Komik Nostalgia dan Budaya LiterasiKomik Nostalgia dan Budaya Literasi

Malam Minggu 18 September 2021, akhirnya penulis berkesempatan bergabung pada zoom meeting Literasi Anak Gunung. Kebetulan saja, sebagai seseorang yang pernah bernama surel Tezhuka, tema kali ini adalah komik atau manga. Pembahasan yang seharusnya tidak terlalu serius, karena comic-manga is supposed to be fun!

Pemateri hadir sesuai favorit masing-masing yang sudah lama tertarik dalam dunia komik. Dari Negeri Paman Sam ada Marvel yang dibawakan oleh Kak Anri. Lalu berturut-turut dari negeri matahari terbit ada Naruto (Kak Mehdy), One Piece (Kak Wawan), Detective Conan (Kak Tika), dan Doraemon (Kak Yati).

It was a really fun and amazing night!

Malam Komik Literasi Anak Gunung, Minggu (18/09/2021)

Nostalgia di KM 62

Penulis dapat melihat bagaimana komik bisa sedikit membawa nostalgia ke kehidupan di KM 62, Desa Parigi1. Seperti atribut jaket Akatsuki2 yang sempat beredar di asrama putra, hingga baju kebesaran Hokage Yondaime3 juga pernah ada di Smudama. Meskipun sebatas jas laboratorium yang sedikit dimodifikasi kala itu.

Sesi diskusi mengalir seperti sekelompok orang yang sedang berkumpul di ajang Comic Con San Diego, USA. Sesi tanya jawab juga layaknya Masashi Kishimoto4 dan Eiichiro Oda5 yang sedang menjawab rasa penasaran fans di acara Weekly Shonen Jump.

Penulis teringat akan pengalaman saat beranjak kelas 2 SMA. Secara random sering diadakan pembersihan gudang di asrama putra. Gudang merupakan kamar yang dialihfungsikan untuk menyimpan barang peninggalan senior. Terdapat dua gudang yang berada di dua kamar asrama putra (Aspura dan Asben).

Waktu itu, masuk ke gudang seperti berkunjung ke toko secondhand terbaik. Di situ kita bisa menemukan banyak benda. Mulai dari sabuk karate, meja dan lemari yang dengan sedikit treatment khusus sehingga bisa dipakai lagi, serta yang paling banyak tentu saja buku.

Meski tidak senyaman Gramedia saat masuk, setidaknya kumpulan buku di gudang menurut penulis cukup menarik. Bisa tebak dua penerbit yang menguasai katalog buku di gudang asrama?
Yap! tentu saja Erlangga dan Elex Media Komputindo.

Dari sinilah awal cerita bagaimana nama email penulis bisa menjadi ‘Tezhuka’, salah satu tokoh komik Prince of Tennis, yang waktu itu cukup populer. Penulis tanpa sengaja menemukan dan mulai tertarik pada tokoh tersebut.

Budaya literasi komik sebenarnya sangat kental di rentang waktu tertentu di Asrama Smudama. Saat internet, smartphone, bahkan laptop belum secanggih sekarang, komik adalah media hiburan bagi anak gunung kala itu. Meskipun dari cerita beberapa senior, komik sempat jadi barang yang harus disembunyikan. Sebab pada awalnya razia komik sempat dilakukan, terutama di asrama putra.

Komik: Alat Propaganda Sampai Cerita Perang Saudara-Kudeta

Diskusi sempat menyerempet ke sisi industri komik. Dari sini penulis bisa dapat insight. Thanks to Kak Anshar, Kak Tika, dan Kak Mehdy. Dari sini penulis bisa tahu bagaimana budaya manga yang sudah mendarah daging di setiap kelompok usia masyarakat di Jepang. Or how well the manga industries constructed there. Seperti bagaimana persaingan komika Jepang untuk tetap bertahan atau tahapan manga dari one shot sampai jadi best seller.

Dari Amerika, penulis jadi tahu bagaimana peredaran buku komik yang dijual bebas dapat menyentuh masyarakat secara langsung. Bagaimana Marvel membawa cerita bergambar mereka menjadi bukan sekedar film, tapi pemain penting di dunia showbiz Hollywood. Marvel juga ingin merangkul berbagai jenis ras, seiring sejalan dengan vocal point negara Amerika itu sendiri: liberty (kebebasan).

