Masih dalam suasana tegang dan saling berpegangan. Yuke kembali mendengar suara lemparan batu dari lapangan basket.
“Mi, kita dengar itu? Kayak ada yang lempar batu dari tadi,” ucap Yuke setengah berbisik.
“Kudengarji juga,” Mimi melotot ke arah Yuke. Saat keduanya masih terdiam di selasar, sesosok bertubuh jangkung muncul dari arah belakang.
“Hwaaaaaaa!!!” spontan Yuke dan Mimi berteriak kencang saat ada tangan terasa menyentuh bahu mereka.
“Astagfirullah, Ya Allah, Kak!” Yuke memekik mencoba menahan suara.
“Apako bikin di sini berdua? Sebentar lagi Bapak datang ke kelas,” rupanya sosok itu adalah Rumi. Kakak kelas dua yang menjadi pendamping Pak Aman untuk pemantapan mata pelajaran kimia malam itu.
Usai melancarkan aksi jahilnya, Rumi berlalu menuju kelas. Melihat Rumi berjalan cepat, Yuke dan Mimi setengah berlari mengejarnya.
“Kak! Tungguka! Samaki jalan!” Rumi mengernyitkan kening mendengar teriakan Yuke. Tidak biasanya adik kelasnya itu mau berjalan beriringan dengannya. Apalagi, semenjak kejadian beberapa bulan lalu. Ia sempat kecewa dengan Yuke. “Apa Yuke berubah pikiran?” Rumi mencoba mencari jawaban.
Pemantapan malam itu berjalan lancar. Rumi yang menjadi pendamping memberi tugas pada siswa untuk dikerjakan di asrama.
“Yuk, ndak mauko singgah di perpustakaan kerjakan ini tugas?” Rumi mencoba membujuk Yuke setelah keluar dari kelas.
“Nngg, ndakji kak. Kasihan juga Mimi pulang sendiri,” Yuke terbata-bata menolak ajakan Rumi.
“Eh, ndak papaji Yuk kalau mauki singgah. Beranija pulang ke kamar sendiri. Nanti ajarika di kamar kalau selesaimi tugasta,” seperti tahu maksud Rumi, Mimi turut membujuk teman kamarnya itu.
Rumi menaikkan alis melihat ke arah Mimi. Seolah memberi kode tanda terima kasih. Tapi, malam itu, Yuke bersikukuh untuk langsung kembali ke asrama.
“Kak, maaf, lain kalipi ,” Yuke pun meninggalkan Rumi di depan perpustakaan sementara Mimi mengikutinya dari belakang.
Belum sampai asrama, semerbak floral menyambut mereka. Saat keduanya mulai menuruni tangga selasar, di pembelokan menuju Aspuri. “Siapami pakai parfum ini malam-malam,” Yuke mencoba menengok di sekelilingnya. Tapi, tak ada seorang pun di selasar kecuali mereka berdua.
Yuke dan Mimi berhenti sejenak setelah mencium aroma itu. “Kayak aroma bunga melati Yuk,” Mimi menarik nafas dalam-dalam memastikan jenis wewangian yang dihirupnya.
“Bukannya melati juga biasa dipakai tabur bunga di kuburan ya?” sejenak Mimi melirik ke arah Yuke lalu mereka spontan berlari menuruni tangga selasar.
Yuke dan Mimi mencoba mengatur nafas setibanya di teras Aspuri. Lile yang tengah menonton TV terheran-heran melihat kedua temannya itu.
“Kenapako berdua? Habis dikejar anjingkah?” Belakangan ini memang kerap terjadi peristiwa siswa dikejar anjing di kompleks asrama. Wajar saja jika Lile berpikir demikian.
“Hhhhhh, ndak!” Yuke menjawab seadanya dan berlalu menuju kamarnya. Melihat tingkah aneh temannya itu, Lile mengejar hingga ke kamar.
“Ada kejadian aneh lagikah? Atau habis ketemu hantu?” Lile yang penasaran mulai memberondong banyak pertanyaan.
“Habis ketemu Kak Rumi tawwa,” sahut Mimi setelah menegak air dari botol minumnya.
“Lah? Kenapako pale kayak habis lari sampai poso-poso?” Lile bertanya lagi.
Yuke menatap Mimi dan Lile bergantian dengan ekspresi agak kesal. “Belajar belajar, jangan bergosip terus!” Lile dan Mimi hanya tersenyum melihat temannya itu.
“Habis ketemu hantu di selasar!” Yuke tiba- tiba melotot ke arah Lile mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Eh, serius? Sama wujudnya kayak yang kita lihat kemarin malam?” Lile semakin penasaran.
“Ndak kelihatan hantunya tapi kayak ada dirasa,” Mimi menimpali sambil memainkan botol minum.
“Bahas hantuko lagi anak-anak?” Uda tiba- tiba muncul dari depan pintu kamar. Yuke dan Mimi akhirnya menceritakan kejadian yang mereka alami di selasar tadi. Mendengar cerita itu, Lile memutuskan untuk tidur di kamar Yuke.
