Ruas Tol Cikampek, 29 Desember 2022, 17.25 WIB

Kulirik jam digital yang tertera di layar head unit mobil. Sudah 25 menit berlalu dari pukul 5 sore, artinya sudah kurang lebih setengah jam laju mobil yang kukendarai ini tersendat di tengah-tengah kemacetan jalan tol. Kukutuk diri sendiri yang seharusnya bisa pulang lebih awal sore ini setelah menyelesaikan pekerjaan. Alih-alih pulang, malah ikut bergabung dengan teman-teman sejawat. Di halaman belakang, aku ikut bercengkerama di pinggir lapangan basket sambil menunggu jam pulang kantor di pukul 17.00 WIB.

Ada dua hal yang membuatku akhirnya memaki diri sendiri. Yang pertama, aku tidak menyadari bahwa mereka-mereka yang tinggal di sekitar Kota Bekasi tidak perlu berjuang dengan padatnya Tol Cikampek seperti yang saya alami saat ini. Aku hanya bisa menatap nanar rombongan kotak bermesin bernama mobil berbagai ukuran yang entah berapa panjang rentetannya ini. Alasan kedua yang semakin membuatku meradang adalah kantor tempatku bekerja sudah memberlakukan flexi time bagi para pegawainya. Sudah kuawali presensi tepat di angka 07.00 WIB pagi tadi yang berarti tidak perlu menghabiskan waktu hingga bubaran normal di angka 5 petang.

“Argggh…” kuacak frustasi rambut di kepalaku yang tidak seberapa lebat ini tanpa alasan yang pasti, diikuti dengan ketukan ke tengkorak kepala mengingat tindakan teledorku hari ini. Entah sudah berapa kesempatan tangan kiriku menggulir siaran radio yang sudah kusimpan di menu favorit sebelumnya. Namun, belum tersemat di hati cuap-cuap penyiar frekuensi FM mana yang bisa menyurutkan penyesalanku sekarang.

“Andai saja tadi… Kenapa tadi harus… Padahal kan bisa lebih cepat… Sudah dinikmati saja… Semua orang juga terjebak saat ini..”

Suara-suara perseteruan di kepala antara mencoba mengamini atau menampik suratan hidup sore ini. Bahkan semburat warna jingga yang terlukis jauh di penghujung cakrawala langit sore pun tidak mampu menawarkan keindahannya.

“Selamat sore good people.. gimana nih sore di penghujung tahun 2022? Bagi kamu-kamu yang saat ini berada di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, tenang kita di sini akan menemami lu semua di sesi mesin waktu.”, begitu suara penyiar perempuan dan laki-laki kompak bersahutan mengisi ruangan hampa di dalam mobil.

“Sore ini kita akan membahas lagu tahun era 90-an sampai 2000-an awal yang sangat berkesan buat good people semua.” Suara renyah dari mantan penyanyi cilik favorit di bangku SD dulu nih.

“Kita buka mesin waktu dengan sebuah lagu dari band yang sangat fenomenal di zamannya..”

Itulah riuh rendah obrolan dua orang penyiar yang akhirnya memantapkan tanganku untuk berhenti menggulir mencari hiburan di tengah ketidakpastian waktu kemacetan. Intro musik yang bahkan di detik pertama pun sudah mampu menghempasku ke masa lalu.

Tetes air mata, basahi pipimu..
Di saat kita ‘kan berpisah…
Terucapkan janji, padamu kasihku..
Takkan kulupakan dirimu

Asap knalpot bercampur debu yang beterbangan di permukaan aspal seketika menjelma menjadi kabut putih tebal yang menggulung di belakang asrama. Denting riuh rendah suara mesin dan klakson di indera pendengarankutertangkap sebagai alunan dentingan sendok dan garpu beradu pada permukaan ompreng di ruang saji.

Kepadatan lalu-lintas sepanjang ruas Tol Cikampek bagiku, tak lebih dari keriuhan remaja tanggung putih abu-abu yang bersenda gurau di sepanjang selasar menuju ruang kelas. Alunan potongan lirik dan musik dari radio telah menyesap jiwa dan ragaku kembali ke batas hidup 25 tahun silam. Pada salah satu masa terbaik yang pernah terjadi dalam fase hidupku, yaitu denyut rentang waktu SMA di kaki gunung Latimojong.

