Alam semesta selalu punya cara istimewa untuk menyampaikan pesan dan kesan terindah bagi makhluk di dalamnya. Punya banyak sisi yang sejatinya tak sesederhana seperti perkiraan manusia, lebih sederhana kehidupan manusia ketimbang alam semesta. Mengapa?
Hidup itu sebenarnya sederhana, hanya ada dua pilihan di dalamnya, yakni antara ya dan tidak.
One life, one chance. Sama halnya dengan manusia, alam semesta juga punya batasan, batas
antara satu dengan yang lain yang sejatinya tak boleh dilampaui untuk menjaga keseimbangannya. Dan aku mengenal kisah itu.
London, November 2019
Namaku Aditya. London, tempat di mana semua kisah bersejarahku dimulai. Dalam kisah ini aku memiliki 3 orang sahabat bernama James, Carmila, dan Jacob. Kisah kami juga diwarnai dengan berbagai rintangan, rintangan yang melampaui batasan. Kami diajarkan arti pertemuan dan arti kehilangan di tempat ajaib ini, London.
Sore itu, kami berempat berkumpul di gazebo asrama universitas kami. Suasanya cukup berbeda dari biasanya, teman-temanku yang biasanya lihai berbicara kini menjadi dingin.
“Kalian percaya nggak dengan dunia paralel?” ujar Jacob. Awalnya kukira ia mencoba mencairkan suasana. Namun makin lama pembicaraan itu makin berbobot. Aku, James, dan Carmila yang semula saling menatap dengan pandangan kosong, kini menatap Jacob dengan pandangan bermakna.
“Dunia paralel?” Mereka bertiga kompak mengatakan kalimat itu. Aku manggut-manggut menjawabnya. “Emm… percaya tidak percaya sih, fifty fifty,” ujar Carmila. Dia adalah satu-satunya wanita di dalam kelompok kami.
“Bicara soal dunia paralel, entah kalian percaya padaku atau tidak. Ibuku yang selama ini menghilang ternyata ia adalah seorang penjelajah dimensi,” lanjut Jacob, manusia paling dingin yang pernah kutemui.
Ada alasan di balik sikapnya yang dingin itu, dia telah kehilangan ibunya sejak kecil, ibunya pamit padanya, berjanji akan kembali. Namun naas, hingga kini ia tak kunjung kembali dan kepolisian menutup kasus hilangnya sang ibu.
Mendengar perkataan Jacob, mulanya kami tidak percaya akan hal itu. Perkataan yang sulit dicerna karena hingga saat ini, ada tidaknya dunia paralel itu masih menjadi misteri.
“Apa kau bercanda?” tanya James yang sedari tadi hanya mendengarkan percakapan kami.
Jacob menggelengkan kepala, “Tidak, aku yakin dengan yang kukatakan, selang 5 tahun kepergian ibuku, aku mendapatkan surel dari orang tidak dikenal. Anehnya, surel itu menunjukkan lokasi ibuku saat ini. Sempat tak percaya, namun kucoba untuk menelitinya dan aku yakin itu berasal darinya, dan dia ada di dimensi lain.”
“Kenapa kau baru bilang pada kami?” tanyaku.
Jacob menanggapinya dengan wajah murung, “Jelas aku perlu meneliti tentang kebenaran itu terlebih dahulu.”
Selang beberapa menit, Jacob mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “Selama beberapa tahun terakhir aku
menciptakan benda ini, bracelet dimensions,” ujarnya sembari memakaikan benda semacam gelang itu pada kami.
“Dan sekarang, aku butuh bantuan kalian! Bersediakah?” tawarnya pada kami bertiga.
Aku menjawab pertama kali dengan penuh semangat, “Ya! Kenapa tidak, kita udah sahabatan dari lama. Kalian udah ada dalam tiap suka dukaku.” James dan Carmila menyusul perkataanku, kami berempat akan melakukan perjalanan paling bersejarah sepanjang hidupku.
Keesokan harinya, sore hari kami berkumpul di gudang rumah Jacob. Tak kusangka, di tempat itu banyak benda canggih ciptaannya, cukup berantakan, tapi elok dipandang.
“Benda ini akan mengantar kita dalam perjalanan dimensi ini, OROD namanya. OROD berikan akses pada kami berempat. Oh iya pakailah gelang yang kemarin kuberikan terlebih dulu!” Jacob tak berhenti bicara, seolah tak memberikan kami ruang untuk berbicara.
“Memberikan akses… dalam 3 2 1.” Aku memejamkan mataku agar terlihat lebih dramatis. Kembali kubuka tepat setelah perhitungan mundur itu selesai. Dan apa jadinya? Benar adanya, kami sudah tidak berada di gudang itu lagi, lokasi kami kini berada di sebuah bengkel mobil yang sepertinya sudah tutup.
