Sebagian rekan saya mengatakan bahwa menulis itu susah dan ia menempatkan dirinya pada golongan yang tak dapat menulis. Kondisi ini sepertinya juga dialami oleh banyak orang. Benarkah demikian? Atau mereka hanya belum tahu cara memulai?
Saya pribadi, jika kembali membaca tulisan lama, terbesit rasa malu, betapa bodohnya saya saat itu (walaupun sampai sekarang masih demikian). Pikiran menerawang akan rendahnya wawasan kala itu. Mata tak henti berkedip seirama senyum kecut yang mengembang sebagai respon rendahnya imajinasi masa lalu.
Menerawang jauh sebelum memiliki keberanian untuk menulis di berbagai media, saat masih duduk di bangku sekolah.
Pertanyaan yang kadang timbul, kenapa nilai bahasa Indonesia saya jelek ya? Lebih mudah mendapatkan nilai tinggi pada pelajaran IPA. Hal ini kemudian berakhir dengan kesimpulan bodoh. Hanya anak mading sekolah dan pengurus perpustakaan yang akan mendapatkan nilai yang bagus.
Sebuah kenaifan masa lalu yang menyalahkan guru karena hasil tak sesuai harapan. Kedangkalan berfikir masa lalu yang menganggap keberhasilan kawan adalah karena faktor lain selain karena kecerdasannya. Hal yang kemudian baru saya sadari setelah membaca tulisan indah tentang rivalitas masa lalu ternyata adalah teman terbaik hari ini.
Namun, cara berpikir dan penilaian saya hari ini adalah bukti sebuah perkembangan. Kemampuan menganalisasi kejadian masa lalu adalah cerminan dari perubahan sudut pandang.
Nilai bahasa Indonesia yang jelek bukan karena guru pilih kasih, tapi karena memang tata bahasa dan kemampuan menulis saya yang rendah.
Namun penilaian hari ini, tidak dapat dijadikan kesimpulan bahwa tulisan saya sudah baik. Tahun mendatang, di masa depan, jika tetap konsisten menulis, saya pastikan sudut pandang akan menjadi lebih baik lagi.
Tulisan-tulisan hari ini akan mendapatkan penilaian sebagaimana tulisan di masa-masa sebelumnya mendapat penilaian.
Pun hari ini saya menyadari bahwa menulis membutuhkan keberanian yang besar untuk menunjukkan kelemahan pada orang lain. Memamerkan kebodohan karena rendahnya wawasan berpikir.
Namun, saya percaya bahwa akan ada orang yang menulis lebih baik karena membaca tulisan saya yang kurang baik. Yang pada akhirnya, kami bersama akan menebarkan untaian kata dan kalimat baik yang akan melintasi ruang dan waktu.
Seorang ulama besar yang sangat dihormati dan dikenal karena karya tulisnya yang sangat banyak, Imam Al-Ghazali (450 – 505 H) , seperti dikutip berbagai sumber, ia mengatakan bahwa, kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis.
Pramoedya Ananta Toer berabad-abad kemudian juga mengatakan bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama dia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja dalam keabadian. Karya-karya Imam Al-Ghazali yang diakui dan dijadikan referensi sampai saat ini adalah bukti pernyataan Pramoedya.
Saat menulis, saya merasa kekurangan ide dan kehilangan arah. Hal yang lumrah jika merujuk pada teori-teori cara menjadi penulis. Sepertinya apa yang saya alami juga banyak dirasakan orang lain.
Hal yang paling sulit tentu memulai tulisan tersebut. Cara terbaik yang saya gunakan untuk mengisi kekosongan ide ini adalah dengan membaca. Sepertinya cara seperti ini juga sudah berlaku dan dilakukan orang lain secara umum.
Dari proses ini, saya kemudian merasa bahwa menulis menuntut saya untuk membaca.
Menulis bagaikan meminum air laut yang asin, semakin diminum akan semakin memancing rasa haus, mendorong tubuh meminta air daratan yang segar. Menulis membuatmu semakin dahaga membaca.
Namun, sama halnya dengan memulai sebuah tulisan, bukan hal mudah untuk mulai membaca. Saya pribadi iri dengan orang yang mampu dan sempat membaca di manapun dan kapanpun.
Saya selalu iri pada mereka yang bisa membaca di kendaraan, saat saya akan merasa mual jika melihat deretan huruf sambil bergerak dalam kecepatan tak konstan.
Saya selalu iri pada mereka yang mampu duduk di cafe, menyeruput kopi dengan pandangan yang tak lepas dari untaian kata indah di atas kertas buram berjilid saat saya akan terpengaruh oleh suasana dan keriuhan di sekeliling ruangan.
Saya selalu iri pada mereka yang mampu duduk tenang di perpustakaan, sedang saya akan tertidur lelap dalam keheningan.
Bagi yang berat untuk menulis dan membaca, seperti saya, kondisi ini tak lepas dari pendidikan kita sejak kecil, fokus utama dari berbagai lembaga tempat menimba ilmu adalah mendorong keterampilan berbicara.
Bahasa tutur menjadi andalan dan variable utama keaktifan siswa. Bahasa tutur juga menjadi parameter pengukuran budi pekerti.
Mengedepankan bahasa tutur tentu bukan hal yang negatif, namun kehilangan bahasa tulislah yang membuat sebagian kita kehilangan gairah untuk membaca. Berselancar dalam pikiran orang lain dan menorehkan goresan sejarah untuk diri sendiri.
Baca juga: Negeri Arab Yang Misterius
Penulis : Efie Thaha
Editor & Ilustrasi : Uli’ Why
Gambar : canva.com