Judul Buku : Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa
Penulis : Philip O.L. Tobing
Jumlah Halaman : 201 halaman
Tahun Terbit : Cetakan kedua 1977 (cetakan pertama tahun 1961)
Penerbit : Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan (YKSS)
Buku ini berisi transliterasi dan terjemahan naskah lontara tentang hukum pelayaran dan perdagangan yang ditulis pada abad ke-17, tepatnya tahun 1676. Sosok tokoh sentral dalam buku ini, Amanna Gappa, merupakan orang Bugis dari daerah Wajo dan menjadi Matoa yang ketiga. Matoa adalah gelar untuk pemimpin yang diberikan tugas untuk mengatur pelayaran dan perdagangan orang-orang Wajo di pelabuhan Somba Opu (Makassar), yang merupakan major entreport atau salah satu jalur perdagangan internasional abad ke-17.
Sebagai seorang Matoa, Amanna Gappa mewakili kepentingan orang Wajo dalam usaha pelayaran dan perdagangan kepada pemerintahan Gowa-Tallo di pelabuhan Makassar saat itu. Amann Gappa lalu berinisiatif mengumpulkan orang-orang Wajo dari berbagai daerah Nusantara di Somba Opu (Makassar) untuk menetapkan aturan pelayaran dan perdagangan agar tidak terjadi pertikaian antar sesama orang Bugis Wajo. Aturan yang telah disepakati itulah yang kemudian disebut Undang-Undang Amanna Gappa yang di tulis dalam lontara. Buku ini berisi tentang transliterasi dan terjemahan lontara Amanna Gappa.
Dalam perjalanannya, ada empat orang yang sangat berjasa dalam menyelesaikan terjemahan serta memberikan penjelasan kepada naskah lontara ini. Prof. DR. Ph. O. L. Tobing, Dekan Fakultas Hukum Unhas sebagai ketua tim. Abdurrahim, pemimpin Lembaga Bahasa dan Kesusasteraan Makassar. Salengke, Guru pensiunan Sekolah Guru Bawah Negeri di Sungguminasa dan Abdul Djamali, pegawai di lembaga bahasa Makassar.
Bahan yang digunakan untuk terjemahan naskah lontara ini berasal dari Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan (YKSS). YKSS sendiri memiliki 321 naskah salinan lontara dari Sulawesi Selatan, 18 diantaranya berupa teks naskah yang berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan yakni lontara 1, 19, 35, 74, 79, 107, 108, 113, 130, 138, 147, 154, 174, 201, 214, 225, 268, dan 320. Semua teks lontara ini berasal dari Amanna Gappa, tanpa terkecuali.
Buku ini merupakan hasil transkrip, transliterasi serta terjemahan dari lontara nomor 107. Naskah lontara nomor 107 akhirnya dipilih karena lebih lengkap dan lebih teratur dibanding naskah lainnya.
Lontara nomor 107 disalin dari lontara asli oleh seseorang yang bernama Muhammad Ibnu Badwi sewaktu berada di Gresik. Hal ini diketahui berdasarkan keterangan pendahuluan dari lontara ini. Selain itu ada juga sumber dari Abdurrahman ibnu Ismail di Pare-Pare yang disalin untuk tuan Bernard di Bone. Adapun salinan lontar yang dimiliki oleh YKSS merupakan naskah salinan dari lontar asli yang dimiliki oleh Imam Wajo di Makassar.
Naskah lontara nomor 107 berisi dua puluh satu pasal. Jika kita mencermati pasal demi pasal maka akan tergambar situasi dan jalur perdagangan masa lalu. Sebagai contoh pada pasal satu,
“Apabila seseorang naik perahu di daerah Makassar, di daerah Bugis, di Paser, di Sumbawa, di Kaili pergi ke Aceh, ke Kedah, ke Kamboja sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratus”
Selain itu, pasal lain juga berisi tentang aturan barang dagangan, syarat untuk menjadi nahkoda perahu, tentang berjualan barang dagangan, pinjam meminjam bahkan yang menarik adalah adanya pasal tentang perihal orang yang bertengkar dalam perdagangan. Pada pasal kesebelas “Adapun pelayar, bila ada pertengkarannya dalam pelayaran selesaikanlah terlebih dahulu baru diperkenankan mereka kembali ke darat. Dimana saja api jadi, di situ juga api padam”. Pasal 21 dari lontara nomor 107 ini ditutup oleh amanat Amanna Gappa.
Buku ini menjadi sangat menarik untuk dibaca karena memberikan gambaran kepada kita tentang jalur dan situasi pelayaran abad ke-17. Bagian terakhir buku ini juga berisi penjelasan tentang benang merah antara hukum pelayaran Amanna Gappa dengan nilai kebudayaan yang membentuk jati diri Bangsa Indonesia. Penjelasannya pun sangat detail sehingga pembaca akan dengan sangat mudah memahaminya. Buku ini juga akan memberikan kita inspirasi bahwa visi maritim adalah jiwa mendasar dari penduduk di nusantara
Adapun kekurangan dari buku ini adalah masih banyak kutipan yang berbahasa Belanda (selain kutipan Bahasa Inggris) yang dikutip oleh penulis tanpa disertakan terjemahan, sehingga bagi sebagain orang yang belum menguasai bahasa ini tentu akan kesulitan mendapatkan gambaran utuh terhadap penjelasan bagian-bagian tertentu dalam buku ini.
Sejarah memang mengajarkan kita banyak hal. Itulah sebabnya mengapa sejarah menjadi cermin yang paling baik untuk mengarahkan kita dalam memetakan masa depan.
Baca juga : Review Buku Seedfolks – Mengenal Keberagaman
celotehanakgunung.com/review-buku-seedfolks/
Penulis : Syukri Mawardi
Editor : Afifah Ainun Mardiyah
Gambar : Ana Ainul Syamsi