Berpindah tempat, melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah atas di suatu daerah pegunungan yang rasanya sangat terisolasi dari keramaian, menuju ketenangan.
Tiba lah waktu untuk mengarungi tahun ajaran baru sebagai siswa menengah atas di sekolah asrama. Tentunya jauh dari pergaulan dan penyimpangan, bagaimana tidak? Dua bulan masa karantina, merupakan waktu yang sangat lama, waktu yang cukup untuk mengubah semua kebiasaan dan gaya pergaulan.
Kegiatan demi kegiatan yang dilakukan sejak pertama kali menginjakkan kaki di daerah pegunungan ini, akan ditempuh selama 3 tahun kedepan. Pelajaran-pelajaran yang kita dapatkan dari orang-orang sebelum kami dengan sistem asrama pada umumnya (ya tahukan, tak usah disebutkan dan dijelaskan, mulai dari cara makan, cara berjalan, cara menghargai), merupakan bekal utama dalam pelajaran yang diberikan. Bekal untuk beberapa tahun kedepan: bahwa kami sangat menjunjung tinggi yang namanya kekeluargaan.
Sebelum bercerita lebih jauh, ironi mencintai tapi tak dicintai, perihal sedang memiliki, ternyata hanya sebuah ilusi. Ada yang tak ingin kulepas, tapi memiliki pun aku tidak. Ada yang ingin digenggam, berdampingan pun aku belum. Rasanya sudah berjuang sendiri, mendamba dalam hampa, mendamba yang bukan siapa. Merindu tapi tak dirindukan, perihal sedang menikmati ternyata hanya milik sendiri.
Ada yang tak ingin kukhianati, tapi cemburu pun dia tidak. Ada yang ingin dikejar, tapi berlari pun dia tidak. Rasanya sudah terlalu lama aku bermain dengan fana, mengenang dalam jurang, mengenang yang hanya kurang.
Kembali ke hari pertama, seperti pada umumnya kegiatan yang wajib dilakukan oleh semua siswa SMA pada Senin pagi tidak lain dan tidak bukan adalah upacara. Aduhhh, bagiku merupakan hal yang membosankan, tapi apalah daya, ini adalah kewajiban sebagai seorang siswa. Saya sebagai siswa baru beradaptasi merupakan hal yang sulit. Memulai pembicaraan pada orang yang baru kita kenal, aduhh, dan tekanan yang lebih dari orang- orang terlebih dahulu. Namun, saya rasa itu merupakan suatu pembentukan mental. Yah, ambil positifnya saja ya, ini bukan pemeloncohan, melainkan memberi ilmu terapan yang akan kita pakai ke depannya.
Singkat cerita, tahap itu pun kita lewati. Pada tabiatnya, umur yang remaja ini terlalu hina jika tidak
memiliki perasaan terhadap seseorang. Tatapan pertama di pertengahan malam, jilbab kusut tak beraturan dengan warna putih sedikit berkedok coklat, hehehe. Tapi apalah daya, mata terpaku dan tak ingin berpaling. Apakah ini merupakan harapan yang baru di tempat yang baru? ataukah perjuangan yang akan diselesaikan?
Pepatah yang sering kita dengar “tak kenal maka tak sayang” tak berlaku buat saya. Belum kenal udah
sayang ahhahah, keinginan untuk selalu berkenalan, menunggu waktu itu. Dan terjadilah, tapi sayang
itu cuman berpapasan. Tak apalah, anggap saja itu rejeki. Oh iya, gadis itu belum kukenalkan. Busur panah yang menikam sejak itu, membuat tidur berdansa bersama gelisa, ya sebut saja dia Maura. Teman angkatan yang selalu menjadi idola, di kalangan pria-pria masyarakat asrama.
Pertemuan di meja makan menjadi saksi bisu kebahagian, dan mungkin menjadi batu loncatan untuk
memulai perjuangan. Tapi sayang seribu sayang, ada yang mengganjal dan membuat minder. Entah
minder dikarenakan apa, tapi itu menjanggal dan membuat sedikit ingin mundur.