Parigi , 05 September 1997

Kurentangkan kedua tangan ke atas, mencoba mengumpulkan kesadaran setelah tertidur selepas salat zuhur tadi. Meluangkan waktu sejenak untuk istirahat di sela kepadatan waktu belajar dan kegiatan di sekolah baruku ini sangatlah berfaedah. Kufokuskan mata sejenak ke seluruh penjuru kamar. Sudah tidak nampak batang hidung tiga orang penghuni Palem 6 yang lain.

“Masih jam 12.35, kok sudah pada berangkat? Kok tidak ada yang bangunkan sih?”

Kulihat jam dinding yang tergantung tepat di atas jendela kamar yang menghadap ke taman asrama yang asri, pembatas dengan bukit hijau tanah warga di belakang asrama. Bergegas kurapikan seragam seadanya dan mengunci pintu kamar.

Suasana di lingkungan asrama sudah sepi, tidak ada teriakan dan canda tawa. Hanya desir angin bulan September dan suara gesekan daun bambu yang terdengar seram jika sedang sendirian. Artinya, semua siswa penghuni asrama putra sudah berada di ruang-ruang kelas. Setengah berlari kutelusuri koridor kamar asrama. Menapaki undakan pertama selasar. Kusempatkan menoleh ke kanan tepat di mana Masjid Jabal Nur berdiri kokoh.

Tidak tampak seorang siswa pun yang sedang salat. Biasanya ada saja yang telat salat dan menyempatkan beribadah sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai. Kuperpanjang langkahku lurus ke depan. Pintu ruang saji sudah tertutup rapat. Lalu, aku berbelok arah ke kanan. Terpaan angin dari arah kiri tanah lapang terasa kering dan lembab di kulitku.

“Mungkin pengaruh sudah memasuki pancaroba, jadi cuacanya begini.”

Kucoba berdialog dengan diriku sendiri. Berlari kecil, menaiki tangga-tangga melewati Perpustakaan Anakkukang, menuju ruang kelas saat kusadari bahwa jam pelajaran selanjutnya adalah English Practice dan akan ada role play siang ini. Pelajaran yang menyenangkan karena melatih siswa-siswi untuk berkomunikasi dan bertanya kepada teman yang mendapatkan giliran untuk tampil.

Pintu kelas sudah tertutup rapat. Hening tanpa suara sedikit pun dari balik tembok. Kuterpaku dalam diam dan bimbang dari balik pintu. Pasti Mr. Anas, guru bahasa Inggris kami, sudah duduk di depan hingga menciptakan keheningan ini.

Kuhela nafas dalam-dalam dan kuberanikan diri mengetuk daun pintu.

“Assalamu Alaikum. Good day, Sir.

Kubuka pintu dan melangkahkan kakiku masuk. Menyapa bapak guru yang sudah bersidekap menghadap ke ruangan kelas dan hanya menatap tajam serta anggukan yang kuterima dari beliau. Tapi seketika perasaan aneh menyergap, tidak sewajarnya ruangan kelas sesenyap ini.

“Kok aneh, saya sudah salam tapi tidak ada yang jawab”?, batinku.

Kuedarkan pandangan menyapu seputar kelas. Hanya tatapan tidak bersahabat atau dapat kugambarkan hanya mata-mata yang sinis menusuk ke arahku sekarang yang berjalan ke bangku di tengah ruangan.

“Kenapai ini semua teman-temanku? Masa karena terlambat ka’ masuk jadi marah semua?”

Otakku mencoba mencerna suasana kelas yang hambar tak sehangat lazimnya kelas 12. Kucari dua sosok teman sekamarku dari Palem 6 yang juga populasi ruangan kelas ini. Di sebelah pojok kiri kudapati Akmal dari Barru yang enggan melihat ke arahku. Perlahan, kuputar posisi badan untuk menilik ke sudut belakang ruangan mencoba mencari klarifikasi dari Muskamal, teman sekamarku dari Takalar. Tapi sikapnya lebih acuh, hanya fokus membaca buku paket yang kutahu hanya untuk menghindari kontak mata denganku.

“Oke.. nanti subuh tidak ada juga yang kukasi bangun pergi salat. Kalau diabsen nanti di masjid biar alfa ko berdua.”

Niat balas dendam sudah tersusun atas pengkhianatan mereka siang ini tidak membangunkanku dari tidur tadi.

Ok class, let’s start our english practice today.”, suara Mr. Anas yang akhirnya memecah kesunyian kelas.

