DISCLAIMER: Tulisan ini serupa yang pernah saya buat sebagai tugas fakta dan opini mata pelajaran Bahasa Indonesia, tahun 2009.

Jack Dawson (Leonardo DiCaprio) menerima undangan Rose DeWitt Bukater (Kate Winslet) untuk hadir pada jamuan bertajuk first class dinner dalam penggalan film Titanic (1997). Jack sebagai penumpang kelas tiga pertama kali merasakan jamuan makan malam penumpang VIP Kapal Titanic. Ia kaku dan bingung melihat banyaknya sendok, garpu, dan pisau di samping piringnya.

Culture shock mungkin adalah istilah yang tepat ketika melihat Jack kebingungan. Bingung akan hal baru, dengan apa yang kemudian kita sebut table manner and dining etiquette orang-orang first class di kapal mewah Titanic.

Jika menengok kembali adegan tersebut, bisa dibilang Jack adalah saya saat menjalani tahun-tahun pertama di Asrama Smudama, salah satu boarding school (SMA) yang terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Lebih sering makan menggunakan tangan langsung dari kecil hingga SMP membuat saya kikuk ketika kakak kelas menyarankan menggunakan sendok dan garpu dengan paduan ompreng yang melegenda itu.

Budaya Eropa

Mengutip dari binamutubangsa.com, istilah table manner pertama kali muncul pada tahun 1533 ketika bangsawan Perancis merasa perlu merubah tata-krama keluarga kerajaannya saat menikmati hidangan.

Istri Raja Henry II, Catherine de’ Medici mulai memperkenalkan pemakaian serbet, hingga penataan peralatan di meja makan. Tentu saja, ruang makan bangsawan Perancis berbeda dengan Ruang Saji Maccini Baji di Smudama.

Siapa sangka, meninggalkan kampung halaman dan orang tua untuk bersekolah asrama, justru ilmu paling pertama yang saya dapat adalah soal etika di meja makan.

Aturan bangsawan Perancis tentu jauh berbeda dengan apa yang ada di sekolah saya. Tata krama di ruang saji disesuaikan dengan norma budaya dan kepercayaan lokal.

Menarik, ketika terdapat suatu budaya atau ilmu khusus tentang tata cara makan. Ketika makan dianggap kebutuhan dasar dan hanya menyoal pemenuhan gizi atau mengisi ulang tenaga. Menariknya, hal tersebut dianggap bisa merepresentasikan tabiat orang secara umum di luar sana.

Jika Ratu Perancis ingin menerapkan aturan-aturan table manner guna membiasakan tata krama yang elegan dan sopan ke seluruh penjuru kerajaannya, mungkin table manner di Ruang Saji Maccini Baji sekedar ingin mengirim pesan sederhana untuk mengedepankan sopan santun dan menghargai antara yang muda dan yang lebih tua.

Sejauh ingatan saya, ada tiga anjuran dasar saat menikmati hidangan di ruang saji. Pertama, posisi siku tidak boleh berada di atas meja.

Laman medcom.id menjelaskan sejarah table manner yang masih relevan dengan hal sebelumnya yakni dimulai pada abad ke-15 di Eropa. Artikel tersebut menggambarkan sejarah table manner yang dipengaruhi dari Kitab Ecclesiastus, bagian dari perjanjian lama dalam Alkitab.

Erasmus, seorang filsuf Belanda mengulangi aturan yang sama dan dituangkan dalam bentuk buku pegangan. Dijelaskan bahwa alasan siku yang berada di atas meja dianggap tidak sopan dan jauh lebih intuitif. Memegang alat makan seperti garpu dan sendok, lalu siku berada di atas meja dianggap tindakan yang mengancam dan membuat orang lain tidak nyaman, khususnya di Benua Eropa.

Anjuran kedua, ketika selesai makan, sebaiknya membalikkan posisi sendok dan garpu. Laku demikian sudah dianggap bahasa universal. Lebih mendalam bahkan arah dan posisi peralatan makan bukan perkara remeh-temeh saat selesai makan. Dalam ilmu table manner, hal tersebut bisa menggambarkan tingkat kepuasaan seseorang terhadap hidangan yang disajikan.