Pada suatu malam, abang-abang di asrama melakukan kegiatan yang katanya merupakan rutinitas ketika ada siswa baru masuk: buka-bukaan tentang wanita yang termanis untuk setiap angkatan. Refleks, saya menyebut Maura, dan sialnya sahabat saya ternyata merupakan saingan karena dia juga diam-diam mendambakan Maura ini. Ah, tapi tak apalah, mari kita saling bersaing secara sehat.
Saya pun mulai mengatur strategi, hahaha. Saya mulai mendekati teman yang saya anggap dekat dengannya, dengan berkedok meminta salam, tapi jujur saya tak sanggup mendengar balasan yang dia berikan. Seiring berjalannya waktu, saya rasa saya harus mundur dengan beribu-ribu alasan yang bermain di dalam benak ini. Akhirnya, saya memutar haluan untuk tidak mendekati dia lagi, namun secara diam-diam memandang dari jauh, sembari berharap bahwa kelak dia akan menjadi milikku di kemudian hari.
Di sini aku berdiri di tempat yang tak kau nanti, sendiri menemani sepi, menatap dalam dinding kecemasan. Ada yang pecah, lalu retak bersama senyuman yang kuinginkan. Menabur harapanku yang tak terlupakan, dan tumbuh dalam hari yang mulai mati dalam kepasrahan. Kupandang, sinar-sinar di sini mulai terpejam. Ada bayang yang mulai menerang sebagai satu-satu sosok yang kunantikan. Aku mengadu ketaksanggupanku dalam gelap yang telah lama menghilang, mencari setiap momen kehilanganmu. Aku sendiri, bersama bayanganmu di malam mimpi kita bersapa. Mengumpulkan jejak-jejak pada mimpi itu. Telah kau tinggalkan di sini, mendengar tiap tawa yang hadir lalu perlahan mulai sirna. Pada setiap letupan rinduku yang mulai bermunculan, hanya kesendirian yang asyik kunikmati. Melawan senyapku setengah mati, sambil menghitung tiap hariku yang tak berarti.
Hati bisuku mulai bernyanyi. Simfoniku pun mulai beraksi. Menari-nari dalam angan-angan yang berupa ilusi. Kuingat, ada ragu yang ingin kutemani dalam sendu hidupku, untuk mengubah sedihku menjadi dukaku yang paling bahagia. Lalu, kupeluk erat-erat saat senja mulai menyapaku nanti. Tapi, angin tak membawa anganku ke sini, dia hanya menyapu setiap kisah yang sempat kita upayakan, bersama ribuan mimpi yang dulu kita rencanakan.
Akhirnya, hanya ada goresan yang tertulis di buku kesedihanku. Sebagai penanda hadirmu yang dulu pernah ada lewat mimpiku, lalu kujaga dan kusimpan dalam ruang kosong kesendirian. Bila sunyi merasuk jiwamu, kemarilah, baca lah setiap kisah yang aku buat ini. Lalu, genggam kesedihanmu hingga tak lagi bisa kurasakan. Temui aku di penantian malam menuju pagi, berbagi dalam perbincangan, meluapkan emosi yang kau rasakan, hingga, kau akan tahu, pahitnya kasih tak sampai.