“Who is our guest host today to present our english practice session?”, Mr. Anas kembali memecah keheningan kelas yang entah kenapa hari ini jadi asing atmosfernya.

“Irka, Sirrrr……..” seluruh isi kelas kompak berteriak membahana mengisi seluruh penjuru ruangan kelas.

Kuterlonjak dari tempat duduk untuk menetralisir rasa kaget yang tiba-tiba hadir. Belum juga usai rasa ganjil akan perlakuan yang kuterima siang ini, hadir lagi hantaman kejanggalan baru.

“Kenapa na saya yang ditunjuk? Minggu lalu sudah ditunjuk Askarim yang dari Selayar sebagai host. Kenapa na saya ini semua yang disebut?”

Kucoba protes tapi hanya dalam hati karena belum paham cara mengejawantahkan pikiranku tersebut ke dalam ucapan bahasa Inggris karena terkejut.

“Bagaimana ini situasinya? Bahasa Inggrisku masih pas-pasan. Belum buat konsep mau bicara apa dan jadi role play apa? Tidak ada persiapan untuk bicara dan tampil di depan kelas, apalagi harus berbicara dalam bahasa Inggris.”

Hanya dalam hitungan detik kudapati diriku sudah berada dalam situasi yang sangat terjepit. Rasa sesak, bingung, dan memikirkan rasa malu yang akan kutanggung saat tampil di depan kelas, memaksa pertahanan diriku untuk tidak menampakkan bulir-bulir airmata yang sudah berbayang di pelupuk mata. Panggilan dari Mr. Anas untuk tampil di hadapan seluruh penghuni kelas sebagai guest host hari ini memaksaku untuk menyeret langkah lunglai pada akhirnya.

Pelajaran english practice sejatinya hanya latihan meningkatkan keberanian berbicara dalam bahasa Inggris seputar kehidupan sehari-hari. Melatih untuk memperkaya kosakata yang bisa digunakan di kehidupan sehari-hair sebagai siswa-siswi yang hidup berasrama. Belum menitikberatkan ke penggunaan bentuk tenses yang rumit atau grammar yang benar. Tetapi tetap saja menjadi situasi yang runyam bagi orang-orang yang tidak pernah mengenyam kursus bahasa Inggris di tempat les. Kemampuanku hanya mengandalkan pelajaran bahasa Inggris di bangku SMP dulu seperti situasi yang kuhadapi sekarang. Alasan itulah yang membuatku panik, di samping rasa cemas yang melanda.

Kuberdiri canggung di depan kelas. Mencoba menguasai keadaan dengan tersenyum getir, yang jelas sangat dipaksakan. Dapat kulihat raut wajah seisi kelas yang entah mengapa hari ini semuanya membuatku jengah. Tanpa pemberitahuan dan kompromi, tiba-tiba menunjukku sebagai host hari ini.

“Tersenyum di atas penderitaan orang lain.” Itulah kesimpulan yang kubuat di kepala.

Kuberdiri di pusat kelas bak seorang pesakitan yang sedang dipersekusi karena melakukan kesalahan besar. Pertanyaan dari Mr. Anas menodongku karena tidak menyiapkan diri untuk english practice hari ini. Dialog berlangsung dalam bahasa Inggris yang masih dapat kumengerti. Hanya saja tidak mampu untuk kujawab selain, “Sorry, Sir.” Seolah-olah semua adalah kesalahanku karena tidak sigap untuk menyusun tema acara english practice hari ini. Belum lagi cemoohan dan ejekan dari seisi ruang kelas yang semakin menambah beban dan membuatku kian terpuruk.

Rasanya seperti sedang ditelanjangi dan ditipu. Sedih karena teman-teman yang kurang lebih sebulan ini sudah hidup bersama di asrama sama sekali tidak menunjukkan empati untuk membantuku yang sedang dalam kepiluan. Dalam pertahanan terakhirku untuk tidak meneteskan bulir-bulir air mata di depan semua pasang mata yang tampaknya berbunga-bunga atas muramku saat ini,

Because Mr. Irka was not able to complete his responsibility. He must be punished.”, ucapan Mr. Anas setidaknya menyelamatkanku untuk cepat-cepat keluar dari pusat perhatian di muka kelas yang disambut sorak gembira dan tepukan riuh dari seisi kelas. Menandakan semuanya sepakat untuk adanya hukuman.

