kata Bapak, coba contoh itu Kak Dama. Banyak prestasinya, ndak pernah pacaran dan cuma fokus belajar,” ucap Agan melanjutkan ceritanya.
Kucoba tersenyum mendengar cerita Agan.
“Masih mengajar Fisika Pak Frans? Deh! Lamanyami. Kupikir pensiunmi Bapak.”
“Iye’ masih Kak. Itumi anak- anak kenal Kak Dama. Baik juga orangnya. Kadang datang mengajar di grup belajar Kak. Dia kasihki semangat juga Kak,” ucap Agan menimpali pertanyaanku.
Aku mencoba mengingat sosok Dama yang memang memiliki ciri khas. Ia gemar menyemangati dan mengajari orang lain. Banyak hal baik yang sering dilakukannya untuk membantu orang lain. Sangat bertolak belakang dengan diriku. Itu juga yang membuatku tertarik mendekati Dama hingga bisa akrab.
Kumasukkan jariku ke saku baju dan menyentuh cincin pertunanganku. Seketika mataku terasa perih. Susah payah kutahan genangan air di kelopak mataku agar tidak menetes ke pipi.
“Ah sial! Aku ke sini untuk melupakan pernikahan yang batal itu. Tapi, mengapa jadi teringat lagi,” aku memekik dalam hati dan terus mengedipkan mata. Menahan diri agar tidak terlihat sedih di depan Agan.
bersambung
Arti Klitika dalam Dialeg Sulawesi Selatan :
Ki = kamu, digunakan untuk menyapa orang yang dianggap lebih tua atau dihormati atau dengan tujuan bersikap sopan
Ko = kamu digunakan untuk menyapa orang yang sebaya atau lebih muda dalam percakapan santai
Ji = cuma
Mi = sepadan dengan makna “lah”, namun bisa juga berarti “sudah” atau “saja”
Ka = saya
Lainnya :
Iye’ = bentuk sopan dari kata “iya”
Penulis : Miranda
Editor : Uli’ Why, Faudzan Farhana
Gambar & Ilustrasi: Uli’ Why
[…] Baca juga : Ada Dama di Smudama […]