Kak Anri sebagai pemateri komik Marvel malam itu, dan diakui pula oleh pihak Marvel sendiri, juga menuturkan bagaimana komik tersebut turut andil sebagai propaganda. Seperti dalam rangka melecut semangat tempur prajurit Amerika kala melawan pihak poros khususnya Nazi Jerman di Perang Dunia II.

Diskusi berlanjut tentang bagaimana Marvel Cinematic Universe (MCU) mendulang sukses, kala pertama kali alur cerita dibangun dengan film Iron Man di tahun 2008. Sepuluh tahun kemudian, sekaligus penanda penutup rangkaian fase pertama dari cerita MCU, Avengers Infinity War menggambarkan bagaimana bagusnya alur cerita yang dibangun bisa saling bertaut satu sama lain.

Dilansir dari cnet.com MCU sudah berhasil meraup untung sebesar USD 22.59 billion per Maret 2020. Melihat kesuksesan tersebut, tentu bukan sekedar melihat bagaimana efek CGI yang mahal. Bukan juga sekedar ikatan emosional pemeran tokoh karakter dengan fans, seperti Chris Evans atau Robert Downey Jr. yang sukses memerankan karakter masing-masing. Tapi cerita dan alur yang sudah terbangun jauh sebelumnya dari komik Marvel. Dari tahun 1939, dimana pertama kali komik Marvel dirilis.

Comic Con San Diego yang dihelat sejak 1970 adalah hasil dari berkumpulnya para pecinta komik di Amerika. Event ini menandakan bagaimana tumbuhnya budaya literasi komik di Amerika jauh sebelum ide atau bahkan film pertama MCU rilis. Budaya literasi tersebut membuat komik telah punya pasar mereka sendiri.

Bergeser sejenak ke Jepang, One Piece disebut sebagai manga tersukses yang pernah ada. Menurut statista.com, penjualannya telah mencapai 454 juta copy secara global. Kak Wawan menyatakan, luasnya dunia One Piece dan kaya akan alur tak tertebak adalah salah satu alasan One Piece bisa mencapai rekor ini. Penulis tentu setuju dengan hal tersebut.

Salah satu alur yang cukup menarik dari dua Arc terbesar sebelumnya: Arc Alabasta dan Arc Dressrosa. Menceritakan tentang pemerintahan otoriter, kudeta, dan perang saudara. Ketiga pembahasan ini tentu saja sangat berat. Namun kejelian mangaka6 Eiichiro Oda menceritakannya dengan kejenakaan, gambar yang bagus, dan alur tak terduga ternyata bisa dinikmati dan menarik minat para pembaca.

Tentu saja sekali lagi, komik is supposed to be fun. Alasan membaca komik kembali ke pribadi masing-masing. Sekedar pengisi waktu atau jauh tertarik melihat relevansi sebuah alur cerita. Dari cerita yang sederhana tentang kehidupan sehari-hari, sampai kepada isu sensitif sekalipun.

Bagaimana melihat komik dan manga terkait dengan sejarah dan beberapa bahasan topik tertentu. Seperti cerita Conan Edogawa dengan dunia hukum, atau Doraemon yang related dengan proses tumbuh kembang anak yang mengambil alur cerita murid SD.

Kak Mehdy saat membahas komik Naruto juga menggambarkan komik ini termasuk manga tersukses. Naruto bisa melahirkan banyak meme yang kaya akan pesan moral dan motivasi.

Sejarah yang Belum Berakhir

Setelah terkagum-kagum dengan majunya budaya komik di dua negara tersebut, tentu obrolan sempat juga menyinggung negeri sendiri. Apakah Indonesia bisa melakukan hal serupa? Marvel dengan propaganda di balik Perang Dunia II. Jepang yang menyentuh segala aspek dari kehidupan nyata seperti sains, psikologi, atau bahkan sejarah kekaisaran mereka dengan samurainya.

Melirik kesuksesan Marvel dengan MCU-nya, proyek besar bernama Jagat Sinema Bumilangit juga sedang digarap, bahkan telah merilis film pertamanya, Gundala Putra Petir 2019 silam. Hampir sama dengan Marvel yang menyatukan berbagai karakter pahlawan dalam satu alur cerita, pengembangannya juga diadopsi dari karakter dan cerita komik yang telah ada sebelumnya.

Cerita komik Amerika banyak dipengaruhi oleh ide-ide ‘gila’ dan fantasi tentang teknologi mutakhir dan luar angkasa. Jepang menyampaikan pesan persahabatan dan kerja keras meraih mimpi. Sementara Indonesia menurut beberapa literatur lebih mengedepankan setting-an nusantara, pesan sopan santun yang sesuai adab ketimuran.