Di Ruang Saji Maccini Baji, tidak sejauh itu penerapannya. Cukup pesan yang menyampaikan apakah individu tersebut telah selesai atau belum selesai menyantap makanannya. Toh, dalam agama Islam juga dianggap sangat tidak sopan memberikan komentar terhadap makanan, tepat setelah selesai bersantap.

Terakhir, ketika siswa kelas satu memiliki tugas tambahan untuk memastikan ketersediaan nasi, air, dan sayur di meja. Hal ini tentu saja jauh berbeda dengan budaya table manner di Eropa. Tugas menyuguhkan hidangan dan memastikan ketersediaannya ditugaskan kepada pelayan. Hal inilah yang mungkin menyesuaikan terhadap norma adat-istiadat ketika yang termuda selaku yang dianggap tamu baru yang bertanggung jawab atas hal tersebut di ruang saji.

Hal lucu sebenarnya, jika saya mencoba mengingat kembali kode-kode mata hingga bahasa tubuh antara siswa putra dan putri kelas satu di meja makan. Jika kakak kelas mengetuk meja menggunakan gelas sementara tempat air minum berada di sisi terjauh meja dari tempatnya, namun hal tersebut luput dari perhatian siswa putri. Siswa putra dengan sigap mengirim kode seperti alis naik turun yang kira-kira artinya, “wehh, air ituee tuangki1.”

Sebaliknya, ketukan ompreng dengan sendok pertanda masih mau menambah nasi. Namun, saat di bakul sudah kosong, serta-merta  siswa putri mengirim kode mata, tatapan tajam diiringi lirikan ke bakul nasi ke teman laki-lakinya. Mungkin maksudnya adalah, “masukko2 ke dalam ambil nasi, wehh!”

Jadi bernostalgia jika mengingat kembali tahun-tahun pertama itu.

Memukul gelas dengan sendok di penghujung jamuan makan malam bagi orang Eropa biasanya ditandai dengan penyampain pesan penting. Persis ketika Professor Dumbledore menyampaikan pesan-pesan penting kepada Harry, Ron, dan Hermione serta murid lainya saat makan malam di Hogwarts (dalam cerita berseri, Harry Potter).

Sementara di Ruang Saji Maccini Baji, sesaat setelah doa bersama ‘selesai makan’ juga merupakan momen penyampaian informasi-informasi penting. Bahkan hingga penyampaian siswa yang berulang tahun.

Anjuran-anjuran dan kebiasaan demikian tentu saja tidak bisa serta-merta dianggap murni terinspirasi dari budaya table manner orang-orang Eropa.  Kendati demikian, ketika 50 abad berselang, melihat pesan-pesan moral dibalik anjuran tersebut ternyata tetap sama. Mengedepankan etika dalam menikmati makanan, sebagaimana sesuatu yang dianggap kenikmatan sakral yang patut dihargai sebagaimana pesan orang tua kita.

Bersyukur karena mendapat pelajaran dari segi tata krama di meja makan. Melihat bahwa di seluruh penjuru dunia khususnya di Eropa, hal-hal tersebut dianggap penting. Memaknai bahwa orang-orang menjaga tata krama di meja makan, bisa jadi orang tersebut juga berusaha menjaga tata krama saat berinteraksi sosial.

Titik Awal dan Akhir

Tempat sosialisasi terbaik di Smudama adalah ruang saji. Sekat asrama putra dan putri, kakak dan adik kelas, ekstrakurikuler, peminatan, asal daerah, semua mencair di ruang saji. Jika sesama siswa putra atau sebaliknya memiliki kesempatan bersosialisasi saat kembali ke asrama, bahkan saat jam malam berlaku, maka di ruang sajilah kesempatan interaksi yang lebih luas dapat terjalin.