Kilas baliknya seperti ini. Sangat sulit menceritakan kisah terdahulu. Sebenarnya malas mengungkit kisah masa lalu. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa masa lalu adalah bagian dari perjalanan hidup. Begitu lah adanya. Aku lahir sebagai muslim. Memiliki bapak sebagai guru besar ilmu kehidupan serta pembentukan sebagai inspirasi dalam hidup agar tetap hidup dan juga mendapat inspirasi berbagai macam kulit bumi. Mulai dari ceramah agama dari Ainun Nadjib, ustaz dekat rumah, ustaz yang ada di youtube, teman-teman yang maha asik yang penuh kasih sayang, bahkan sampai tontonan sepak bola. Aku juga sering menyetel musik dari Ari Redah, Ari Lasmana, Tomi J Pisah, Febi, No Stress, Kangen Band. Tentunya, sebagai Cliquers, saya sangat menyukai lagu-lagu dari Band Ungu. Satu lagu Ungu yang sering mengingatkanku tentang kisah asmara semasa SMA adalah “Cinta dalam Hati.” Lagu yang dibuat tahun 2007 ini selalu sukses membuat saya galau brutal, hahaha. Maaf sedikit alay, liriknya seperti ini:
Mungkin ini memang jalan takdirku
Cinta dalam Hati oleh Ungu
Mengagumi tanpa di cintai
Tak mengapa bagiku asal kau pun bahagia
Dalam hidupmu, dalam hidupmu
telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku cintaimu pun adalah
Bahagia untukku, bahagia untukku
Ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu
Meski ku tunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejab saja
Sangat mengingatkan rasa pada saat itu, kita cuma bisa mengambil makna dari lirik lagu yang mereka nyanyikan. Selain lagu Cinta dalam Hati, saya juga menyukai lagu lainnya “Kita Pasti Tua” dari sang meteor. Banyak belajar dan terima kasih untuk orang-orang yang penuh kasih sayang. Khususnya kepada orang-orang dekat, manusia di sekitar kita, tempat bepijak dan menghirup udara, alam, laut, dan gunung. Pokoknya semua elemen yang diberikan Tuhan, jangan batasi diri untuk selalu melihat ke bawah untuk dunia, melihat ke atas untuk akhirat.
Tulisan seperti ini, siapa tahu ada yang bisa sedikit mengambil apa yang positif dari Didit, 23 tahun yang penuh cita-cita dan mimpi yang belum pasti, tapi mati sudah pasti.
Izin lanjut ya. Pada suatu hari entah mengapa, pikiran negatif mulai menghampiri. Tentang Maura, dalam benak berkata, “kok ada yang aneh dari salah satu teman akrab saya ini.” Dia tak seperti biasanya. Makin hari makin berbeda, gerak-geriknya menunjukkan kebahagian memiliki seseorang dan entah mengapa aku tertuju pada satu titik. Lalu, membuat opini sendiri bahwa dia sedang dekat dengan Maura. Entah mengapa saya berpikiran ke sana. Keesokan harinya, tanpa angin tanpa hujan, saya mendengar kabar kalau dia sedang menjalin hubungan. Berrrr, patah hati tentunya dan menyalahkan diri sendiri, sembari berkata “kenapa saya tak berjuang dahulu kala, ternyata siapa cepat dia dapat.”
Meski tak mampu berkata-kata, saya tak boleh keliatan galau atau putus harapan. Juga tetap harus mendukung sahabat saya ini, yang terbaik buat dia berdua. Mengingat kami selalu bersama, kemana-mana pasti bareng, dan kami bahkan sempat liburan ke salah satu kota di tanah Jawa.
Satu hal yang tak bisa saya lupakan adalah ketika kami bermain sepeda keliling kota, dan mereka berboncengan. Yah, bisa dibilang galau segalau-galaunya. Mood tak karuan, memasang muka datar.
Ingin rasanya menyembunyikan semuanya, tapi terlalu naif untuk tidak mengakui itu semua.
Singkat cerita, tibalah saat yang paling tepat untuk mengungkapkan setelah tiga tahun perasaan ini dipendam. Hari kelulusan sudah di depan mata dan saya ingin menepati janji yang telah saya buat. Sayangnya, saya hanya mampu mengungkapkan lewat telepon. Kurang gentle buat saya, tapi apa lah daya tak sanggup mengungkapkannya langsung. Telepon berdurasi sekitar 50 menit dipakai menceritakan semua, mulai sejak pertama kali melihat dirinya, hingga akhirnya saya berkata bahwa, “tak ada yang perlu kamu ucapkan, cukup saya saja yang mengungkapkan rasa ini, kau tak perlu memberi jawaban.”
