Agustus 2022

Seorang teman seperjuangan saat mahasiswa kembali berdiskusi. Ini mungkin terakhir kali karena ia tahu aku akan kembali dan menetap di Makassar, lalu memulai lagi semuanya dari bawah.

Orang itu kuanggap sebagai “the only one”. Manusia yang mau-maunya mendengarkanku. Padahal dia bisa mengerjakan hal yang jauh lebih baik dan lebih penting untuk hidupnya. Orang ini hanya mau berdiskusi lewat pertemuan langsung, tidak lewat chat ataupun telepon.

Baginya, chat atau telepon itu untuk pembahasan singkat, seperti janjian, memo, dan hal yang mendadak. Mungkin dengan sikapnya itu, temanku terkesan sok sibuk. Tapi kalau sudah ketemu dan mulai diskusi, dia tak pernah sungkan untuk meluangkan waktu.

Dia pernah bilang padaku, dia mau diskusi bukan karena dasar empati. Bukan juga karena mau menggurui atau karena dia punya ikatan dengan manusia sekitarnya.

Dia bilang padaku, dia mau diskusi pada siapa saja karena diskusi itu termasuk bagian penting pembelajaran dalam hidupnya. Tempat mengenal manusia dengan beragam perbedaannya.

Dia percaya kalau manusia terkesan salah dalam menjalani sesuatu, alasannya belum tentu karena kebodohannya. Tapi karena latar belakang dan perjalanan hidup manusia yang berbeda-beda.

Hari itu saat di terminal, di tengah obrolan kami yang panjang.

“Ri, satu-satunya cara agar perjalanan karirmu di Makassar akan menuju sukses, abadi, dan sangat lancar adalah tahu caranya bersikap dan menempatkan diri. Stay humble, ya.”

Mendengar itu, saya tiba-tiba merasa jika baru kali ini orang yang kuanggap tak pernah menggurui itu akhirnya menitipkan pesan. Bisa jadi dia sudah lama menahan diri.

Fokus otakku pada kalimat Bahasa Inggris di akhir, “Stay humble”, he said.

Pesan itu membuatku tertawa bersamanya saat itu dan mungkin tak akan kulupakan.

24 September 2023

Walau sudah lebih setahun aku berpisah dengannya dan tanpa pertanyaan kabar sedikit pun. Aku memutuskan untuk menulis tentangnya.

Ya salahnya sendiri, berteman dengan penulis. Maka sejarahmu akan kekang abadi.

Tapi aku tau dia tak akan marah, karena dia pernah mengutip dari Winston Churcill, history is written by the victors“. Walau kubalas padanya, history is written by who have a time to write.

Pesan yang dulu pernah disampaikan bahwa karir akan menuju sukses, abadi dan lancar adalah tahu cara menempatkan diri. Hal itu membuatku berpikir jika itu benar bahkan soal keburukan sekalipun.

Banyak orang yang sukses, baik karir atau kekuasaannya abadi. Meski sudah tidak menjabat, dan hidupnya seakan lancar dan aman di mana pun dia berada (termasuk saat di penjara sekalipun).

Hal ini sejajar dengan adagium Lord John Dalberg Acton, seorang Guru Besar Sejarah Modern di Universitas Cambridge, Inggris, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” (kekuasaan itu cenderung korup dan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Bagiku kekuasaan absolut tidak dapat dinyatakan dengan hanya mempunyai jabatan atau tidak. Kekuasaan absolut berarti perintahmu selalu terpatuhi walau salah. Permintaanmu selalu terpenuhi walau tak melihat harga.

Korupsi dan kekuasaan yang semena-mena atau power abusive ini akan selalu nyata bagi mereka dan dari lingkungan yang muncul karena setuju-setuju saja. Tanpa mengkaji lebih dalam, tanpa ketegasan akan sikapnya atau bahkan muncul akibat sikap people pleaser.

Tapi pesan dari kawanku sebelumnya itu tentu tidak mengarahkan ke hal buruk. Aku ingat salah satu pesannya sebelum kami berpisah, “Kalaupun nanti di Makassar kau mulai dari honorer, tetap ingat bahwa kerjamu untuk rida Allah SWT.”

Diskusi yang sekenanya di terminal waktu itu mungkin saja sederhana tapi bisa jadi bermakna jika diambil hikmahnya secara baik. Termasuk adagium dari kalimat Lord Acton, seorang guru tentang korupsi di atas yang mungkin juga terkesan sederhana tapi padat makna.

Slogan dari seorang guru itu walau sederhana, tapi padat makna. Sering diucapkan oleh siapa saja, baik KPK, politikus, bahkan capres sekalipun. Tidak hanya diucapkan di kelas anti korupsi, tapi juga di seluruh forum yang membicarakan hukum dan kekuasaan, baik dalam organisasi tingkat kecil maupun komunitas besar.

Bekerjalah dengan keras, cerdas, tuntas, ikhlas dengan berharap rida dari Allah SWT. Maka kelak kita akan dapat bonus yang pantas.

Baca juga : Refleksi Agama dan Spiritualitas dalam Kacamata Seorang Intelektual Islam

Penulis : Anri Ibnurobbi
Editor : Uli’ Why ; Yati Paturusi
Ilustrasi : Uli’ Why
Gambar : RF._.studio

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!