Sekuat tenaga Lile mencoba melepaskan diri dari ketindihan yang dialaminya sore itu. Kalimat ta’awuz berulang-ulang dibacanya dalam hati. Demikian juga Surah Al-Falaq dan Surah An-Nas. Beruntung, hanya berselang 10 menit, ketindihannya berakhir.
“Kenapa memangki tidur waktu magrib?” tanya sang ibu setelah Lile menceritakan ketindihan yang baru dialaminya.
“Kecapeanka, Bu, ndak sadarka tertidur. Eh, tahu-tahu ketindihan pas mau bangun,” cerita Lile.
Lile merasa ketindihannya kali ini lebih sakit dibanding dulu waktu di asrama. Sore itu, ia merasa lebih lelah. Bukan hanya karena perjalanannya dari Malino, tapi, ada sensasi aneh yang lebih kuat dirasakan Lile seperti menimpa tubuhnya.
Usai makan malam, Lile dan ibunya duduk di balkon rumah. Ibunya banyak bertanya perihal sekolah Lile di Malino. Tetapi, Lile enggan bercerita panjang. Baginya, ada banyak hal yang menurutnya tak perlu diketahui oleh ibunya.
“Bu, kita tahu apa itu Parakang?” tanya Lile tiba-tiba.
“Kenapa tanya begituan, Li?” ucap ibunya heran.
“Ndakji, Bu, penasaran saja,” Lile menimpali.
“Parakang itu setahu Ibu semacam hantu yang menyeramkan wujudnya. Biasanya jelmaan dari manusia yang punya ilmu hitam. Tengah malampi baru berubah wujud,” Lile serius mendengarkan cerita ibunya.
“Parakang bisa menyakiti manusia normal artinya, Bu?”
“Iya, bisa, bahkan bisa bunuh orang. Kalau di kampung, masih ada itu namanya manusia Parakang,” ucap sang ibu melanjutkan.
“Hiii, ngerinya deh, Bu. Sudahmi pale jangan meki cerita lagi, takutka bayangkanki,” Lile berusaha menghentikan pembahasan tentang Parakang. Ia tak mau ibunya tahu jika di asrama sekolahnya, cerita tentang hantu itu juga masih sering dibahas orang-orang di sana.
“Ndak adaji Parakang di sekolahmu toh?” tanya ibunya sesaat sebelum Lile beranjak dari kursi.
“Ngggg, kurang tahu Bu, ndak pernahka dengar,” Lile sedikit kikuk saat menjawab. Ia sudah berniat meninggalkan balkon tapi ibunya kembali mengucapkan sesuatu.
“Kalau ada juga, tidak usah takut, Nak. Sebenarnya, di mana-mana juga yang namanya makhluk halus itu pasti ada. Yang penting kamu selalu ingat sama Allah. Jangan sampai kamu lebih takut sama hantu tapi tidak takut kalau tinggalkan salat,” Lile hanya menganggung-angguk mendengarkan nasehat ibunya.
***
Jam dinding di kamar Yuke belum menunjukkan pukul 10. Yuke keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Suasana rumah ternyata sudah gelap gulita. Hanya lampu kamar mandi yang menyala. Yuke keheranan mendapati ruang keluarga yang sudah gelap dan sepi.
“Orang-orang pada ke mana ya? Apa pada keluar malam mingguan?” benak Yuke sambil berjalan menulusuri seluruh ruangan.
Malam itu, Yuke memang tak sadar tertidur setelah azan Isya berkumandang. Ia belum sempat salat saat matanya perlahan tertutup. Yuke terbangun gara-gara dengungan nyamuk. Ia tidak sempat menyemprotkan obat nyamuk sebelum tertidur.
Hawa dingin dan suasana gelap di rumah membuat Yuke semakin keheranan. “Apa jam di kamarku salah? Mungkin sudah tengah malammi memang.”
Yuke mengecek satu-persatu jam yang menempel di semua dinding ruangan rumah. Jarum jamnya sama, menunjukkan pukul 10 malam kurang. Sepanjang berkeliling rumah, ia juga tak mendapati siapa-siapa. Yuke pun memberanikan diri naik ke lantai 2, tempat di mana orang rumahnya biasa menjemur. Ia dan kakaknya juga sering bersantai di sana, minum kopi atau sekedar bercengkrama.
Semilir angin menyibakkan rambut Yuke begitu sampai di lantai 2. Suasana gelap membuatnya urung melangkah lebih jauh. Ketika ia hendak menuruni tangga, suara lemparan kerikil terdengar. Tak jauh dari tempatnya berdiri, tali jemuran bergerak-gerak sendiri seperti tertiup angin kencang.
“Apaan sih, masa ada hantu juga di sini?” pikir Yuke.
Suara lemparan kerikil terdengar lagi ketika ia mulai menuruni tangga. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali.
“Duh, siapa lagi anak tetangga yang jahil lempar-lempar batu,” gumamnya sambil bergegas turun.
