Banyak orang yang mendambakan tinggal di rumah dengan lingkungan yang bersih, damai, jauh dari bisingnya suara mesin limbah yang memekakkan telinga, dan juga memiliki tetangga yang bergotong-royong. Tapi tidak denganku, aku sangat nyaman berada di rumah yang penuh dengan kardus bekas dan koran-koran yang kertasnya mulai menguning. Ibu dan adikku juga tinggal di bawah atap ini. Sementara aku tak tahu di mana ayah. Tak perlulah aku bertanya pada ibu tentang ayah atau aku akan dimarahi.

Rumah koran kami berada di belakang perumahan mewah. Perbatasan wilayahnya adalah tembok besar nan menjulang tinggi namun sudah bolong di sana dan sini. Entah siapa yang merusaknya, setidaknya bolong itu cukup untuk dilewati tubuh mungilku dan adikku.

Setiap hari kuperhatikan anak-anak pemilik rumah mewah di sini berangkat dan pulang sekolah, diantar jemput dengan mobil yang mesinnya tidak bersuara. Tak jarang aku saksikan saat matahari baru saja absen, ibu mereka berlarian kecil membawakan segelas susu. Lalu memaksa anaknya untuk minum, sementara si anak menolak sambil menutup pintu mobil.

Ah, orang seperti mereka sungguh aneh. Mengapa hanya meminum segelas cairan putih lezat saja harus dipaksa. Aku dan adikku belum tentu meminumnya sebulan sekali.

Setiap hari aku pasti melewati rumah orang-orang ini, kecuali jika aku sakit. Adikku juga bersamaku. Kami membawa karung beras di pundak dan tak lupa memakai topi yang kutemukan di luar pagar salah satu rumah orang-orang ini. Entah memang dibuangnya atau mereka menjatuhkannya. Yang jelas benda ini sedikit melindungi kami dari terik matahari siang ibu kota.

Aku akan pulang saat matahari mulai lelah. Melewati rumah-rumah mewah ini lagi yang tadi pagi membuatku menumpuk pertanyaan-pertanyaan yang berbeda setiap harinya. Pertanyaan itu juga muncul di kala senja seperti ini.

“Mengapa hampir seluruh laki-laki penghuni rumah mewah ini saat keluar rumah, memakai baju koko rapi lengkap dengan sarung dan penutup kepala? Tak jarang beberapa dari mereka memberiku uang. Aneh betul mereka ini, aku saja setengah mati mencarinya, mana mungkin kuberikan pada orang lain.”

Pertanyaan yang muncul secara tiba-tiba di setiap pagi dan senja kutumpuk rapi dan kusimpan dalam memori. Karena tak tahu harus kutanyakan pada siapa.

***

Saat ini usiaku 15 tahun, rambutku panjang menjuntai hingga pinggang jika tidak kuikat. Warnanya agak merah kekuningan dan tebal karena rambutku membelah di setiap bagian ujungnya. Tidak seperti rambut gadis yang biasa kulihat di tirai penutup warung makan khas Tegal.

Mataku biru dan hidungku mancung, bibirku berwarna pink walau agak pecah-pecah. Kulitku berwarna coklat dan kutemukan bintik-bintik coklat muda di sekitar pipiku. Pastilah karena terik matahari.

Adikku entah berapa umurnya, tapi ia mulai bertambah tinggi, ia setinggi perutku. Anehnya bocah ini tidak memiliki kesamaan denganku, ia hitam sama seperti bola matanya. Rambutnya hitam keriting padahal ia agak botak, bibirnya juga hitam, ah dia serba hitam.

Entah mengapa kami berbeda, tak berani juga aku bertanya pada ibu. Sudahlah.

***

Kesekian ratus kalinya senja datang menggandeng hujan, betapa mereka menganggu perjalanan pulangku. Aku memutuskan untuk berteduh di sebuah toko yang tutup di pinggir jalan. Kulirik adikku yang kedinginan, begitupun aku. Di seberang jalan ada sebuah sekolah besar, para muridnya memakai baju bebas. Mungkin usianya jauh di atasku, bahkan kulihat ada juga yang sedang mengandung, entah sekolah macam apa.

Aku melihat ada sesosok laki-laki muda menyeberang jalan ke arah kami, tangan kanannya membawa plastik hitam, sepertinya berisi kardus kecil. Ia berpenampilan rapi dengan kemeja kotak-kotak biru tua dan celana jeans hitam. Jam di tangan kanannya pun terlihat keren, sementara tangan kirinya berusaha menutupi kepala dengan tas ranselnya.

Ternyata benar orang itu menghampiri kami dan plastik hitam itu disodorkannya padaku. Lalu ia tersenyum dan balik badan hendak menyeberang Kembali. Sedetik setelah aku menerimanya yang ternyata berisikan nasi kotak.

“Tunggu,” tiba-tiba aku teringat kembali dengan pertanyaannku yang mulai menggunung. Aku yakin bahwa dengan penampilannya yang rapi begini, pasti ia dapat membantu menjawab pertanyaannku.

Ia membalikkan badannya dan lagi-lagi ia tersenyum tanpa berkata apa-apa.

“Aku punya beberapa pertanyaan, dapatkah kau membantu?” tanyaku dengan keberanian yang kubuat-buat. Kulihat ia kesekian kalinya hanya tersenyum sambil mengangkat alis, mungkin maksudnya, “tentu saja”.

Mengapa setiap orang dilahirkan ke dunia dengan keadaan hidup yang berbeda-beda? Ada yang memiliki rumah mewah dan megah, ada pula yang hanya beralaskan koran lapuk. Ada yang bersekolah sepertimu, ada pula yang bahkan tidak dapat membaca dan menulis sepertiku. Ada yang mati-matian mencari uang untuk makan, ada pula yang dengan mudah memberinya begitu saja pada orang lain seperti yang baru saja kau lakukan padaku.

Mengapa sebagian orang hidup dalam kelebihan dan sebagian lainnya hidup dalam nelangsa. Mengapa orang sepertimu baik-baik saja tetapi orang sepertiku… Pertanyaanku terpotong karena ia mengangkat tangannya seperti mengisyaratkan untuk berhenti.

Ia mulai membuka mulutnya seakan hendak berbicara namun tak bersuara. Ia terus bicara dengan tangan seperti memperagakan apa-apa yang diucapkannya, tak satu pun dapat kupahami dari bicaranya. Terakhir ia mengepalkan tangannya lalu mengangkatnya setinggi dagu dan mengayunkannya sekali dengan cepat dan penuh tenaga. Entah apa maksudnya. Ah, sudahlah mungkin tumpukan pertanyaannku ini tak akan pernah terjawab.

Penulis: Deflin Gani
Editor: Irfani Sakinah
Ilustrasi: Yati Paturusi
Gambar: canva.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!