Berburu Air di AsramaBerburu Air di Asrama

Oleh : Fajri Karim

Smudama adalah sekolah berasrama kedua bagiku.  Sebelumnya, aku sempat mengenyam pendidikan di pesantren selama 3 tahun. Kisahnya mirip, klasik khas anak asrama. Seperti cerita dua puluh tahun lalu, saat masa perjuanganku mencari air untuk kebutuhan pribadi. Hal itu juga pernah kualami semasa bersekolah di Smudama.

Saat itu, sumber utama air bersih bagi kami adalah dengan mengandalkan mobil tangki. Tangki legendaris yang menjadi incaran banyak anak Smudama dan yang selalu dinanti kedatangannya. Untuk mendapatkan air dari tangki, siswa hanya dibolehkan mengambil dari bak besar yang berada di samping masjid. Hal ini dilakukan untuk menghindari sabotase tangki. Berjaga-jaga jika ada yang mengambil air duluan langsung dari tangkinya.

Eits, tapi mengambil air dari bak juga butuh perjuangan. Tidak semudah memutar keran air. Menimba airnya dengan cara manual yang membutuhkan kekuatan dan kegigihan.

Berbagai strategi dilakukan oleh siswa. Mulai dari menyiapkan ember dan tali dari sabuk karate untuk dijadikan timba. Hingga mengandalkan teman yang sedang berhalangan shalat untuk mencaplok posisi tempat menimba di bak. Hal ini biasa kami lakukan sebagai tim dengan teman sekamar. Kalau dalam kegiatan outbond, ini bisa jadi contoh untuk team building.

Menimba air di bak asrama itu ibaratnya seperti bertarung. Kami yang masih kelas 1 biasanya hanya bisa mendapatkan sedikit air. Bukan karena kami tergolong murid lumut alias lucu dan imut. Tapi, rasa segan terhadap kakak kelas. Menghindari sikut-sikutan terjadi saat kami menimba air.

Suatu ketika, aku dan salah seorang teman kamarku berinisiatif melakukan percobaan. Hitung-hitung mencoba peruntungan demi mendapatkan air bersih.

“Nurul, bagaimana kalau besok sebelum subuh kita bangun terus coba buka kerannya mobil tangki. Siapa tahu masih ada sisa-sisa airnya,” ucapku pada Nurul.

“Iya di‘, ayo e, cobaki,” Nurul merespon dengan antusias.

Akhirnya, kami sepakat untuk melancarkan misi itu yang rencananya dilakukan sebelum waktu subuh.

Sekitar pukul 4 subuh, saat langit masih gelap dan penghuni asrama lainnya masih terlelap, kami siap melancarkan aksi. Kami mengambil ember dan jerigen kosong. Pelan-pelan kami membuka pintu kamar kemudian menaiki tangga aspuri menuju selasar.

Mobil tangki ternyata masih terparkir di samping ruang saji. Sayangnya, saat itu kami belum mempelajari teknik perang ala Sun Tzu. Sehingga, ada banyak hal yang terlewatkan.

Nafas kami memburu setelah tiba di selasar. Antusias bercampur deg-degan dan penuh harap ember kami bisa terisi. Minimal, airnya bisa digunakan untuk cuci muka sebelum berangkat ke sekolah. Tapi, saat kami hendak melancarkan aksi, tak disangka beberapa pasang mata mengintai dari lapangan basket. Memang saat itu masih remang-remang karena lampu penerangan tidak terlalu bagus. Jadi, kami tidak bisa melihat siapa saja yang sedang memperhatikan kami dari kejauhan.

Aku dan Nurul sempat saling berpandangan sebelum akhirnya mantap memulai misi. “Ayo!” kataku pada Nurul.

Kami mulai berjalan mendekati mobil tangki saat seekor makhluk yang (sebut saja inisialnya A karena nanti takut pencemaran nama baik) mulai menggonggong dengan keras. Awalnya hanya sekali gonggongan, namun kemudian gonggongan lainnya menjadi saling bersahut-sahutan.

“Nurulllllllll ! Janganko lari!” ucapku sambil menarik tangan Nurul, namun refleks tubuh kami berlari berbalik arah menuju selasar.

Seolah memiliki ilmu untuk meringankan tubuh, kami berlari menuruni tangga selasar dengan cepat. Seperti aksi Xiao Long di Film Shaolin Popeye, tak sadar kami melompati beberapa anak tangga. Kami terjatuh, suara ember dan lutut kami berdentum keras di tangga semen. Jatuh bangun kami menuruni tangga selasar itu. Setelah terjatuh kemudian bangkit lagi, terjatuh, lalu bangkit lagi.

Setelah sampai di kamar dan merasa agak tenang, kami baru menyadari banyak hal. Ternyata, celana kami sobek di bagian lutut, berdarah, bahkan beberapa bagian tubuh kami lebam. Rasa sakitnya baru mulai terasa. Apa boleh buat kami hanya bisa meratapi nasib yang menimpa kami saat itu.

Jika guru Helen Keller terharu ketika mendengar Helen mengucapkan kata water, maka kami hanya bisa menangis pilu memandangi ember dan jerigen kami yang kosong. Sambil berucap, “Water! Water!”


Editor : Uli’ Why
Gambar : Dokpri Editor

CATATAN :
Smudama = SMAN 5 Gowa (dulu SMA Negeri 2 Tinggimoncong), salah satu SMA boarding yang berlokasi di Kab.Gowa, Sulawesi Selatan.
Kita/Ki
= kamu (dalam dialek khas Sulawesi Selatan, digunakan untuk menyapa orang yang dianggap lebih tua atau dihormati atau dengan tujuan bersikap sopan)
Ko = kamu (dalam dialek khas Sulawesi Selatan, digunakan untuk menyapa orang yang sebaya dalam percakapan hari-hari)
Di’ = seperti kata kan untuk meyakinkan. Contoh : iya di’ (iya kan?!)
Helen Keller = tokoh dunia aktivis difabel yang dikenal buta dan tuli, namun akhirnya bisa berbicara saat menyentuh air dengan perjuangan keras dari gurunya Anne Sullivan
Shaolin Popeye = film kungfu asal Taiwan yang juga sering disebut Boboho
Sun Tzu = nama panglima jenderal militer China yang terkenal jenius karena strategi perangnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!