Aku hanya harap-harap yang sudah usang, terlucut oleh sinar saat malam tiba, digantungi bintang-bintang; kerlap kerlip. Meratap dibelenggu sebelum tidurku lelap, menunggu insan yang tak kunjung datang.
Aku hanya harap-harap karat, habis tergerus ombak. Di pasir pantai tercampakkan, tenggelam
dalam kecamuk emosi tak terbalaskan. Hanyut di bibir pantai yang bisu, senyap diam- diam sekarat.
Aku hanya harap sirna, melayang terbawa badai, hilang di antara butir-butir debu yang tersesat di antara mimpi semu berharap belas kasihan nirwana, ingin terbang, pulang lepas dari pengharapan.
Masa kuliah, setahun penuh tak bertemu dikarenakan jarak yang kurang berkompromi, merindukanmu laksana purnama, terhuyung rindu teruntuk Mentari. Setia menjaga malam tetap tenang, menunggu kasihnya bangun kembali.
Merindukanmu laksanan hujan, memberi bumi tanpa belas kasih. Menghadiakan pesannya dalam jutaan rintik-rintik penuh emosi. Walau untuk sesaat, dia kembali dengan bahagianya.
Setahun penuh, entah berbuat apa. Sunyi berkoar tanpa cinta di sudut sepi kala itu. Sayup-sayup kurangkai memori usang tak bernyawa hadirkan sekilas senyum manismu yang dulu menjadi
canduku.
Aromamu masih tetap segar mewangi, menggantung asa di sudut bianglala. Kubiarkan
rindu ini teruntai liar tak terjemah, menjadi bias untuk pelengkap sepiku. Berharap selalu ada harapan
untuk bisa bersama.
Tapi hari ini berbeda, pagi ini mulai kurapikan meja hitamku, berjalan di antara khalayak ramai yang terlumut dalam heningnya suasana, diselingi isak-isak lirih bergema di telingaku.
Atas nama lelah, marilah kita berhenti sejenak. Dari kita yang telah tersesat dalam cinta yang lebat, izinkan aku membuka kompas, menentukan tujuan peraduanku selanjutnya. Sendiri, meskipun di antara kita belum terucap. Karena aku ragu, keberanian mengikrar janji tak selalu sebanding dengannya.
Selang 4 tahun lalu, entah mengapa, rasanya ingin berjuang sekali lagi, menjilat ludah sendiri demi mengetahui arti sebenarnya dari apa yang ia rasa, dan saya rasa tak ada salahnya. Dan saya berjuang kembali dengan menanyakan kabarnya melalui DM Instagram. Sangat sulit mencari pembahasan agar tak lagi hanya menjadi percakapan satu arah. Tapi tak apa, namanya juga usaha. Tiap paginya selalu memulai dengan mengabarinya. Jalannya berbeda, tak lewat DM lagi melainkan WA. Sedikit peningkatan.
Seiring berjalannya waktu pembicaraan makin intens dan tak lagi satu arah. Itu membuatku makin semangat dalam mengejarnya, malam demi malam telah dilewati dengan teleponan karena memang jarak memisahkan. Mustahil untuk mengajak jalan dan bertemu.
Pembahasannya masa lalu, menceritakan kembali awal muncul rasa kepadanya. Tapi sayang, jawaban yang kutunggu belum juga keluar dari bibir manisnya. Huuu, sabar. Mari kita mencari waktu yang tepat. Pendekatan ulang selama 4 bulan, dan tiba lah hari yang saya rasa sangat berharga dalam sejarah hidup saya ini. Namun di sisi lain juga bisa jadi hari yang sangat pedih untuk diingat. Saat itu, dengan meluruskan niat, saya mengungkapkan perasaan.
