Teringat pesan ibunya, Lile segera menutup telepon. Ia bergegas menemui Tante Nung setelah mengunci box telepon rumah.
“Tante, tabe kunci teleponta. Terima kasih sudah diijinkan pakai. Tadi sebentarji juga saya menelepon, Tante,” ucap Lile sambil menyerahkan kunci gembok dengan gantungan Hello Kitty.
“Tidak apa-apaji juga kalau masih mauki pakai, Nak. Ituji anak-anak, kalau tidak digembok, sembarang temannya na telepon,” Lile hanya tersenyum mendengar tantenya.
Lile kembali ke kamarnya. Ia masih penasaran dengan apa yang terjadi pada Yuke. “Tidak ada suara, tapi telepon masih aktif?”
***
Malam Minggu, Mall Ratu Indah tampak ramai. Mimi yang tengah berjalan di koridor mall bersama ibunya sejenak berhenti di depan etalase sebuah toko.
“Kayak Kak Ulfa,” gumamnya setelah melihat seorang wanita berkerudung putih berdiri di depan kasir toko.
“Siapa kau lihat?” Mimi sedikit kaget ketika ibunya bertanya.
“Eh, itu, Bu, kakaknya temanku di Malino. Kak Ulfa, kacenya Yuke, Bu,” jawab Mimi.
“Ya sudah, pergimi sapaki,” mendengar ucapan spontan itu, Mimi kembali teringat pada pesan ibunya.
“Kalau ketemu orang di jalan yang kita tahu itu jangan pura-pura tidak kenal. Tidak usah gengsi menyapa duluan dan salami duluan. Jangan sombong. Bisa jadi rejekita dari Allah sudah dititipkan ke orang itu. Atau suatu hari ternyata orang itu bisa tolongki. Jadi janganki pernah sombong, Nak. Apalagi merasa berlebih dibanding yang lain,” pesan itu masih terngiang-ngiang di benak Mimi.
Ibu jalan duluan saja ndak papa? Nanti kita ketemu di Hero,” tawaran ibunya membuyarkan lamunan Mimi.
“Sebentar pale, Bu. Nanti saya susulki,” Mimi menunggu ibunya berjalan lebih dulu sebelum masuk ke toko yang ia ingin datangi.
“Kak Ulfa?” sapa Mimi pada wanita berkerudung putih di depannya.
“Ya?” wanita itu berbalik dan melemparkan senyuman.
“Halo, Kak. Saya Mimi, Kak. Teman kamarnya Yuke, Kak,” ucap Mimi sambil menjulurkan tangannya.
Mimi dan Ulfa sebenarnya pernah bertemu saat pertama kali masuk asrama. Saat itu, Ulfa ikut mengantar adiknya dan membantu Yuke merapikan barang bawaan adiknya di asrama. Tapi, Mimi tidak yakin Ulfa masih mengingatnya.
“Mana Yuke, Kak?” tanya Mimi memecahkan keheningan setelah moman perkenalan tadi.
“Oh, Yuke? Adaji di rumah sendiri. Tadi ditinggalkanki, lagi susah dibangunkan” ucap Ulfa yang masih mengantre di depan kasir di antara lalu-lalang pengunjung toko.
“Oh, kalau gitu, saya pamit duluan pale Kak, mau menyusul ibuku, Kak. Assalamu Alaikum,” Mimi segera berlalu meninggalkan Ulfa.
Sepanjang jalan menuju Hero, Mimi memikirkan Yuke yang ditinggal sendirian di rumah. Hampir setahun tinggal sekamar dengan Yuke, Mimi tahu jika temannya itu penakut. Mimi bahkan berpikir jika Yuke memiliki indra keenam, bisa melihat makhluk tak kasat mata. Cerita Ulfa tadi membuatnya sedikit khawatir dengan teman kamarnya itu.
“Semoga ndak diganggu lagi hantu itu anak,”
Baca juga : Ada Hantu di Asrama (Part 6)
***
Masih dalam suasana gelap, Yuke mencoba membuka mata. Dinginnya ubin lantai membuatnya sedikit menggigil. Kepalanya masih terasa berat untuk digerakkan. Tapi, ia berusaha keras untuk bangkit dan duduk.
“Kenapa tadi ini?” gumamnya sambil memijit dahi. Yuke semakin heran ketika melihat gagang telepon yang menggantung di bawah meja.
“Oh! Astagfirullah!” seketika Yuke tersadar dengan apa yang telah dialaminya. Matanya mulai mengitari setiap sisi ruangan. Pandangannya terhenti di kamar mandi.
“Apa hantunya masih ada di sana?” benak Yuke sambil mencoba berdiri. Yuke memberanikan diri masuk ke kamar mandi karena ingin buang air kecil. Ia sengaja tidak menutup pintunya setelah masuk.
Sekian detik ia jongkok, tiba-tiba semua lampu di rumah padam. Seketika gelap gulita. Dinginnya kamar mandi membuat bulu kuduk Yuke berdiri. “We kodong, kenapa lagi ini lampu,” keluhnya.
Yuke mulai meraba dinding kamar mandi, mencari letak ember dan timba. Belum selesai ia membersihkan diri, suara pecahan kaca terdengar dari luar kamar mandi. “Astagafirullahaladzim,” reaksi Yuke spontan.
Ketegangan berlanjut manakala lampu kamar mandi tiba-tiba berkedap-kedip. “Songkolo ini setan na kerjaika lagi,” ucap Yuke menahan kesal.
Kelar membersihkan diri, Yuke bergegas keluar kamar mandi. Ia segera menuju ke dapur mencari lilin dan korek api. Sial, ruangan yang gelap gulita membuat kakinya tersandung berkali-kali. Sambil melangkah terbata-bata, Yuke menerka-nerka arah langkahnya. Memastikan ia benar-benar menuju ke dapur.