Itulah mengapa beberapa karakter komik dari Indonesia adalah pendekar. Dan villain-nya sendiri adalah siluman atau monster yang banyak terinspirasi dari cerita-cerita rakyat kita.

Menarik dinantikan bagaimana Jagat Sinema Bumilangit akan mengeksekusi pesan tersebut. Jika Marvel berhasil karena tidak lepas dari pengaruh budaya literasi komik yang telah berkembang sebelumnya, lalu bagaimana dengan Indonesia yang menurut banyak data tingkat literasinya sangat rendah?

Senada dengan Kak Wawan, penulis sendiri awal mengenal cerita One Piece, Naruto, dan cerita komik lainnya justru tidak langsung dari komik. Melainkan secara tidak sengaja, semasa SD banyak anime yang diadopsi dari manga ditayangkan setiap Minggu pagi, di televisi. Karena ceritanya yang jenaka dan membuat penasaran, barulah mencari tahu bahwa cerita asli dan terbaru bisa diperoleh dari komik.

Apabila film menceritakan alur yang menarik dan membuat penasaran, berarti bisa mendorong terbentuknya komunitas. Lalu melahirkan diskusi dan mencari sumber cerita asli, baik itu komik ataupun novel.

Seperti pada kanal Youtube orang luar negeri yang membahas teori-teori pada manga, misalnya One Piece. Mereka menghubungkan cerita sederhana dengan topik lain seperti mitologi Yunani, peradaban Mesir, bahkan isu sensitif. Maka wajar jika rasa penasaran pada topik tertentu akan melahirkan minat baca yang lebih besar.

Terakhir, bagaimana dengan isu sensitif di Indonesia? Well, dari jaman kolonialisme sampai reformasi tentu banyak isu-isu sensitif yang bisa kita angkat menjadi cerita komik. Tapi suatu kenyataan pahit namun penulis setuju dari opini Kak Ochank, “Sejarah Indonesia banyak yang belum berakhir.”

Sedih, tapi itulah faktanya. Bagaimana rancunya beberapa sejarah kita dan bagaimana domino effect ketika sejarah yang masih ambigu, diceritakan di komik. Lini masa Twitter mungkin bisa saja meledak. Bisa dibayangkan, bagaimana mirisnya bila peristiwa sensitif dijadikan alur cerita komik atau film. Sementara keluarga dan kerabat korban di luar sana masih mencari keadilan dan pertanggungjawaban dari peristiwa tertentu.

Well at least, ketika kisah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka dikemas selayaknya cerita Shounen7 Sasuke-Naruto bisa menarik minat generasi milenial. Membuat mereka melihat dari sudut pandang yang berbeda soal benteng Somba Opu ataupun Rotterdam.

Akhirnya meski sekedar supposed to be fun, budaya komik yang besar bisa membangkitkan minat baca sampai seluruh penjuru dunia. Dalam banyak artikel atau podcast telah disebut, kita tertinggal jauh dalam literasi, termasuk literasi sejarah.

Pendapat pribadi penulis, mungkin bukan sejarah kita yang kurang menarik. Hanya saja ceritanya yang tidak dikemas untuk bisa menarik segala kelompok usia. Budaya literasi komik dari Jepang dan Amerika bisa membawa banyak impact. Industri tersebut bernilai triliunan, termasuk ikut mengenalkan budaya dan sejarah tanpa harus dalam bentuk seminar atau textbook kaku.

Dan tentu saja malam literasi tema komik yang diadakan Literasi Anak Gunung malam Minggu lalu, bisa membawa sekumpulan alumni Anak Gunung bernostalgia, berpikir kritis, dan juga bermimpi.

Penulis : Andi Mawardi Wahab
Editor : Yati Paturusi
Ilustrator : Winda & Uli’ Why
Gambar : Dok Literasi Anak Gunung, Spiderman, Doraemon, Iron Man

Catatan :
1Lokasi SMAN 5 Gowa yang juga dikenal dengan nama Smudama.
2Sebuah komunitas dalam komik Naruto.
3Sebuah karakter komik Naruto.
4Artis, kartunis, dan animator Naruto.
5Artis, kartunis, dan animator One Piece.
6Pembuat komik/manga.
7Anak remaja laki-laki.

One thought on “Komik, Nostalgia, dan Budaya Literasi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!