Asa PendidikanAsa Pendidikan

“Banyak anak yang lahir dari dunia pendidikan formal hanya untuk mencari nilai popularitas dalam kehidupannya. Karena kesalahan menu yang diajarkan di bangku sekolah tanpa sadar akan menciptakan domino effects.”

Pendidikan merupakan asa terbesar dalam perubahan suatu bangsa. Sebab pendidikan merupakan komponen dasar dalam pembentukan suatu karakter sumber daya manusia yang mumpuni.

Hakikat kita sebagai manusia tidak akan lekat dengan kekurangan. Maka simpul pengetahuan yang terkonstruksi dalam pendidikan, sudah pasti keberadaannya sangat diperlukan. Agar bisa meretas alam saintifik yang begitu bergulir dengan pesatnya.

Sebagai amanah yang harus ditunaikan, maka sudah menjadi kebutuhan dasar bagi kita yang bernaung dalam ideologi yang memaktubkan pendidikan. Sebagai pionir utama kecerdasan bangsa.

Variabel kokohnya dan majunya suatu bangsa dan negara, harus ditopang dengan nafas pendidikan yang berasasakan kemanusian, adil, dan beradab.

Pendidikan adalah barang mewah dan memewahkan bagi siapapun yang bermain dalam nuansanya. Ibarat mengarungi kegelapan tanpa ada cahaya, maka kemuliaan pendidikan yang akan mengantar untuk mencapai tujuan yang diidamkan.

Pertanyaan besar bagi kita semua adalah pendidikan seperti apa yang harus bisa melahirkan kecerdasan yang mumpuni? Atau pendidikan seperti apa yang bisa menjadikan kita beradab?

Setiap hari kita pasti selalu disibukkan dan diterpa oleh kedua pertanyaan tersebut, baik melalui suguhan media cetak maupun suguhan media tanpa kabel.

Pemetaan pembicaraan mengenai urgensi pendidikan pasti menjadi trending topic dimana-mana. Di pojok perumahan para ibu-ibu sibuk menggosok keluh kesah mereka dengan mahalnya biaya sekolah. Yang di bawah kolong jembatan sibuk mempertanyakan kapan bisa keluar dari lorong kemiskinan. Mereka harus bertaruh banyak materi untuk menyekolahkan anaknya. Realitas ini menjadi kegundahan yang teramat dalam bagi masyarakat kita. Mereka mengandalkan jalur pendidikan sebagai aset untuk meningkatkan derajat hidup di kemudian hari.

Pendidikan memang diarahkan agar peserta didik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik. Dengan demikian, mereka dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan di bidang tertentu.

Mereka juga dirangsang memiliki kreativitas, sehingga apa yang dilakukan terus bermakna dalam lingkup berbangsa dan bermasyarakat. Selain itu, pendidikan juga merupakan proses belajar hidup bersama. Hidup bersama yang memungkinkan berhasil tidaknya mereka menjalani hidup.

Sayangnya, pengalaman hidup bersama itu acapkali diabaikan.

Tidak sedikit sekolah-sekolah justru membangun tembok-tembok perbedaan. Mereka membangun lembaga pendidikan hanya untuk dimasuki oleh kelompok tertentu. Bahkan hanya untuk etnik dan agama tertentu. Implikasinya, pengalaman hidup bersama itu juga terbatas. Padahal, realitas kehidupan itu lebih kompleks dan lebih beragam.

Untuk itu, perlu adanya pengalaman tambahan dari anak-anak yang terdidik dari iklim seperti itu. Perlu ada forum yang memungkinkan adanya saling kenal dan akhirnya saling menghormati dan bekerja sama. Tanpa hal demikian, rajutan kebangsaan yang indah dan penuh makna akan sulit kita miliki.

Bukankah Tuhan sendiri telah mengatakan bahwa manusia memang diciptakan bersuku-suku dan berkelompok agar saling mengenal satu sama lain. Adanya gap antara lini yang ada dan menciptakan masalah yang baru dalam lingkup pendidikan kita.

Gambaran realitas pendidikan kita tidak berada dalam posisi yang ekuilibrium, masih timpang, dan terkesan sebagai bahan orientasi marketing semata. Hal ini diuraikan secara gamblang dalam buku Listening The Art” yang ditulis oleh Erich Fromm.

Fromm mengatakan bahwa orientasi marketing menjadi hal yang paling dominan lahir dari diri seseorang. Dengan “kepribadian” untuk lari dari kebiasaan, maka seseorang harus bisa menempatkan posisinya sebagai aksesoris yang mampu dipajang di etalase. Cinta harus dipermak dengan baik supaya bisa menjadi komoditi yang memiliki nilai yang sangat baik dan mahal.