“Ayo, mana ini korek sama lilin,” ucap Yuke sambil meraba atas meja di depannya. Nihil, meja berdiameter 1,5 meter itu ternyata kosong. Yuke baru ingat jika malam itu keluarganya tidak memasak. Praktis tak ada apa-apa di atas meja makan.
Yuke memutar badan 90 derajat dari tempatnya berdiri dan mulai melangkah sambil menjulurkan tangan ke depan. “Oke, dapat! Plek!” Yuke menyalakan kompor. Berharap cahaya apinya bisa membantunya menemukan lilin.
Yuke memutari ruangan dapur. Bolak-balik berkali-kali membuka setiap laci dan lemari piring. Tapi semuanya nihil! Tak ada satupun lilin yang bisa ia temukan. “Hhhhhhhhhh, habis mungkin,” Yuke menghela nafas panjang. Ia menyerah melakukan pencarian di dapur. Otaknya berpikir cepat mencari solusi.
Masih terus menerka-nerka untuk mencari pencahayaan yang cukup, lampu dapur kembali berkedap-kedip bak lampu disko. Yuke mulai merasa pusing dan mual. Ia mencoba menarik kursi dan melangkah ke samping untuk mendekati meja makan.
“Argghhhh!!” pecahan kaca menggores telapak kaki Yuke. Spontan ia berteriak kencang dan meringis kesakitan. Ternyata suara pecahan kaca yang didengarnya tadi bersumber dari situ.
Karena cahaya ruangan remang-remang, ia tak mampu melihat luka di kakinya. Ia cukup memastikan jika beling yang menusuknya sudah berhasil dikeluarkan. Meskipun terasa ada darah segar dan luka sobek yang membekas di kaki Yuke.
Lampu ruangan masih berkedap-kedip. Yuke sudah duduk di kursi. Ia mencoba menenangkan diri dan terus berpikir mencari solusi. “Ada mungkin senternya Kak Ulfa. Atau Mama simpan lilin ini di kamarnya,” Yuke masih menerka-nerka. Tapi, ia baru ingat jika semua kamar itu tadi terkunci.
Masih dalam kebingungan, Yuke tiba-tiba mendengar suara langkah kaki. “Pletak, pletak, pletak,” suara langkah itu seperti mengenakan sandal jepit.
“Kita itu Kak Ulfa?” Yuke mencoba memecahkan keheningan meski ia sendiri merasa ketakutan. “Kak?” sekali lagi Yuke memanggil tapi tidak ada jawaban.
Yuke baru bersandar di kursi ketika tiba-tiba sekelebat sosok putih melintas tak jauh di depannya. Sosok itu seperti terbang di dalam ruangan. “Astagafirullahaladzim!”
“Ya Allah, itu tadi apa?” Yuke mulai panik. Ia ingin berdiri dan meninggalkan dapur namun tubuhnya terasa berat untuk digerakkan.
“Plakkk!” suara pintu terbanting kembali mengagetkan Yuke. Matanya mencari-cari sumber suara di antara remang. Masih ada sedikit cahaya dari sumbu kompor yang menyala.
“Astaga, astaga, astaga!” Yuke panik ketika matanya tertuju pada sesosok aneh yang dilihatnya. Hanya berjarak 7 meter dari tempatnya duduk nampak sesosok berbaju putih berdiri di depannya. Tak tampak wajah dari sosok itu, hanya rambut panjang yang tergerai hampir menutupi separuh tubunya.
Yuke merasa lemas, tubuhnya kaku, bibirnya kelu, ia hanya bisa berucap dalam hati, “Ya Allah, setan apa ini?”
***
Lile mencoba merebahkan tubuh di kasur. Ia menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang pada kejadian di asrama sekolah. Mengingat kembali pengalaman menyeramkan yang pernah ia alami bersama Mimi dan Yuke. “Kenapa perasaanku ndak enak ini,” ucap Lile gusar.
Lile merasa ingin kembali menelepon Yuke dan juga Mimi. Menanyakan kabar teman sekolahnya itu. Tapi urung, kini rasa kantuk mulai menyerangnya.
“Hoaaaammm,” Lile menguap keras. Sesaat ia melirik jam dinding di kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 9.
Lile membenarkan posisi tidurnya dan mulai menutup mata. Belum semenit, tiba-tiba ia merasakan sensasi aneh. “Eh, kenapaka ini?”
Lile merasa tubuhnya seperti tertindih sesuatu yang teramat berat. Ia merasa sulit untuk bergerak, mulutnya seolah terkunci, jemarinya kaku. Seseorang seperti mencekik lehernya.
“Ketindisan lagi?” benak Lile sambil terus berusaha menggerakkan tubuhnya. Sensasi yang ia rasakan tidak jauh berbeda dengan yang ia alami di asrama beberapa waktu lalu.
Tak ada sesosok hitam seperti yang ia lihat malam itu, tapi kali ini ia seperti mendengar suara aneh. Suara lelaki tertawa terbahak-bahak.
bersambung…
Penulis : Uli’ Why
Editor & Ilustrator : Farahlynaa
Gambar : unsplash.com
Arti kata dan klitika dalam dialeg Sulawesi Selatan :
Ki ‘ Kita = kamu, digunakan untuk menyapa orang yang dianggap lebih tua atau dihormati atau dengan tujuan bersikap sopan
Mi = sepadan dengan makna “lah”, namun bisa juga berarti “sudah” atau “saja”
Pale = perumpamaan akhiran lah, misalnya oke pale (okelah)
Songkolo = sial
Tabe = permisi
Kace = kakak
Ji = cuma
Ka = saya
Kodong = kasihan