Siswa kelas satu dituntut untuk berotasi dalam memilih meja makan. Hal tersebut guna memastikan sosialisasi tidak di tempat atau orang itu-itu saja. Siswa kelas kedua masih sering berotasi namun sudah lebih aktif dalam bersosialisasi, mulai mengobrol perkara lomba dan organisasi.

Memang ketika kelas dua, kita sedang berada di masa-masa disibukkan menjadi tulang punggung OSIS atau MPK (Majelis Perwakilan Kelas), serta ekskul lainnya. Di sisi lain, kita juga sedang dalam masa-masa rutin turun gunung3 guna membawa seragam kotak-kotak biru kebanggaan Smudama dalam beragam mata lomba. Sedang, siswa kelas tiga sedang mengobrol rencana-rencana kehidupan setelah lulus SMA. Obrolan yang tidak jauh dari topik SNMPTN, ujian nasional, masuk universitas, ataupun beasiswa.

Menilai kembali awal mula munculnya budaya table manner dan sangkut pautnya dengan interaksi di meja makan. Lebih dari sekedar membiasakan tata krama, kenyamanan di meja makan mendorong interaksi dan sosialisasi yang lebih baik. Bisa dilihat, banyak pertemuan penting seperti pebisnis atau politisi yang dilakukan dengan diiringi makan malam bersama.

Merindukan makanan ruang saji di Smudama lebih dari sekedar merindukan menu yang pernah dicicipi. Lebih dari sekedar ompreng yang sudah jarang ditemukan. Namun suasana yang sangat langka dan sulit diulang kembali.

Saya ingat betul suasana makan malam pertama setelah sudah tidak di Asrama Smudama, tepat setelah pagelaran seni. Hilangnya momen interaksi setelah makan, atau bagaimana tepukan tangan penanda masuknya waktu makan.

Mengingat betapa berkesannya makan malam pertama saya di Ruang Saji Maccini Baji sebagai titik awal, maka sangat tepat ketika acara pelepasan angkatan saya juga dilaksanakan di ruang saji sebagai titik akhir.

Ruang saji adalah tempat favorit kedua acara-acara penting di Smudama setelah Perpustakaan Anakkukang. Tempat interaksi dan cerita-cerita tanpa akhir. Sebagaimana slogan Anak Smudama, never ending story yang selalu mengiringi kisah-kisah di atas gunung sana.

Doa untuk Almarhumah Ibu Amir, mantan kepala Ruang Saji Maccini Baji. Semoga amal ibadah beliau diterima di Sisi Allah SWT. Doa dan harapan terbaik kepada seluruh kakak-kakak ruang saji yang pernah mengabdi di tempat tersebut.”

Penulis : Andi Mawardi Wahab
Editor : Uli’ Why
Gambar : Dokpri Siswa Smudama

CATATAN :
Smudama = SMAN 5 Gowa atau yang sebelumnya bernama SMAN 2 Tinggimoncong
Intituitif = proses kognitif yang memunculkan ide sebagai suatu strategi dalam membuat keputusan yang diperkirakan benar sehingga menghasilkan jawaban spontan dalam memecahkan masalah
Laku = perbuatan
1Ki = klitika dalam dialeg Sulawesi Selatan yang berarti kamu dalam bentuk sopan, namun dalam dialog di atas bisa menggantikan kata “dong”, tuangki (tuang dong)
2Ko = artinya kamu dalam klitika dialeg Sulsel. Ko digunakan untuk teman sebaya atau pada orang yang lebih muda atau pada mereka yang dianggap sudah akrab.
3Turun gunung = istilah yang digunakan Anak Smudama saat keluar dari sekolah atau kompleks asrama. Istilah ini digunakan karena Smudama berada di daerah pegunungan tinggi di Kabupaten Gowa, Sulsel. Turun gunung berarti meninggalkan pegunungan tersebut menuju ke dataran yang lebih rendah, seperti ke Kota Makassar

One thought on “Ruang Saji Maccini Baji dan Budaya Eropa”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!