Mukena lusuh nenek tergantung di jemuran di bagian bawah rumah panggungnya. Sore itu, aku berinisiatif mengambilnya. Kupikir, sekalian menjenguk Nenek Mima untuk melepas rindu. Sejak merantau ke kota, sudah hampir setahun, aku hanya bertemu sekali dengannya.
Dengan sangat berhati-hati, aku mengambil mukena nenek yang melingkar pada sebatang bambu tua yang dijadikan sebagai jemuran. Kainnya sudah sangat tipis. Aku khawatir mukenanya mudah sobek. Beruntung, mukena itu tidak tersangkut, sehingga aku bisa melipatnya dengan rapi.
Aku langsung naik ke rumah nenek, mencarinya di dalam kamar, untuk menyerahkan mukena kesayangannya. Dari jauh, kulihat pintu kamarnya sedikit terbuka, kuketuk sebentar lalu masuk.
“Assalamu’alaikum,” kulihat Nenek Mima sedang berbaring di kasur. Ia segera bangkit dan menyahut.
“Wa’alaikumussalam. Siapa?” ucapnya menatapku lekat.
“Nek, ini Megumi,” jawabku setelah mendekat.
“Aaaa? Siapa? Maaf, Nak, Nenek ini tuli, keraskan sedikit suaranya,” nenek menjawab sambil mengernyitkan kening.
“Gumi, Nek,” kunaikkan nada suaraku. Berharap Nenek Mima mendengarnya dengan jelas.
“Oh! Gumi?! Kamu kapan datang, Nak?” butuh waktu lama bagi Nenek Mima untuk mengenaliku. Tampak raut bahagia di wajahnya saat ia melihatku.
“Ini baru datang, Nek. Oh iya, ini mukena Nenek ya. Saya ambil dari jemuran di bawah,” kataku sembari menyerahkan lipatan kain putih yang sudah tampak lusuh ke tangannya.
“Oi, Gumi! Ternyata kamu,” Tante Ami mengagetkanku dari bilik pintu. Ia lalu masuk ke kamar dan duduk di sampingku.
Kami bertiga belum sempat bercakap-cakap, tapi kemudian terdengar suara azan. “Itu azan Asar?” tanya Nenek Mima.
“Iya, Bu, itu sudah azan. Ibu mau salat sekarang? Ini mukena lama Ibu diganti saja. Banyak mukena baru di lemari itu, Bu,” ucap Tante Ami menawarkan.
“Jangan, Mi! Itu mukena kesayangan, Ibu! Tidak apa-apa lusuh,” nenek menolak tawaran anaknya.
“Sudah belasan tahun itu mukena nggak diganti-ganti. Berkali-kali dijahit karena sudah sering sobek juga,” ucap Tante Ami menatapku tajam.
Bukan kali itu saja kulihat Tante Ami membujuk nenek untuk mengganti mukenanya. Sekian nasehat disampaikan sang anak, tapi Nenek Mima tetap bersikeras ingin memakai mukena lusuhnya itu untuk salat sehari-hari di rumah.
“Biarlah Nenek pakai mukena ini, Nak. Ini biar Allah lihat kalau Nenek itu orang susah. Mukenanya lusuh karena tidak bisa beli mukena baru setiap tahun,” Tante Ami hanya menghela nafas mendengar ucapan ibunya.
“Nek, Allah itu suka kalau kita selalu berpakaian rapi dan wangi saat menghadap-Nya. Mengenakan baju baru atau mukena baru kalau salat, itu Allah senang, Nek,” aku berusaha meyakinkan Nenek Mima.
“Nggak apa-apa, Nenek tampil apa adanya saja di hadapan Allah. Mukena lusuh itu juga bukti kalau Nenek Alhamdulillah masih bisa salat tiap hari. Jika ada mukena baru, itu tandanya jarang dipakai,” mendengar ucapan nenek, aku dan Tante Ami hanya saling berpandangan.
***
Azan Subuh berkumandang. Selepas sahur, aku tak kembali tidur. Kubangunkan adik sepupuku yang kembali masuk ke kamarnya setelah sahur tadi.
“Lala, bangun! Udah azan. Salat berjamaah, yuk!” ucapku menepuk pundaknya berkali-kali. Lala segera bangun dan mengambil air wudu. Ia menghampiriku setelah mengenakan mukenanya.
“Kak Gumi jadi imam ya,” ucapnya kemudian berdiri di sampingku.
Setelah menunaikan salat subuh berdua, Lala menyadarkanku jika mukena yang kugunakan sobek.
“Ih, mukenanya sobek ya, Kak? kata Lala menunjukkan bagian sobek yang terjuntai di belakangku. Mukenanya segera kulepas. Saat melihat bagian sobeknya, aku kembali teringat pada mukena lusuh nenek.
“Ah, seharusnya sebelum Ramadan aku beli mukena baru. Buat tarawih lain, untuk salat di rumah juga kan bisa lain mukenanya. Padahal, aku pernah mengingatkan nenek, jika Allah menyukai pakaian baru saat kita menghadap-Nya. Kenapa kita bersemangat menyiapkan baju baru saat bertemu dengan orang lain? Sedangkan di hadapan Sang Maha Pencipta, kita lebih sering berpenampilan seadanya.”
Ilustrasi & Gambar : Dokpri Penulis