Tarik napas dalam-dalam, mengucapkan lewat telfon saja, tapi tak mengapa. “Ya” kata yang akrab selama
4 bulan terakhir. Dan tak kusangka jawaban ini yang muncul dari mulutnya” “Ya, ada rasa yang sama. Entah dari kapan.” Tak sanggup lagi diri ini berkata-kata. Diselimuti kebahagian yang tak saya rasakan sebelumnya. Terngiang kalimat, “siapa yang berjuang dia akan mendapatkannya.” Hahaha.
Namun sayang seribu sayang, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Cuma dua bulan berlangsung, entah
kemana dia pergi. Tiba-tiba hilang kabar, cuek dan sejenisnya. Tanpa alasan pergi dan tak akan kembali. Huff, mengingkari hubungan, membuatku kecewa yang tak berujung, hancur sehancur-hancurnya.
Aku pun pergi entah kemana. Sembari berkata, siangku temani aku, malam pun begitu. Kau terbaik, kawanku. Kata terlontar membangun tanpa henti kau buat, sungguhku gelorakan penuh terima kasih
untuk kau ingat.
Terima kasih telah membahagiakanku selama dua bulan belakangan ini. Tengok ke belakang ada kamu; Pun di pundakku selalu ada tangan sedia mengalung, sebagai tempat kau selalu bernaung. Menikmati sudut kota. Lalu inilah jalannya, tak perlu bersedu-sedu, tak perlu takut membeku, tak perlu menunggu atau meragu. Ini hanya lah panggilan yang dinanti, hanya menghitung tahun, bulan hari, jam menit, bahkan sedetik kemudian pun semua akan terpanggil.
Mungkin hanya ini, semua sudah menanti. Kuharap kau selalu berbagi kasih melalui jalan takdirmu sendiri. Hingga ajal mendatangi. Cuma bisa mendoakan yang terbaik buat dia, dengan takdir yang telah ditentukan
olehnya, sehat-sehat selalu di luar sana.
Untuk laki-laki yang meleleh air matanya, tak perlu sedih begitu. Cinta tak buat hancur tubuhmu, meratap pun tersirat tanda tak mampu, nihil rasa, buta warna. Apa yang membuatmu ragu? Hanya kata “tidak” yang kau butuh, tak perlu ada kata “masih jika buatmu hilang membiru”.
Selucu ini kisah kita sekarang, melebur rindu tanpa kata bahkan pelukan. Dua anak Tuhan yang saling disembunyikan untuk tetap sayang tanpa kecupan.
Karena masing-masing dari kita tahu bahwa mencintai satu sama lain nyatanya hanyalah kalimat penenang. Lebih dari itu, ada sesuatu yang tak bisa diperjuangkan dan ada yang tak bisa dilepaskan.
Akhirnya aku terbangun dari mimpi lamaku dan sembuh. Satu pemahaman yang mengubah semuanya.
َََِِِِِّّْْBismillahirrahmanirrahim
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang”
Dengan sifat penyayang dan pemurah-Nya Tuhan kepada hamba-Nya, Ia menyuruh kita melihat dunia
yang lebih luas dengan berbagai ketenangan dan kebahagiaan di dalamnya. Patah, bukan akhir dari semua.
Jangan terlalu tenggelam, kita terlalu lemah jika melihat dan terdampar dalam satu titik. Terima kasih, Letting-ku, sehat-sehat ki di perantauan. Terima kasih sudah menginspirasi. Terima
kasih juga buat SMUDAMA yang telah menjadi latar belakang cerita singkat yang penuh pelajaran.
Mari kita akhiri dengan tertawa “hahahaahahahahahahahahahahahhahahaha.”
Keterangan:
letting: istilah kolokial dari bahasa Makassar yang berarti teman seangkatan.
Penulis: Didit (Arthur 20)
Editor: Faudzan Farhana
Ilustrator: Yati Paturusi
[…] Baca juga: Untuk Sebuah Paham […]
[…] Untuk Sebuah Paham […]