Berkali-kali gagang pintu disentakkan, didorong, diketuk, bahkan Lile sempat menendangnya sekali dengan lutut. Tapi, pintu kamar tak kunjung terbuka.
“Audzubillahi Minasyaitonirrajim,” Lile melafazkan kalimat ta’awuz dengan suara lantang. Berharap sosok di belakangnya segera pergi dan pintu kamar terbuka. Walaupun, ia sendiri tidak yakin apakah memang ada hantu di sana atau hanya perasaannya saja.
Gerimis disertai angin kencang menerbangkan sebagian jemuran di teras kamar. Pakaian Lile juga basah karena terkena percikan air hujan. Udara semakin dingin dan ubin lantai serasa seperti es. Sekali lagi, Lile mencoba membuka pintu kamar. Kali ini dengan penuh kekuatan. Tubuhnya mendorong pintu, gagang disentakkan. Dan….
“Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu Alaikum,” ucapnya saat membuka pintu. Dan akhirnya pintu terbuka. Lile gugup bercampur senang. Tapi, ia buru-buru masuk dan menutup kembali pintu dengan cepat. Lile tak berani menoleh ke belakang hingga pintu kamar kembali tertutup rapat.
Setelah memastikan pintu kamar terkunci, Lile menghampiri Yuke yang masih terlelap. “Yuk, Yuke bangun! Bangunki, subuhmi!”
“Hmmm,” Yuke hanya bergumam dan melanjutkan tidurnya.
Lile berpindah membangunkan Uda, tapi sama saja, tidak ada respon. Sesaat Lile melirik ke atas, ke tempat tidur Mimi. Ia ingin kembali berbaring, tapi urung. Tempat tidur Mimi bersandar ke tembok dan di atasnya, ada beberapa jendela kecil tanpa tirai.
“Kalau balik ke atas, nanti ada itu hantu tiba-tiba muncul dari kaca jendela,” bayangan tentang hantu tanpa tubuh dari cerita Yuke rupanya masih bercokol di pikiran Lile. Ia pun memutuskan duduk di samping Yuke dan sandar di tembok. Lile menunggu, berharap azan subuh segera berkumandang.
***
Hari Sabtu yang ditunggu-tunggu siswa akhirnya tiba. Jadwal minggu pulang (mipul) sekali dalam dua minggu selalu dimanfaatkan siswa untuk pulang ke rumah dan bertemu keluarga. Tak terkecuali bagi Lile dan Yuke. Keduanya sibuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa pulang. Padahal, libur hanya dua hari, tapi bawaan mereka seperti mau pindah rumah. Karena aturan asrama yang melarang siswa mengenakan jeans ketat dan baju berlengan pendek, terpaksa banyak pakaian yang harus dibawa pulang. Lile dan Yuke pun sepakat untuk berbelanja pakaian bersama setibanya di kota nanti.
Jarak asrama dengan kota hanya 62 km, tapi perjalanan mengendarai pete-pete umumnya sungguh melelahkan bagi siswa. Jalanan berkelok-kelok karena melewati pegunungan tinggi. Posisi tempat duduk yang kurang nyaman juga membuat Lile dan Yuke sempat mual di tengah perjalanan. Beruntung, mereka sudah minum antimo sebelum berangkat.
Tidak hanya Lile dan Yuke yang mengalami mual di sepanjang perjalanan. Rumi dan Reni juga sempat mengaku puyeng.
“Kak, ada permenta?” tanya Yuke tiba-tiba saat mobil yang mereka tumpangi berjalan pelan. Rumi yang melihat kondisi Yuke seperti orang mabuk buru-buru mengeluarkan sebungkus permen kopi dari dalam tasnya.
“Yuk, mau minum?” Rumi juga menawari Yuke sebotol air mineral. Rupanya aksinya itu menarik perhatian Reni.
“Cie, perhatiannya tawwa Kakak Rumi,” ucap Reni mulai meledek sahabatnya itu. Yuke mengambil air mineral dari Rumi dan menegaknya beberapa kali.
“Terima kasih Kak,” ucap Yuke saat mengembalikan botol. Rumi hanya mengangguk pelan dan tersenyum melihat Yuke. Tapi, ada hal aneh yang dirasakan Yuke saat kakak kelasnya itu menatapnya.
“OMG! Kenapa dia tersenyum seperti itu lagi ke saya?” benak Yuke mengalihkan pandangan.
***
Setibanya di kota, siswa di dalam pete-pete merah itu turun satu-persatu di pasar. Beberapa di antaranya dijemput orang tuanya. Sedangkan Rumi, Reni, Lile, dan Yuke harus mencari angkutan jurusan lain yang menuju ke rumah mereka. Lile dan Yuke bahkan harus berganti angkutan sampai 3 kali untuk sampai ke rumah masing-masing.
***
Lile masuk ke rumah seperti orang sempoyongan. Ia harus naik ke lantai 3 untuk bisa beristirahat. Ibunya yang datang jauh-jauh dari kampung sudah menunggunya di sana. Setelah sebulan tak pulang, akhirnya ia bisa bersua kembali dengan keluarganya di kota. Lile memang jarang pulang lantaran orang tuanya menetap di kampung.
Lile tiba di rumah hampir memasuki waktu magrib. Setelah menyimpan barang bawaannya di kamar, ia pun membersihkan badan. Perjalanan jauh yang melelahkan membuatnya tak bisa menahan kantuk. Tak sadar Lile tertidur di kasur, saat azan sayup-sayup terdengar saling bersahutan. Lile terlelap sekian menit namun kembali terjaga setelah suara ketukan pintu terdengar dari luar.
“Li…., bangun, Nak, salat!” Lile mengenali suara itu. Ibunya yang memanggil. Tapi, Lile tak bisa menjawab, suaranya tertahan. Tubuhnya juga serasa berat untuk digerakkan.
“Arggghhh! Kenapa harus ketindihan lagi sih?!! pekiknya dalam hati.
Lagi-lagi Lile mengalami ketindihan. Kondisi yang sama saat ia melihat sosok hantu di asrama malam itu. Tapi, sensasi ketindihannya kali ini berbeda, ia tak melihat hantu, tapi lehernya seperti tercekik. Suara aneh yang terdengar menakutkan juga mendengung di telinganya.
Dengan mata berair, Lile melihat ke arah pintu. Dalam hati, ia berharap ibunya segera masuk ke kamar dan menolongnya. Sayang, Lile lupa jika ia mengunci pintu itu saat berganti pakaian.
bersambung
Baca juga : Ada Hantu di Asrama (Part 4)
celotehanakgunung.com/ada-hantu-di-asrama-4/
Arti kata dan klitika dalam dialeg Sulawesi Selatan :
Mi = sepadan dengan makna “lah”, namun bisa juga berarti “sudah” atau “saja”
Tawwa = dalam bahasa gaul orang Makassar digunakan sebagai pembenaran
Pete-pete = angkutan umum / angkot
Editor : Faudzan Farhana
Gambar : Dokpri Penulis