Para IbuPara Ibu

Di malam hari, ada ibu yang sedang membacakan cerita pada anaknya dengan sabar dan penuh kasih sayang. Menikmati hidupnya yang sederhana dan bersahaja. Namun, sedikit bersedih karena merasa tak bisa berbagi apa-apa.

Ada ibu yang masih berada di jalan, dalam perjalanan pulang setelah melaksanakan tugas di ranah publik sebagai seorang karyawan di suatu perusahaan. Penat oleh macet yang seolah kian tak teruraikan.

Ada pula ibu yang begitu sibuk mencari ilmu parenting sana-sini, hingga membuatnya berambisi. Terusik, melihat anak orang lain yang terlihat diasuh dengan baik, hingga ia merutuki diri. Merasa selalu tak cukup dalam membersamai sang buah hati. Padahal si malaikat kecil hanya butuh dikasihi tanpa kalkulasi.

Ada juga calon ibu, yang sedang menemani suaminya makan malam di sebuah restoran ternama di bilangan kota Jakarta. Masih berdua, karena yang dinanti belum juga tertakdir untuk hadir, menghiasi hari-hari mereka.

Di tempat lain, ada seorang ibu yang memegang smartphone-nya sedang sibuk melihat-lihat “cerita” orang lain dari jendela media sosialnya. Lalu berandai-andai betapa bahagianya menjadi orang-orang dengan berbagai aktivitasnya yang syarat manfaat di ranah publik. Hingga saat menutup aplikasi itu, ia mengeluhkan kondisi dirinya yang dirasa kurang bahagia dan tak seproduktif wanita di luaran sana.

Dan ada wanita-wanita lain dengan segala kondisi, kurang dan lebihnya. Ada yang saling memimpikan peran. Yang sibuk ingin bersantai, yang merasa santai ingin lebih produktif. Yang bekerja di ranah publik ingin menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, yang full-time mom ingin berkontribusi di luar rumah. Yang belum punya anak, ingin memiliki anak, karena tampak bahagia memiliki anak. Sedang yang punya anak sedang berada di titik jenuh mengurus anaknya. Masing-masing masih bergelut mempertanyakan apakah kebahagiaan telah direngkuh atas berbagai ikhtiar yang telah ditempuh.

Ya, begitulah manusia umumnya, memimpikan kondisi orang lain, saat orang lain sedang memimpikan kondisinya. Maka beruntunglah, yang telah naik kelas, senantiasa bersyukur atas kelebihan yang dimilikinya dan bersabar lalu menerima kekurangannya sehingga ia bisa terus tersenyum. Senyum dalam syukur, menjadikan jiwanya tenang.

Karena bahagianya sederhana, selama tetap menjadi manusia yang tahu statusnya adalah hamba, tugasnya ialah ibadah, yang sejatinya adalah meminta pertolongan pada-Nya, selama meniti usia. Karena yang dikejar adalah menjadi baik di mata Allah, tak sekadar bahagia sepanjang masa. Karena yang diharap adalah kebahagiaan abadi negeri syurga bukan puja-puji palsu manusia.

Apakah kita sudah naik kelas atau masih ingin menghabiskan waktu menghitung-hitung nikmat-Nya yang sejatinya tak terhingga, hanya kadang tak ter-indra mata?

Hanya pengingat bagi para ibu agar tidak lupa bersyukur dan menerima. Bahwa bahagia sejatinya adalah merasa cukup dengan apa yang sudah dan sedang dipunya. Dari seorang Ibu yang juga sangat butuh untuk senantiasa diingatkan.

Penulis: Ana Ainul Syamsi
Editor: Faudzan Farhana
Gambar : Hasan Almasi via unsplash.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!