Pemilu selalu menjadi momen penting untuk mengenali kembali bangsa yang bernama Indonesia ini. Berbagai visi dan misi pasangan calon yang mengejar kursi kekuasaan, berikut manuver politik partai pendukungnya, selalu menimbulkan perasaan kewalahan dan mempertanyakan kewarasan.
Apakah seperti ini wajah Indonesiaku? Benarkah hal-hal ini penting dan bermanfaat bagi kita semua? Siapa sebenarnya yang mereka wakili ini? Kepentingan rakyat mana yang mereka gaungkan?
Siapa sebenarnya Indonesia?
Sekali lagi, saya berusaha memahami dengan mencari jawaban dari sumber yang lebih tidak berisik: buku.
Exploring the Improbable Nation: Indonesia, Etc.
Exploring the Improbable Nation: Indonesia, Etc. adalah judul buku yang saya baca baru-baru ini.
Judul ini mencerminkan pandangan penulis yang melihat Indonesia sebagai sebuah bangsa yang mustahil. Terdiri dari puluhan ribu pulau dengan berbagai suku, bahasa, dan kepercayaan, namun diwarnai korupsi, inkompetensi, ketidakadilan, dan diskriminasi pembangunan. Hal-hal ini membuat Elizabeth, penulis buku tersebut, menilai bahwa ada lebih banyak alasan bagi bangsa Indonesia untuk terpecah belah dibandingkan untuk bersatu.
Sebagai jurnalis, ahli epidemiologi dan juga penulis, Elizabeth telah menghabiskan waktu lebih dari dua dekade malang melintang di Indonesia. Khusus untuk penulisan buku ini, ia menghabiskan waktu 13 bulan untuk kembali mengunjungi berbagai tempat yang pernah dia datangi. Kali ini, ia menghabiskan lebih banyak waktu untuk berbicara dengan masyarakat lokal dari berbagai profesi.
Dari total 33 provinsi di Indonesia saat itu, Elizabeth mengunjungi 26 di antaranya. Kemudian ia mengemas hasil perjalanan dan perenungan yang ia peroleh dari percakapan dan observasi ke dalam buku ini. Hasilnya? Menurutku cukup representatif, meskipun gaya penuturan khas orang Baratnya kadang-kadang masih terasa nyelekit di hati orang Timur yang sensitif ini.
Yang Nyelekit
Satu contoh nyelekit namun harus diakui ada kebenarannya adalah ketika Elizabeth memberikan pengantar sejarah tentang kolonialisme yang mewarnai negara ini. Ia menuliskan bahwa yang membuat kolonialisme bertahan begitu lama di negeri ini bukan lah kekuatan fisik maupun militer penjajah. Sifat korup bawaan penguasa lokal lah yang dimanfaatkan oleh penjajah untuk mengekalkan kekuasaan mereka atas monopoli rempah di wilayah tersebut.
Di poin itu, saya ikut berefleksi tentang kecenderungan bangsa ini untuk menyalahkan orang lain atas ketidakberesan pengelolaan negara. Padahal, setelah 70 tahunan lebih merdeka, kita sendiri tidak berbenah atas yang kita katakan “warisan Belanda”, “mental inlander”, dan semacamnya.
Elizabeth juga menggarisbawahi ketidakbecusan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam melakukan pekerjaannya. Pola komando yang berlaku di bawah pemerintahan orde baru mempopulerkan penggunaan istilah “ABS” (Asal Bapak/Boss Senang) dan “Belum Ada Arahan”. Ironisnya, meski di akhir Orde Baru hal ini telah coba diubah, pola ini ternyata masih dilanjutkan hingga sekarang. Bahkan belakangan digunakan sebagai dasar penentuan kinerja PNS dalam peraturan menteri yang terbit belakangan ini.
Berbagai fenomena ketidakadilan juga bertebaran dalam narasi buku ini. Elizabeth memotret betapa rakyat Indonesia bahkan yang paling terpencil pun, sangat khatam dengan ketidakadilan pengelolaan sumber daya oleh negara. Mereka juga menyadari bahwa lembaga penegak hukum justru dalam banyak kasus berkontribusi terhadap ketidakadilan tersebut. Akibatnya, masyarakat pun lebih memilih penyelesaian melalui jalan kekerasan dan “jalur adat.” Dalam situasi penegakan hukum yang seperti ini, ruang bagi premanisme terbuka lebar hingga dapat mempengaruhi agenda negara.
Secercah Harapan
Meski demikian, hingga di akhir buku, Elizabeth mengaku tetap tidak bisa menjatuhkan putusan buruk terhadap Indonesia. Negara yang ia analogikan sebagai “Pacar yang nakal” ini. Terlepas dari pengelolaan negara yang amburadul, orang-orang Indonesia memiliki karakter-karakter yang baik secara merata di berbagai tempat yang dia kunjungi.
Keterbukaan, keramahtamahan, pragmatisme, keinginan untuk bekerjasama, dan komunalisme menjadi corak utama setiap suku, menjadi benang merah yang menyatukan bangsa Indonesia.
Menurut Elizabeth, komunalisme yang memberikan penghargaan atas perbuatan baik yang dilakukan, daripada sebaliknya, akan lebih berhasil diterapkan di Indonesia. Penekanan pada hukuman atas perbuatan buruk tidak akan efektif selama lembaga penegak hukum tidak memperoleh legitimasi dan kepercayaan dari rakyat.
Pada akhirnya, komunalisme tanpa feodalisme adalah bentuk “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan, dll” yang selama ini menghambat laju Indonesia menjadi negara besar seperti yang seharusnya.
Keterangan:
Pemilu: pemilihan umum
Inkompetensi: keadaan tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik
Diskriminasi: pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya)
Epidemiologi: ilmu tentang penyebaran penyakit menular pada manusia dan faktor yang dapat memengaruhi penyebaran itu
Nyelekit: menyakitkan hati (tentang perkataan dan sebagainya)
Kolonialisme: paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu
Inlander: sebutan yang bermakna ejekan pada masa penjajahan kepada kaum pribumi Indonesia yang berarti kalangan bawahan, kalangan budak, atau kalangan terbelakang
Khatam: tamat; selesai; habis
Premanisme: cara atau gaya hidup seperti preman, biasanya dengan mengedepankan kekerasan
Pragmatisme: pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis
Komunalisme: paham atau ideologi yang mementingkan kelompok atau kebersamaan di dalam kelompok
Feodalisme: sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan
Legitimasi: keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah betul-betul orang yang dimaksud; kesahan
Penulis : Faudzan Farhana
Editor : Irfani Sakinah
Gambar : Faudzan Farhana
Sekiranya dpt diulas lebih jauh isi buku itu ya. Soalnya minat baca ada tapi daya baca rendah, hahaha