Dari tangga, Yuke cepat-cepat masuk ke kamar. Perasaannya mulai tak enak saat mendapati semua ruangan yang dilaluinya kosong. Padahal, saat malam minggu, keluarganya biasanya berkumpul di depan TV.
Dari balik jendela kamar, Yuke mencoba mengintip ke luar. Kamarnya yang langsung berbatasan dengan pagar memungkinkan ia melihat jalan. Rupanya jalanannya juga sepi. Tak ada suara orang bercengkerama seperti biasanya.
Yuke mulai tak tenang. Ia mencoba memeriksa satu-persatu kamar yang ada di rumah.
“Kak Fa adaki di dalam?” Yuke berteriak di depan pintu kamar kakaknya setelah tiga kali mengetuk pintu. Tak ada sahutan. Saat gagang pintu disentakkan, pintu kamar juga seperti terkunci. Yuke berpindah ke kamar mamanya. Lagi-lagi hasilnya nihil. Tak ada siapa-siapa juga di sana.
“We kodong mana semua orangkah?”
***
Usai meminta izin pada tantenya, Lile akhirnya mendapatkan kunci telepon. Ia ingin mengubungi Yuke untuk memastikan rencana mereka hari minggu besok. Telepon di rumah tantenya memang selalu digembok untuk menghindari tagihan membengkak. Lile yang hanya menumpang saat minggu pulang harus tahu diri saat meminjam kunci telepon.
“Pakainya jangan lama-lama dan bicara seperlunya saja,” pesan ibunya saat tahu Lile meminjam kunci telepon rumah.
“Halo, Assalamu Alaikum,” Lile mengucapkan salam duluan ketika mendengar suara Yuke dari sambungan telepon.
“Yuk, jadi besok toh ke Pasar Sentral cari baju sama-sama?” ucap Lile bersemangat.
“Iye, Insya Allah,” Yuke menjawab singkat.
“Oke, sampai ketemu pale besok,” belum sempat Lile menaruh gagang telepon, terdengar suara Yuke seperti berteriak.
“Aaaaaaaaaa!!!!!!”
***
Belum selesai Yuke mengecek semua kamar, telepon rumah tiba-tiba berdering, Yuke bergegas menuju ruang keluarga dan mengangkat telepon. Ia pun tak sempat menyalakan lampu ruangan.
“Halo?”
“Wa alaikum salam, Lile,” jawabnya begitu mendengar salam dari suara dari seberang, Yuke mengenali suara temannya.
“Iye‘, Insya Allah,”
Sesaat sebelum menyimpan gagang telepon, sekelabat sosok putih tiba-tiba melintas di depan Yuke. Jantungnya berdegum kencang, matanya terbelalak, tak percaya dengan pemandangan yang baru saja dilihatnya.
“Astagfirullah, tadi itu apa? ” Yuke penasaran. Matanya mengitari seluruh sudut ruangan rumah mencari sosok putih itu.
Pandangan Yuke terhenti ketika melihat pintu kamar mandi sedikit terbuka. Dari tempat itu, ia melihat sesosok makhluk dibalut kain putih berdiri di dalam kamar mandi. Tubuhnya tinggi, kepalanya menunduk, dan wajahnya tak terlihat jelas. Hanya rambut panjang tergerai yang tampak acak-acakan. Spontan Yuke berteriak kencang saat melihat sosok itu. Tak sadar ia melepas gagang telepon. Kepalanya terasa pusing, penglihatannya mulai kabur, dan lututnya terasa lemas. Yuke linglung dan tak kuat lagi menopang tubuhnya sendiri dalam posisi berdiri hingga akhirnya tubuhnya jatuh menyentuh lantai. Yuke pun kehilangan kesadaran.
***
“Halo? Halo? Halo, Yuk? Masih di sanaki? Yuke?? Haloooo?!” berkali-kali Lile memanggil Yuke, tapi tak ada jawaban. Sesaat setelah Yuke berteriak, Lile hanya mendengar suara kresek-kresek dari gagang telepon. Suara itu meyakinkan Lile jika Yuke belum menutup teleponnya.
“Ke mana Yuke? Kenapa suaranya tiba-tiba hilang?”
bersambung
Baca juga : Ada Hantu di Asrama (Part 5)
celotehanakgunung.com/ada-hantu-di-asrama-5/
Arti kata dan klitika dalam dialeg Sulawesi Selatan :
Ki ‘ Kita = kamu, digunakan untuk menyapa orang yang dianggap lebih tua atau dihormati atau dengan tujuan bersikap sopan
Mi = sepadan dengan makna “lah”, namun bisa juga berarti “sudah” atau “saja”
Pale = perumpamaan akhiran lah, misalnya oke pale (okelah)
Toh = pembenaran, misalnya iya kan (iya toh)
Pale = perumpamaan imbuhan “lah”, misalnya okelah (oke pale)
Kodong = kasihan
Ji = cuma
Ka = saya
Editor : Faudzan Farhana
Gambar : Dokpri Penulis
[…] Baca juga : Ada Hantu di Asrama (Part 6) […]