Stasiun kereta mulai lengang pada malam hari. Peron dan lampu menjadi pemandangan indah untuk dilihat setelah seharian berkutat di depan layar monitor untuk bekerja. Di sana duduk seorang perempuan dengan headset putihnya. Ia terlihat asyik mendengarkan lagu. Tampak kakinya menari-nari kecil, sesekali bibirnya mencoba menirukan nyanyiannya. Aku tertawa kecil melihatnya.
“Kereta tujuan Tangerang akan berangkat pukul 09:15. Penumpang diharapkan bersiap di samping peron.” Suara pengumuman dari petugas stasiun telah dikumandangkan. Aku bergegas menuju samping peron, begitu juga gadis itu.
Ini kali pertama aku melihatnya, namun dirinya terasa hangat bagiku. Seketika ia menyadari bahwa aku menatapnya. Ia tersenyum kecil dan aku pun tersipu malu. Kami menaiki kereta yang sama dengan gerbong yang berbeda. Ia menghilang dan kami tak bertemu lagi.
Malamku terasa berbeda, semuanya terasa menggembirakan. Padahal hari ini aku baru saja mendapat teguran dari atasanku karena terlambat menyerahkan laporan. Mumet rasanya, tetapi ketika melihat perempuan itu. Rasanya jadi sebahagia ini.
Ketika tiba di stasiun tujuan, hujan begitu deras hingga aku tak mampu melanjutkan perjalanan. Kuputuskan untuk berteduh di halte, hari sudah begitu larut dan tak ada orang sama sekali. Sambil menikmati keheningan dan gemercik air yang turun. dari seberang halte kulihat seorang perempuan berlari kecil menuju arahku, dirinya basah kuyup. Ia duduk di sampingku sambil membereskan barang-barangnya.
Awalnya, aku risih karena ia begitu gaduh. Namun, setelah kuperhatikan, ia perempuan yang tadi kulihat di stasiun. Setengah jam berlalu, namun sudah tak ada lagi transportasi umum yang lalu lalang. Perempuan itu terlelap dengan bajunya yang basah. Ketika itu, tubuhnya hampir terjatuh, aku reflek menangkapnya. Tetapi ia tak kunjung bangun dari tidurnya. Kusandarkan ia pada bahuku, terasa ada yang tidak beres, bukan bermaksud tidak sopan, namun setelah kupegang dahinya, ternyata ia demam. Ia juga mengigau, kutepuk perlahan pipinya.
“Dek, dek…bangun dek..” usahaku untuk membangunkannya. Ia nampak lebih muda dariku sehingga kupanggil dia seperti itu. Berkali-kali kulakukan itu hingga ia tersadar. Ia malah menatapku, kemudian memegang pipiku. Lalu ia mendaratkan bibir mungilnya tepat di bibirku.
Aku tercengang untuk sesaat, kuyakin ia belum sadar betul. Jantungku benar-benar berdegup secepat itu. Ingin rasanya kubalas kecupan itu, namun hal itu sangat tidak sopan. Kudorong dirinya, perempuan itu membelalakan matanya ketika ia sepenuhnya sadar yang terjadi.
“Ehhhh! Eh, eh.. Maaf mas, aduh aku gak bermaksud,” ucapnya terbata-bata, pipinya merah merona karena malu, ekspresinya sangat lucu. Aku diam sejenak, aku yakin betul dirinya malu.
“Iya, gak apa. Anggap saja gak ada apa-apa tadi, hihi.. udah ngerasa baikan?” kuberikan sebuah senyum tipis untuknya.
“Aduh aku jadi ga enak, maaf banget ya mas..” lanjutnya. Ia terlihat kikuk dan kebingungan saat melihat arlojinya yang menunjukan pukul 23.15. Diraihnya ponsel miliknya. Aku rasa ia ingin memesan ojek lewat aplikasi. Ia tampak menggerutu. Lagi-lagi aku diam dan pura-pura tak melihatnya.
“Anu, mas, aku mau pesan ojek, tapi bateraiku habis. Boleh kupinjam punya mas?” ucapnya memecah keheningan. Aku mengangguk sambil memberikan ponselku padanya.
“Rumah kita searah toh, aku antar kamu pulang ya. Tadi sepertinya kamu demam deh, lagipula sudah malam, gak baik anak gadis pulang sendirian.” pintaku padanya.
Perempuan manis itu menganggukan kepalanya. Lalu berjalan bersamaku menuju titik penjemputan. Percakapan panjang terjadi di dalam mobil, ternyata namanya Dania, usianya terpaut 2 tahun di bawahku. Ia bercerita banyak hal selama setengah jam perjalanan itu, seolah-olah ia sudah lama mengenalku. Matanya selalu berbinar-binar saat berbicara, kejujuran terpancar darinya. Tanpa aku sadar dalam waktu sesingkat itu, aku sudah jatuh cinta padanya, tepat pada pandangan pertama.
