Oleh : Deflin Gani

Membentuk siswa yang berkarakter memerlukan upaya terus-menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral decisions (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.

Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas serta memiliki daya saing yang tinggi, maka pendidikan yang diberikan kepada generasi muda harus dilaksanakan secara utuh dan berkesinambungan.

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan tumbuhnya budi pekerti, pikiran (intelek), dan tubuh anak.

Integritas bertalian dengan moral yang bersih, kejujuran serta ketulusan terhadap sesama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integritas adalah mutu, sifat, dan keadaan yang menggambarkan kesatuan yang utuh, sehingga memiliki potensi dan kemampuan memancarkan kewibawaan dan kejujuran.

Dewasa ini, pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan yang berat, bukan hanya kualitas intelektual yang masih rendah. Namun juga diperparah dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring perkembangan globalisasi.

Ketidakjujuran yang marak terjadi, dilatarbelakangi oleh rasa percaya diri dan konsistensi yang sangat kurang. Siswa wajib memiliki sikap berani untuk berperilaku jujur dalam mengerjakan setiap hal dan konsisten pada pendiriannya.

Walaupun lingkungannya mendukung untuk tidak berlaku jujur, diharapkan siswa tetap muncul sebagai pelopor integritas di dunia pendidikan bangsa ini. Berdasarkan hal tersebut, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kepercayaan pada siswa. Kemudian, diperlukan peran keluarga dan guru untuk membimbing pelajar keluar dari zona nyaman, sehingga pelajar termotivasi untuk mampu bersaing dengan integritas yang unggul.

Pelajar pun haruslah bersinergi agar dapat menyamakan langkah dalam menegakkan kejujuran. Sebagai penikmat, pelajar harus bisa angkat bicara mengenai pendidikan bangsa kita.

Perlu ada forum yang menyatukan aspirasi pelajar. Karena akan muncul berbagai inovasi pelajar yang memerlukan kerja sama antar setiap pelajar untuk mewujudkannya. Jangan sampai inovasi pelajar kita hanya sebatas pikiran, tanpa implementasi. Sejalan dengan pernyataan itu, dibutuhkan sinergi antar stakeholder agar lebih peka dan tanggap terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Diperlukan recast (perombakan) terhadap sistem pendidikan kita sehingga siswa dan siswi betul-betul memaknai ­pendidikan yang sebenarnya.

Sistem kita perlu bercermin pada negara dengan pendidikan yang hebat. Kenapa pendidikan mereka hebat? Karena mereka tak memberikan tekanan kepada siswa untuk PR (pekerjaan rumah)  dan ujian hanya diadakan sekali. Sehingga siswa menerima pendidikan dengan hati. Mengapa Indonesia krisis integritas? Karena siswa selalu berada dalam tekanan yang menuntut mereka agar mempunyai nilai yang tinggi. Sehingga hanya berusaha mencapai nilai tinggi bukan ilmu tinggi.

Finlandia mengedapankan kualitas belajar dibanding waktu belajar. Mereka mengajarkan pentingnya kecerdasan emosi yang mampu mengalirkan sikap-sikap, seperti integritas, komitmen, visioner, serta kemandirian. Karena yang terpenting dalam mewujudkan pendidikan yang berkarakter adalah mental yang kuat.

Solusi : Pelajar Otonom Indonesia

Jalan keluar yang Penulis bisa berikan terhadap permasalahan tersebut ialah suatu program yaitu POI (Pelajar Otonom Indonesia). POI adalah sistem yang memberikan kewenangan kepada pelajar untuk menentukan sendiri hal-hal yang berkaitan langsung dengan kegiatannya.

Setiap sekolah perlu memberikan kebebasan kepada pelajar untuk merancang sendiri segala sesuatunya dimulai dari hal kecil hingga kepada hal krusial yang berkaitan dengan lingkungannya. Mulai dari merancang dekorasi kelas, sampai pada peraturan yang berlaku di sekolah mereka masing-masing. Hingga kepada pembentukan haluan-haluan dan garis besar organisasi maupun ekstrakurikuler yang ada.

Sinergi antara pendidikan keluarga dan pendidikan sekolah dapat dioptimalkan dalam bentuk forum diskusi antara orang tua siswa dan pendidik. Jadi, dengan adanya forum tersebut, orang tua siswa dapat mengutarakan berbagai persoalan mengenai perkembangan anaknya kepada para pendidik. Sehingga pendidik dapat mengetahui kebutuhan pendidikan setiap siswa.

Secara kontraprestasi akan terlahir pelajar yang berjiwa kritis dan berjiwa sosial yang tinggi. Pelajar juga perlu diikutsertakan dalam penentuan kebijakan sekolah, sehingga tercipta sinergi antara pihak guru dan pelajar itu sendiri.

Sistem ini melahirkan lebih dari satu interaksi. Sehingga melahirkan banyak kerja sama, baik antar pelajar itu sendiri maupun kerja sama terhadap guru.

Pelajar akan saling bertukar pikiran dalam setiap pencanangan. Pada akhirnya siswa yang notabene sebagai orang yang mencanangkan dan membentuk suatu peraturan maupun sistem, akan menjadi pelaku yang melaksanakan hasil dari setiap kesepakatan yang ada. Mereka akan terpacu untuk bekerja sama untuk menyukseskan hal tersebut.

Kesimpulannya yang menjadi tolak ukur bahwa sistem pendidikan kita telah baik adalah ketika siswa sudah tidak senang lagi apabila free class.

Editor : Efie Thaha, Yati Paturusi
Ilustrasi : pixabay

One thought on “Integritas Sebagai Aspek Fundamental dalam Rekonsiliasi Pelajar”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!