“Oohh, jadi semuanya sudah bersekongkol untuk menempatkanku dalam posisi hukuman ini.”, otakku cepat mencerna dan memahami situasi yang terjadi.

Atas desakan seluruh penghuni kelas yang dimufakati oleh Mr. Anas, maka hukuman yang harus kujalankan adalah menyanyi di depan kelas. Dalam keputusasaanku, kucoba untuk bertahan berdiri dengan tegak dan berfikir lagu apa yang bisa kunyanyikan dan segera kembali duduk. Dan yang terlintas di kepalaku hanyalah lagu ini yang belakangan sangat populer dan diputar di mana-mana, “Mungkinkah” dari Stinky.

Begitu beratnya
Kau lepas diriku
Sebut namaku jika kau rindukan aku
Aku akan datang

Sampai di titik ini, sepertinya air mataku sudah menetes karena teringat keluarga yang kutinggalkan. Tidak pernah terbayangkan bahwa jauh-jauh hidup di sekolah andalan Malino akan menghadapi situasi seperti ini. Tetapi terus kucoba untuk terus melanjutkan lagu dengan suara serak menahan isak dan malu.

Mungkinkah
Kita ‘kan s’lalu bersama
Walau terbentang jarak antara kita

Biarkan
Kupeluk erat bayangmu
‘Tuk melepaskan semua kerinduanku

Dan tiba-tiba seisi ruangan berdiri dan bertepuk tangan sambil menyanyikan lagu.

Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday
Happy birthday
Happy birthday to you

Isak dan air mata yang setengah mati kuperjuangkan dengan segala jerih payah agar tidak tumpah akhirnya bobol juga. Rupanya ini jawaban atas segala keganjilan-keganjilan yang kualami siang ini. Mereka telah mempersiapkan skenario (istilah zaman now PRANK) untuk memberiku kejutan di hari ulang tahunku yang orangnya sendiri lupa.

Ruas Tol Cikampek, 29 Desember 2022, 17.40 WIB

Suara klakson barbar dari mobil truk tepat di belakangku menyadarkanku untuk segera melaju pelan, menyusul bus di depan yang merangkak maju. Kenangan kejutan di hari ulang tahunku 25 tahun silam di SMA Andalan 2 Tinggimoncong tidak akan pernah terhapus di relung hatiku setiap mendengar lagu “Mungkinkah” dari Stinky. Hingga sekarang, aku sering tersenyum sendiri jika mengingat pernah meneteskan air mata di depan kelas saat menyanyikan lagu itu.

Menyesal dan malu? Tentu saja tidak, karena dari peristiwa itu saya tersadar bahwa ada kasih sayang dan perhatian yang hadir di sana. Bentuk perayaan ulang tahun yang tidak pernah dipersembahkan untukku sebelumnya. Teman-teman sekelas dan SMA yang menjelma menjadi sahabat, kemudian bermetamorfosis menjadi saudara. Kita tanpa ikatan darah, tetapi dalam tiga tahun kebersamaan menjalani pahit-manis, getir, remeh-temehnya kehidupan masa SMA dan asrama di Tinggimoncong.

Berjuta kisah, beragam cerita sarat makna telah terangkai dan terajut indah dalam keabadian berbingkai tawa dan air mata untuk selalu dikenang. Bahkan tidak akan cukup waktu semalam suntuk untuk menuturkan apa yang telah kita lalui bersama. Apa kabar kalian semua, saudara-saudaraku generasi hebat SMA Andalan 2 Tinggimoncong? Kusampaikan desau kerinduanku kepada kalian semua melalui sepenggal tulisan ini. Setitik kisah dari perayaan ulang tahun yang selalu terpatri di sudut hatiku yang paling dalam.

Lambaian tanganmu, iringi langkahku
Kebersitannya di hatiku
Akankah dirimu, ‘kan tetap milikku?
Saat kembali di pelukanku
Begitu beratnya
Kau lepas diriku
Sebut namaku jika kau rindukan aku
Aku akan datang

Baca juga: Jadi Artis Sehari

Keterangan:
ka’: saya dalam Bahasa Makassar
na: jadi dalam Bahasa Makassar
ko: kalian dalam Bahasa Makassar, biasanya dipakai kepada teman sejawat

Penulis: Irwan Kadir (Irka)
Editor: Irfani Sakinah
Ilustrasi: Yati Paturusi
Gambar: Canva

One thought on “Mungkinkah dan Kerinduan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!