Bila kita berbicara mengenai pendidikan, maka mainstream kita akan tertuju kepada sarana yang dijadikan lahan karantina moral dan attitude bagi peserta didik.

Sekolah merupakan institusi formal yang telah memberi sekat antara kenyataan dan harapan. Sehingga ruang untuk berperan secara mendalam lebih pada kekuatan nilai material semata.

Banyak anak yang lahir dari dunia pendidikan formal hanya untuk mencari nilai popularitas dalam kehidupannya. Karena kesalahan menu yang diajarkan di bangku sekolah tanpa sadar akan menciptakan domino effects. Dengan mengklasifikasikan anak yang berperingkat tinggi dengan impian yang besar.

Sedangkan anak yang nilai rapornya biasa-biasa saja, diklasifikasikan sebagai objek derita dan tidak banyak varian mimpi. Mimpi yang ditawarkan akan menjadi jembatan untuk mendelegitimasikan ketidakadilan ke dalam ruang kehidupannya.

Bagi pendidikan liberasionisme, sekolah haruslah bersifat objektif (rasional-ilmiah), namun tidak sentral. Sekolah memiliki fungsi ideologis: ia ada bukan hanya untuk mengajarkan pada siswa bagaimana cara berpikir yang efektif, secara rasional dan ilmiah. Melainkan untuk membantu siswa mengenal kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling menyakinkan dan terhubung dengan berbagai problem manusia yang terpenting.

Dengan kata lain, liberalisme pendidikan tidak hanya dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Namun ia mencakup komitmen tertentu terhadap rangkaian tindakan apa pun yang didukung oleh kesepakatan dan sarat pengetahuan serta bersifat objektif dalam komunitas intelektual pada saat tertentu.

Pada puncaknya, liberasionisme pendidikan adalah sebuah orientasi yang berpusat pada problem atau tata cara. Namun ia juga meliputi komitmen kedua yang kuat terhadap jawaban-jawaban terbaik yang dibuat oleh kecerdasan yang terlatih.

Ia memandang bahwa sekolah secara moral berkewajiban untuk mengenali dan mempromosikan program-program sosial konstruktif. Bukan hanya melatih siswa, tapi juga harus memajukan pola tindakan yang paling menyakinkan. Pola yang di dukung oleh analisis objektif berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Dalam hal ini, dengan derasnya arus perubahan mekanisme atau aturan yang ada, maka berimplikasi pula pada orientasi yang dialami oleh peserta didik. Hal ini tentunya bila kita menyempitkan penelusuran dalam dimensi pendidikan kita.

Kejutan demi kejutan terjadi dengan cepatnya. Arus yang berpatron pada dimensi kemajuan yang tidak berimbang. Hasil olahan yang hanya menyajikan kuantitas semata berbanding terbalik dengan kualitas yang diharapkan.

Kejutan masa depan (future shock), tekanan yang mengguncangkan, dan hilangnya orientasi yang dialami oleh setiap individu. Itu terjadi jika kita menghadapkan mereka dengan terlalu banyak perubahan dalam waktu yang terlalu singkat.

Margared Mead menguraikan dalam buku ideologi-ideologi pendidikan bahwa, “Saya tidak dilahirkan di sebuah dunia di mana saya hidup sekarang ini. Saya tidak hidup di semua dunia di mana nantinya saya akan mati.”

Mengajar yang pernah digambarkan oleh Margaret Mead sebagai sebuah pemancaran (transmisi) vertikal ke arah bawah. Di mana pelajaran yang diturunkan dari orang dewasa kepada anak-anak kini makin lama makin berbentuk pemancaran horizontal.

Mereka yang memiliki informasi yang relevan akan memancarkan atau meneruskan informasi itu kepada orang-orang lain yang memerlukannya. Tanpa atau hanya sedikit memedulikan kepantasan tradisional dalam hal usia. Malah rasanya kita menjadi terlibat dalam menghidupkan pemancaran pengetahuan secara vertikal ke arah atas.

Generasi muda yang lebih mengenal hak-hak terbaru akan mendidik kembali generasi tua. Secara rutin hal ini dilakukan dalam hal jenis pemahaman dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh dunia yang terus saja mengubah diri mereka sendiri.

Keseluruhan perubahan itu menimbulkan dampak yang sangat berdasar terhadap pemikiran pendidikan kontemporer. Jadi semakin jelaslah bagi para pengamat yang cukup tahu bahwa Peter Drucker cukup benar atas perbedaan penting antara efisiensi, yakni melakukan hal-hal secara tepat. Dengan efektivitas, yakni melakukan hal yang tepat.

Sekolah kita telah seringkali menjadi korban dari apa yang dipopulerkan sebagai sekte pemujaan efisiensi. Artinya, kita terlalu sering mengorbankan keyakinan-keyakinan pendidikan di atas altar kelancaran pencapaian target administrasi.