Seminggu berlalu dan aku mulai merindukannya, kesalahanku adalah tidak meminta nomor teleponnya. Malam itu berlalu begitu saja dan menyisakan kenangan manis. Aku juga sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi di stasiun. Perasaan gundah mulai menyelimuti hari-hariku. Aku selalu menunggunya di halte itu.
Malam ini ketika aku duduk termenung di halte, bersamaan dengan hujan yang kembali turun, aku melihat Dania. Ia berlari kecil menuju halte tempatku berada. Kemudian ia tersenyum padaku untuk berterima kasih atas pertolonganku minggu lalu. Ia melepaskan headsetnya, lalu kembali bercerita tentang penatnya hari ini.
Di sela-sela percakapan panjang itu, hujan turun semakin deras. Ia berdiri dan meraih tanganku, mengajakku menari dalam hujan. Jalanan begitu sepi hingga kami bisa menikmati romansa seperti ini. Tanpa kusadari, dalam setiap gerakan juga pandanganku padanya, aku sadari bahwa dia adalah harta yang tak pernah kuharapkan sedikit pun. Sejak trauma masa lalu menjebakku dalam kesendirian, hari ini pintu hatiku mulai terbuka kembali.
“Aku cinta kamu, Dan..” ucapku memberanikan diri. Kami berdua mematung dan saling menatap, kulihat matanya berlinang.
“Iya, aku tahu. Tapi kamu gak boleh punya perasaan itu sama aku,” jawabnya sambil tersenyum dalam tangisnya.
Aku masih menggenggam tangannya, entah kenapa hujan tampak tak merestui kami.
“Kenapa?” tanyaku
” Aku sebentar lagi pergi, kamu gak bisa nemuin aku. Aku cuma mau bilang terima kasih kamu udah bantu aku minggu lalu, makanya aku ke sini.” Jawabnya. Ia menatapku, hatiku mati lemas mendengarnya.
“Sudah jam 23.15, kamu antar aku pulang lagi ya..” pinta Dania. Ia menarikku dari hujan. Mengambil barang-barangnya dan berjalan pulang.
Setibanya di gang rumah, ia melambaikan tangan padaku sambil melangkah pergi. Bayangnya memudar dan aku kembali pulang.
Sebulan berlalu tanpa kabar. Aku selalu merindukannya. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjungi rumahnya, kutelusuri gang itu untuk mencari rumah mana yang tepat. Ada seorang ibu yang sedang menyapu halaman depan, ia menyapaku.
“Dek, mau ke mana? Nyari alamat siapa?” teriak si ibu dari kejauhan. Aku berlari mendekatinya menjelaskan ciri perempuan yang kucari.
“Oh, itu mah kayanya Neng Dania yah? Rambutnya segini ‘kan? Terus orangnya kurus, suka senyum?” jelas si ibu sambil menirukan gaya khas Dania.
“Iya bu, benar. Namanya Dania,” jawabku. Secercah harapan hadir ketika si ibu mendapatkan maksudku.
“Tapi, kamu kenapa cari dia?” tanya si ibu.
“Ga papa, Bu, cuma mau ketemu saja..” jawabku singkat.
“Tapi, Dek, kamu gak bisa ketemu dia lagi. Kira-kira yah dua bulan lalu dia jadi korban tabrak lari di halte dekat stasiun. Sempat koma selama seminggu dan sebulan yang lalu meninggal. Dania memang ngekost dekat sini, di situ tuh..” jelas si ibu sambil menunjuk salah satu rumah. Persis sama dengan rumah yang dimasuki Dania hari itu.
Tubuhku kaku, mungkin wajahku pun memucat. Rasa tidak percaya menguasai seluruh diriku. Aku berjalan pulang dan mengenang kembali yang sudah terjadi. Ternyata, pertemuan pertamaku dengan Dania adalah hari di mana ia koma di rumah sakit, lalu pertemuan selanjutnya hari di mana ia meninggal. Aku menangis sejadi-jadinya, kini kuhanya mampu mengenang Dania dalam doa.
Dania pergi dan ke mana pun aku mencari, aku takkan mampu menemukannya. Karena sejatinya ia sudah tenang dalam dimensi yang berbeda. Satu hal yang kusyukuri adalah aku dapat mengantarnya dengan bahagia. Malam itu, saat kami berdua menari dalam guyuran hujan, ia tersenyum dan setidaknya cintaku tersampaikan. Beristirahatlah dengan damai, Dania.
Penulis: Deflin Gani
Editor: Faudzan Farhana
Ilustrasi: Yati Paturusi
Gambar: canva.com