“Biasa mauka ke kamar mandi tengah malam tapi takutka sendirian. Baru itu teman kamarku susah semua dibangunkan,” ucap Lile.
“Siapa tahu nanti malam pas bangunki, ada lagi itu sosok hitam di kamarta,” Uda mulai menakuti-nakuti Lile.
“Hiiiii, jangan sampai muncul lagi penampakannya itu hantu. Seram matanya menyala kayak senter,” Lile melanjutkan.
“Kalau di sini bisa ketemu hantu tanpa badan, Li. Cuma kepala saja dengan rambut panjang. Lebih horror!” Yuke menatap Lile dengan raut wajah meyakinkan.
“Sudahmi nah. Sama meki saja tidur. Jangan matikan lampu kamarta,” Lile mencoba mengakhiri pembahasan hantu malam itu. Ia pun naik ke kasur bagian atas, di tempat tidur Mimi. Tidur berdua di ranjang bertingkat membuat mereka tidak leluasa bergerak. Tapi, itu satu-satunya pilihan bagi Lile. Ia rela tidur di tempat yang sempit dari pada ketakutan di kamarnya sendiri.
***
Pukul 2 dini hari, Lile seketika terjaga dari tidurnya. Kadang tanpa alarm, ia seperti terbiasa bangun saat tengah malam. Keinginannya untuk buang air kecil semakin menjadi-jadi karena udara terasa begitu dingin. Tanpa pikir panjang, ia turun dari kasur dan bergegas ke kamar mandi. Lile bahkan lupa membangunkan penghuni kamar lainnya untuk sekedar menemaninya.
Air yang serasa sedingin es membuat Lile menggigil. Ia tak ingin berlama-lama di kamar mandi. Tapi, tiba- tiba lampu berkedap-kedip seperti lampu disko. Desir angin dan gerimis sayup-sayup terdengar dari atas atap Aspuri.
“Plakkkkk!!!” seketika itu juga terdengar suara seperti pintu terbanting. Spontan Lile melempar timba karena kaget. Suasana terasa horor ketika lampu kamar mandi mendadak mati total. Lile pun buru-buru keluar.
Kamar mandi hanya berjarak 7 meter dari kamarnya. Tapi, perjalanan kembali itu terasa begitu lama. Koridor asrama seperti lorong yang panjang. Belum lagi, suasananya remang-remang. Lile mengernyitkan kening ketika tiba di depan kamar. “Perasaan tadi tidak kututup rapat ini pintu, kenapa tertutup?”
“Oh, mungkin inimi tadi suara pintu yang kudengar seperti dibanting,” Lile masih berusaha berpikir positif.
Namun, ketika ia mencoba membuka pintu kamar, pintunya seperti terkunci. Sekuat tenaga Lile berusaha membukanya. Berkali-kali gagangnya disentakkan. Lile juga mencoba mendorong pintu, tapi usahanya gagal. Pintu kamar tetap tidak bisa terbuka.
Di tengah cuaca dingin, gerimis, dan dersik, tubuh Lile semakin menggigil. Lampu di teras kamar juga mulai berkedip- kedip.
“Ya Allah, ndak kuatka, dingin sekali,” gumamnya seraya terus mencoba membuka pintu.
Sesekali Lile mengetuk, berharap orang dari dalam kamar bangun untuk membuka pintu. Tapi hasilnya nihil. Pintu kamar tak kunjung terbuka.
Tak berselang lama, Lile tiba-tiba merasakan keanehan di punggungnya. Seperti ada sosok lain di belakangnya. Tapi, ia tak berani menoleh. Aroma bunga melati menyeruak di antara hawa dingin. Seketika ia teringat pada cerita Yuke tentang sosok hantu yang diceritakannya kemarin. Dua malam sebelumnya, Yuke melihat hantu dengan kepala tanpa tubuh dan berambut panjang di depan kamarnya. Kini, Lile berdiri di tempat yang sama dan waktu yang sama. Pagi, menjelang pukul 3 dini hari.
bersambung
Baca juga : Ada Hantu di Asrama (Part 3)
https://celotehanakgunung.com/ada-hantu-di-asrama-3/
Arti Kata :
Kita/Ki: kamu (dalam dialek khas Sulawesi Selatan, digunakan untuk menyapa orang yang dianggap lebih tua atau dihormati atau dengan tujuan bersikap sopan)
Ko: kamu (dalam dialek khas Sulawesi Selatan, digunakan untuk menyapa orang yang sebaya dalam percakapan hari-hari)
Tawwa : dalam bahasa gaul orang Makassar digunakan sebagai pembenaran
Poso- poso : dalam Bahasa Bugis Sulsel bisa berarti kesulitan bernafas secara normal (nafas pendek)
Editor : Faudzan Farhana
Gambar : Dokpri Penulis