Carmila sedari tadi memasang raut penasaran di wajahnya, seolah ia telah menduga akan terjadi sesuatu yang menimpa kita. Aku pun penasaran apa yang ia pikirkan, “Car, kamu nggak papa?” pertanyaanku seolah membuyarkan lamunannya.
“Mmm… Jacob, OROD itu tadi artinya apa?” ujarnya.
“Obey the Rules Or Die,” ujar Jacob menanggapinya. Wajah kami langsung muram seketika.
“Tuh kan, dari tadi aku udah mikirin itu. Nggak mungkin gak akan ada dampak dari perjalanan lintas dimensi ini. Kita udah menyalahi aturan alam semesta,” aku sedikit tidak paham dengan omelan Carmila itu.
“Hmm biar aku jelasin, ketika kita melakukan perjalanan ini tanpa akses khusus kita akan ditangkap oleh Badan Keamanan Lintas Dimensi namanya. Namun aku udah bener-bener ngedalemin teori itu bukan? Jadi percayalah, di sini tertulis bahwa ‘Percaya adalah kunci. Akses khusus hanya diberikan sampai besok fajar, setelah itu Badan Keamanan akan mengetahui keberadaan kalian dan akan di-cap sebagai Penjelajah Dimensi.’ Jadi kalian hanya perlu mematuhi aturan itu, kuncinya adalah tepat waktu,” ujar Jacob sembari membaca selembar kertas yang sedari tadi sudah ada di tangannya.
“Bentar, emangnya ada apa dengan penjelajah dimensi?” tanya James.
Jacob menghela napas sejenak, “Kalian udah pada tau kan kalau sebenernya kita ini menyalahi aturan semesta dan naluri manusia? Seperti itulah penjelajah dimensi, tapi nggak semuanya punya niatan
jahat.”
Dari situ aku tau, Jacob kemungkinan besar mengambil tindakan ini dengan gegabah, meskipun sudah bertahun-tahun ia mendalami topik dunia paralel ini. Namun mungkin masih belum matang, bisa kutebak dari pandangan matanya yang berkaca-kaca.
“Adit, kamu ngerasa gak sih, ibunya dia kan juga penjelajah dimensi. Berarti kan dia udah jadi buronan. Apa itu alasannya dia nggak bisa balik ke dimensi kita? Atau mungkin, aksesnya udah abis buat pindah dimensi dan ia kejebak di sini?” bisik Carmila padaku.
Aku terdiam sejenak, takut, dan bimbang harus berbuat apa. Di satu sisi Jacob adalah temanku, di sisi lain
perasaanku sudah tidak enak sedari tadi.
Jacob tengah fokus dengan ponselnya. Lima menit berlalu, “Nah! Guys ikuti aku!” Jacob memimpin perjalanan ini, kami berhasil keluar dari bengkel itu dan menuju ke sebuah perkotaan. Di situ aku sadar bahwa kita sekarang tengah berada di dimensi Earth-71, tempat di mana para mafia paling mematikan tinggal.
Dugaanku dan Carmila semakin tepat, kemungkinan besar ibu Jacob adalah seorang buronan. Tak bisa dipungkiri meski baru kali ini aku melakukan perjalanan lintas dimensi, bisa kupastikan dimensi ini adalah tempat paling bobrok di alam semesta. Tidak ada aturan yang mengikat di tempat ini, semua bertindak semaunya dan itu legal di tempat ini. Tak terbayangkan.
Perjalanan kami berakhir di sebuah apartemen. Pandanganku sedari tadi terarah pada sebuah tempat semacam bar. Di situ tempat para mafia berkumpul. Aku hendak menyelamatkan orang-orang lemah yang ditekan di tempat ini. Namun Jacob menahanku, mereka mungkin bisa curiga bila aku bertindak baik.
Jacob menghampiri meja administrasi, “Permisi, di sini ada yang namanya Mrs. Latonna Minoru?”
Latonna Minoru, ibu Jacob. Minoru adalah nama marga keluarga mereka. Admin itu segera mencari nama yang Jacob sebutkan,
“Ada, di lantai 5, kamar nomor 74. Berhati-hatilah!” Tatapan sinis dan kalimat terakhir itu menghantuiku sampai kini. Namun Jacob tak menggubris, Jacob segera berlari menuju kamar tersebut. Sedang aku dan yang lainnya segera menyusul.
Setibanya, ia mengetuk pintu dan betapa terkejutnya seorang wanita membukakan pintu tersebut. Benar adanya di tempat itu ia menjumpai sang ibu yang telah lama hilang. Mereka berdua melepas rindu. Wanita itu mempersilahkan kami masuk. Jacob bercerita panjang lebar tentang apa yang ia lalui selama ini, hingga lupa waktu bahwa sekarang sudah tengah malam.
