Sepuluh hari yang lalu pernikahan itu batal. Semua janji manis, rencana masa depan, dan tabungan yang sudah disiapkan seketika terasa sia-sia.
“Kak, ndak papaji Kakak? Kenapaki kayak mau menangis?” pertanyaan Agan menyadarkanku. Seketika aku mengusap mata dan tersenyum memandangnya.
“Kelilipan tadi mataku, Dek, hehe,” aku menjawab seadanya.
“O iye’ Kak sudah maumi jam makan siang ini. Mauki’ ikut makan di ruang saji? Saya antarki sekalian makan juga ke sana, Kak,” tanya Agan kembali.
Aku hanya mengangguk. Kami lalu berjalan menelusuri selasar ke arah ruang saji. Selasar dengan batu alam itu memiliki tangga yang naik turun dan cukup curam. Selasarnya melewati lapangan basket dan halaman parkir sebelum sampai di ruang saji. Hanya cukup dilewati dua orang saja jika berjalan berdampingan. Aku jadi teringat ketika dulu masih di sekolah. Setelah jam malam, sering menyelinap keluar asrama untuk bertemu Dama. Dan kami sering berjalan berdua di selasar ini.
“Ah, Dama. Andai waktu bisa diulang dan kita bisa menjalin ikatan yang lebih dari kakak adik sejak SMA. Apakah sekarang kita akan bersama? Apakah kita akan menikah?” aku terus mengingat kembali kenangan bersama Dama sementara Agan hanya terdiam berjalan di sampingku.
Ketika melewati halaman parkir, aku menyadari sebuah mobil lain yang baru berhenti di sebelah mobilku. Ada seseorang yang keluar tergesa- gesa dari mobil dan berteriak padaku.
“Kak Nana!” panggil orang tersebut yang ternyata seorang pria. Kucoba menoleh ke arah sumber suara. Sejenak aku berhenti dan mematung. Aku menutup mulutku tidak percaya.
“Dama!?” Tidak, tidak mungkin! Ini terlalu kebetulan! Ini bukan kisah romantis dalam novel yang sering kubaca. Aku melihat sosok itu berlari ke arahku yang masih berdiri di selasar.
“Oh, Rangga!” sahutku parau setelah menyadari. Rangga, adik kembar Dama. Dia mengampiriku dengan pandangan cemas.
“Kak, kenapaki tiba- tiba menghilang?” tanya Rangga dengan nafas terengah- engah.
“Ramai orang di rumah Kak. Dikiraki lagi pergi ke gedung tinggi,” lanjut Rangga.
Aku memandang Rangga tajam. Mengisyaratkan dia tidak berbicara lebih jauh. Sekilas kulirik Agan, “Dek, kayaknya ndak jadika ikut makan, duluanmi saja nah.”
Memandang ada gelagat kurang baik, Agan pamit dan berjalan menjauh. Sepeninggal Agan, aku menarik Rangga ke arah mobil.
“Bagaimanako tahu saya ada di sini?!” tuntutku pedas menatap tajam ke arah Rangga.
“Astaga Kak! Kupikir kita naik lagi ke gedung tinggi nah! Capekku pergi tanya- tanya orang di gedung- gedung tingginya Makassar. Gara- gara kitaji. Sebenarnya saya ke sini menebak – nebakja, Kak dan untungnya benar,” ucap Rangga cemas mencoba memberi penjelasan atas pertanyaanku tadi.
“Kenapaki kabur lagi Kak? Ndak ingatki hari apa ini? Kita ndak ikut tahlilan nanti malamkah? Ndak maluki sama Almarhum Kak Dama kalau masih begini teruski?” Rangga melanjutkan.
Kupandangi Rangga semakin tajam dan menjawab ketus.
“Bukan urusanmu ini, Dek!”
Aku tak kuasa lagi membendung air mataku. Memang benar, aku hampir bunuh diri loncat dari gedung ketika mendengar Dama kecelakaan. Semuanya terjadi 10 hari sebelum hari pernikahan kami. Dan aku ke sini, berharap melihat kenangannya untuk menabahkan diri. Tapi sial, kenangan itu justru semakin dalam. Tangisku semakin deras dan beberapa adik kelas yang lewat terlihat mulai berbisik- bisik.
Rangga dengan kikuk menyentuh bahuku dan mengajakku masuk mobil. Ia berbisik lirih, “Kak, bukan cuma kita yang kehilangan. Tapi tolong, janganki lagi buat keluarga khawatir. Meski ndak jadiki menikah, tetapji dianggapki keluarga. Ndak sendiriki , Kak.”
Bersamaan dengan ucapan Rangga, tangisku semakin deras.
“Ah, Dama. Andai waktu bisa berputar kembali. Jika saja aku menerima lamaranmu dua tahun lebih cepat dari pada memilih meneruskan studi masterku. Andai aku tidak memintamu menjemputku di bandara saat itu. Apakah sekarang kita akan bersama?“ tangisku semakin deras tak terbendung.
Aku mengusap air mata pelan lalu menatap keluar mobil. Langit cerah menyuguhkan pemandangan warna biru dan awan putih di atas Gedung Perpustakaan Anakkukang.
“Dama, apakah kamu sekarang bersama arak- arakan awan itu?”
Tamat
Baca juga : Ada Dama di Smudama (Part 1)
celotehanakgunung.com/ada-dama-di-smudama-1/
Penulis : Miranda
Gambar : @dianadiino
Editor & Ilustrasi : Uli’ Why