Dia segera beranjak saat terdengar lantunan azan. Bergegas berwudu lalu mengenakan mukena kesayangan.
Dia membuka pintu rumah, lalu berjalan. Menuju masjid, tunaikan kewajiban kepada Tuhan.
Dia tak peduli seberapa dinginnya udara di sepanjang jalan. Sajadah tetap digenggam, melangkah hingga sampai tujuan.
Pulang ke rumah dia tak langsung rebahan seperti orang kebanyakan. Subuh dan paginya dihabiskan dengan melafazkan ayat-ayat Al-Quran.
Tidak ada senyuman, hanya diam membisu. Melewatkan pagi dengan bibir kelu.
Ibu, apa yang dia lakukan sepagi ini? Sibuk di dapur menanak nasi, tapi sarapan dilewatkan dengan segelas kopi.
Apa yang dia harapkan sepanjang hari ini? Usai merapikan baju, bergegas ke kamar mandi, lalu berpakaian rapi dan kenakan sepatu bertali.
Seperti inikah rutinitas ibu rumah tangga yang juga berkarir di luar rumah?
Subuh menghadap Tuhan, pagi mengurus rumah tangga, lanjut berangkat kerja.
Pulang mengurus keluarga, tengah malam pun seringkali terjaga.
Seolah tenaganya tak ada limitnya.
Seolah sosoknya selalu siaga di rumah.
Gajinya di kantor tak seberapa, tapi dia tetap giat bekerja.
Kegigihannya di sana bukan demi uang semata tapi untuk profesionalitas katanya.
Rutinitasnya di rumah seperti tak ada habisnya, tapi dia tetap sabar menjalaninya.
Dia memiliki banyak peran dalam kehidupan, tapi tak terdengar sering ada keluhan.
Dia tetap menebar kebaikan meski seringkali kondisinya dalam kekurangan.
Sosoknya adalah panutan bagi setiap orang. Meski dia selalu berucap masih jauh dari kesempurnaan.
Bagi kami dia sudah sempurna meski dia tak pernah mengakuinya.
Untuk dia, sosok yang selalu hadir dalam doa, yang pernah memaksaku masuk sekolah berasrama, tapi aku mensyukuri akan hal itu.
Terima kasih tak terhingga, semoga Allah SWT selalu menjaganya di mana pun dia berada.