Dalam bukunya, Charles Silberman berjudul “Crisis In The Classroom” mengatakan bahwa sekolah-sekolah di Amerika saat ini tetap menderita akibat terlalu banyak perilaku yang tak pernah dipertanyakan. Serta akibat terlalu banyak perkiraan yang tak pernah diuji kebenarannya.

Persoalan dalam pendidikan calon guru, ujar Silberman, bukan lantaran pendidikan itu teramat bersifat praktis. Melainkan karena ia gagal membekali para calon guru dengan sebuah perasaan akan adanya tujuan tertentu. Sebuah filosofi pendidikan tertentu.

Selanjutnya, keterampilan tanpa kesadaran diri adalah berbahaya. Karena keterampilan cenderung hanya mengulang-ulang apa yang pernah dikerjakan. Sementara kesadaran diri membuka jalan pertumbuhan.

Kesibukan dalam menegaskan aturan dan kontrol, ketaatan membudak pada jadwal rancangan pengarahaan, dan obsesi terhadap apa yang rutin dilakukan. Ketiadaan suara ataupun gerak para siswa di kelas saat sedang diajar dan tekanan dan ketidakgembiraan.

Adanya diskusi yang didominasi oleh guru atau dosen di mana mereka memberi petunjuk-petunjuk pada seisi kelas sebagai sebuah unit. Penekanan pada apa yang berupa kata-kata (verbal) dan tidak ditekankannya terhadap hal yang konkret. Ketidakmampuan siswa untuk belajar sendiri, pemisahan tugas (dikotomi) antar belajar, bekerja, dan bermain.

Tak satupun dari semua itu yang perlu diadakan dan semuanya bisa dilenyapkan.

Menurut Eric Berne 1964 (dalam Herman: 21) menyatakan bahwa dalam menghadapi lingkungannya, semua orang selalu menggunakan topeng untuk maksud-maksud tertentu. Ada berbagai pola, seperti survive games  yang mereka perankan, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi.  

Arti pendidikan yang terlaksana sekarang lebih mengedepankan kuantitas dibandingkan kualitas. Seni permainan untuk bertahan dalam derasnya nilai-nilai kapitalis yang tersusupi dalam dunia pendidikan membawa pengaruh effect dominos.

Pengaruh terhadap penanaman pemahaman akan ranah yang begitu mulia tersebut. Dimana dimensi yang membawa angin perubahan terhadap tatanan nilai kebangsaan yang begitu terkikis akan rekonstruksi pencerahan hanya sebagai mimpi belaka. Sebab pada dasarnya sekolah yang merupakan basis pencetak generasi mulia menjadi komoditi paling elegan untuk dijadikan sebagai lahan empuk untuk menuju generasi yang haus akan kalkulasi benefit.

Ruang humanis terseret ke arah paling dalam tergantikan akan kulminasi materi yang berlimpah. Kalkulasi materi dan jabatan menduduki posisi yang paling menguntungkan untuk hidup bergelimang harta?

Salahnya di mana? Mungkin sebagian dari kita akan mengatakan hal itu. Tentu tidak salah, yang salah apabila perimbangan antara keuntungan dan nilai sosial berjalan beriringan. Maksudnya, bahwa tanpa lokomotif material, kita akan tersendat dalam menjalankan mesin kehidupan. Namun yang sangat penting, keberadaannya adalah bagaimana efek yang ditimbulkan itu terjadi.

Penulis : Askarim
Editor : Efie Thaha
Gambar : Charles DeLoye, Guru Pengajar, Kompasiana

CATATAN :
Saintifik = pendekatan ilmiah
Trending topic = topik yang banyak dibahas, khususnya dimedia sosial
Ekuilibrium = keadaan mantap karena kekuatan yang berlawanan, setimbang, atau sepadan; kesetimbangan
Mainstream = arus utama
Liberasionisme = sudut pandang yang mengangap harus segera dilakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik sebagai cara untuk memamujukan kebebasan individu dan mempromosikan perwujudan potensi diri semaksimal mungkin
Liberalisme = aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur)
Konstruktif = bersifat membina, memperbaiki, membangun, dan sebagainya
Kontemporer = pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini
Berpatron = meneladani, meniru, mengikuti
Kulminasi = puncak tertinggi; tingkatan tertinggi
Lokomotif = penggerak, kepala kereta api
Effect dominos = sebuah efek kumulatif yang dihasilkan saat satu peristiwa menimbulkan serangkaian peristiwa serupa. Istilah tersebut lebih dikenal sebagai efek mekanikal dan dipakai sebagai analogi barisan berjatuhan dari domino-domino

One thought on “Asa Pendidikan di Bilik Sekolah”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!