“Untung kalian segera datang, ibu sudah lelah selama ini harus hidup dalam pelarian,” ujar Nyonya Minoru sembari terisak tangis.
Carmila mencoba mengingatkan Jacob, “Maaf bukan bermaksud menyela, tetapi ini udah tengah malam, baiknya bila kita kembali dulu ke dimensi asal gimana?” Nyonya Minoru memasang raut wajah murung.
“Ini udah tengah malam, hendaknya kita menunggu sampai fajar tiba bagaimana? Kalian menginap di sini terlebih dahulu, nanti yang cewek sekamar sama ibu gak papa.”
“Tapi akses kita hanya berlaku sampai fajar saja tante,” ujar James.
Jacob menyahut perkataan James, “Kita kembali sebelum fajar.”
Mau tidak mau kami harus menuruti perkataannya, karena bagaimana pun kita harus kembali bersama. Kami menuju ke kamar masing-masing dan rehat sejenak. Hari yang sangat melelahkan, kami tertidur sangat pulas, tak terpikir kalau kami sedang dijebak olehnya.
Keesokan harinya, “Guys, Nyonya Minoru! Dia udah pergi! Kemarin aku sangat pulas, ia mengambil gelang milikku,” teriak Carmila membangunkan kami.
Kami bertiga serentak terbangun, aku melihat jam, kurang 10 menit lagi fajar. “Sudah aku bilang, ada yang tidak beres dari wanita itu!” teriak Carmila yang tengah terisak tangis.
“Hey! Jangan berani kau menghina ibuku! Ini semua salahmu, kenapa kau tidak menjaganya dengan baik!” sahut Jacob.
Aku mencoba menengahi masalah, “Cukup! Sekarang bukan waktunya untuk mencari kambing hitam dari masalah ini! Badan Keamanan akan segera melacak keberadaan kita. Artinya salah satu di antara kita harus ada yang menetap disini bukan? Dan sekarang aku tau apa yang ada di pikiran kalian,” lanjutku.
Aku tahu mereka semua akan mengalah untuk mengorbankan diri masing-masing. Akses tersisa 2 menit lagi, kami masih terenung dalam pikiran masing-masing. Bagaimana tidak, James, ia adalah tulang punggung keluarganya. Carmila, ia adalah anak tunggal pewaris perusahaan terkenal di London, dan Jacob ia sudah benar-benar hancur, terkhianati.
Jujur aku sendiri juga masih banyak tanggungan, kala itu kami merasa sangat bodoh. Seolah kami hanyut dalam kegelapan di dalam terowongan panjang tak berujung.
“Jalan satu-satunya hanyalah menyerah,” ujar James, kulihat ia tak kuasa membendung air mata.
“Kita datang ke sini bersama-sama, bila harus berakhir di sini aku tak apa,” lanjutnya.
1 menit lagi akses akan segera habis, Jacob mulai berkata, “Ya menyerah adalah kuncinya, biar
aku yang menyerah, kalian harus tetap hidup!” Ia memasangkan bracelet dimensions miliknya
di tangan Carmila.
Terdengar lagi suara OROD, “Akses berakhir dalam 3 2 1, pemakai otomatis dikembalikan dalam 5 4 3 2 1.”
“Kembalilah, lanjutkan hidup kalian!” teriak Jacob. Aku, James, dan Carmila saling memandang, melihat Jacob yang berdiri pasrah entah menunggu Badan Keamanan datang atau berpikir akan hidup dalam pelarian. Hati kami yang telah hancur, semakin melebur, teman macam apa kami? Harapan Jacob telah pupus. Nyonya Minoru, ibu macam apa yang tega menghancurkan anaknya. Ia adalah pembunuh, pembunuh harapan.
Seketika kami bertiga terkejut, lokasi kami segera berpindah ke bengkel Jacob setelah penghitungan mundur berakhir. Tak percaya dengan apa yang dilakukannya di saat terakhir itu, perpisahan yang terlalu mendadak, tak bisa kupercaya sampai kini.
Aku memukul-mukul pipiku, seraya masih tak percaya, Tuhan apakah ini mimpi?
Perlahan kami mulai bisa menerima keadaan, melanjutkan hidup. Kami percaya, kini kami dan Jacob ada di semesta yang sama, namun dimensi yang berbeda. Sementara Nyonya Minoru? Tak ada kabar tentangnya.
“Kalian tidak akan pernah tau sakitnya perpisahan, jika belum mengakhiri pertemuan.”
Penulis : Deflin Gani
Editor : Irfani Sakinah
Ilustrasi : Yati Paturusi
Gambar : pixabay.com