Sahabat adalah kebutuhan jiwa
Yang menjadi imbangan dari dalam hidupmu
Dia ladang hati yang dengan kasih
Kau taburi dan kau panggul buahnya penuh terima kasih
Saya bukan penghafal lagu yang baik. Tidak banyak syair dan lagu yang bisa saya ingat. Kalaupun bisa, biasanya dalam hitungan hari hanya tersisa satu atau dua baris saja yang bisa dipanggil oleh otakku dengan benar. Tapi berbeda dengan penggalan bait di atas. Bait yang terinspirasi dari syair milik Kahlil Gibran tentang persahabatan. Ralat, bukan terinspirasi, tapi 99% adalah terjemahan syair karya Kahlil Gibran.
Lekat dalam ingatan saya, syair itu saya pakai untuk tampil di acara pentas seni pertama di aula Perpustakaan Anakkukang SMUDAMA. Sebuah penampilan yang kalau diingat-ingat akan bikin saya senyum-senyum sendiri. Sebelumnya saya tidak punya pengalaman tampil bernyanyi di acara apapun. Apalagi sambil bermain gitar dengan modal enam chord yang bisa saya bunyikan dengan benar waktu itu.
Biar lebih pede saya memaksa Iqbal, rekan dari angkatan 1, untuk mau maju bersama-sama. Sempat pula mengajak Ikhwan Ahmad, rekan dari angkatan 2. Niatnya ingin tampil ala Trio Libels, tapi batal karena Ikhwan kemudian juga punya agenda bernyanyi bersama teman-teman dari asrama Palem.
Kami – saya dan Iqbal – tampil dengan modal latihan sejak dua atau tiga hari sebelumnya, dan lembaran kertas contekan lirik dan chord yang tidak bisa saya tinggalkan. Karena level demam panggung yang tinggi, penampilan itu jauh dari sempurna. Bahkan suara saya hampir hilang tidak dengar. Iqbal bernyanyi lebih baik, meski sambil tersipu malu dengan senyum khasnya dari awal hingga akhir.
Siapa yang tidak senyum-senyum sendiri kalau mengingat pengalaman seperti ini? Kawan-kawan yang lain mungkin sudah lupa. Tapi karena ini pengalaman yang agak memalukan, otak saya justru merekamnya dengan detail bahkan hingga puluhan tahun berlalu.
Terlepas dari penampilan itu, syair Kahlil Gibran bukan sekedar pilihan yang acak. Bermula di Februari 2017, pertama kali saya menginjakkan kaki di tengah dinginnya kabut Tinggimoncong saat peresmian SMUDAMA waktu itu. Berkenalan dengan belasan kawan baru dari berbagai daerah di Sulsel, berpisah dan dikembalikan dititipkan di sekolah awal masing-masing, lalu berjumpa kembali di awal tahun ajaran baru.
Beberapa bulan bersama sudah membuat saya terkesan hingga memilih syair Kahlil Gibran untuk menjadi tema lagu saya. Terbukti, pengalaman dua tahun bersama membekas sebagai masa terbaik yang pernah saya jalani. Bahkan setelah puluhan tahun berlalu, saat masing-masing kami sudah disibukkan dengan pekerjaan, kehidupan keluarga, atau bahkan masalah yang pasti ada.
Kawan-kawan, dalam diam saya kerap mengingat wajah dan senyum-polos-lucu-bahkan juga sinismu satu per satu. Dan di saat seperti itu saya pasti… pasti! Tersenyum dengan damai…
Oh ya, bait tadi masih ada lanjutannya. Waktu itu saya menambahkan sendiri empat baris terakhir yang saya anggap refrain sekaligus menjadi coda untuk menutup lagunya.
Dengarlah sobatku semua
Kita tak dapat hidup sendiri
Kita butuh sahabat, sesama manusia
Tempat tuk temukan damai diri
Keterangan:
Pede: istilah kolokial yang merupakan singkatan dari percaya diri.
Chord: kumpulan beberapa nada yang biasanya terdiri atas minimal tiga nada atau lebih dan dimainkan secara bersamaan sehingga terdengar harmonis
Sulsel: singkatan dari Sulawesi Selatan.
Refrain: bagian lagu yang diulang-ulang.
Coda: bagian akhir lagu yang berisi nada dan syair untuk menutup lagu.
Penulis : Ised Raya 01
Editor : Faudzan Farhana
Ilustrasi : Yati Paturusi
Gambar : poemhunter.com