Belajar dari Fantasy Premier LeagueBelajar dari Fantasy Premier League

Fantasy Premier League atau yang biasa disingkat dengan FPL adalah sebuah game online yang dapat dimainkan dengan mengakses situs premierleague.com.

Peraturannya cukup sederhana, pemain FPL diberikan budget in game currency sebesar seratus juta rupiah untuk membeli pemain yang terdiri dari 2 kiper, 5 bek, 5 gelandang, dan 3 penyerang. Dengan beberapa peraturan batasan seperti maksimal hanya boleh memilih 3 pemain dari 1 tim yang sama. Harga setiap pemain ditentukan oleh developer berdasarkan performa dan popularitas pemain yang bersangkutan.

Setelah memiliki skuad berisi 15 atlet, maka persiapan pemain sudah selesai. Selanjutnya, pemain hanya perlu mengatur tim sekali dalam sepekan, 1.5 jam sebelum kick off pertandingan pertama di setiap gameweek-nya. Selanjutnya, atlet-atlet akan mendapatkan poin setiap pekannya sesuai dengan performa mereka, +4 untuk penyerang yang mencetak gol, +3 untuk yang memberi assist dan sebagainya. Tujuan permainan ini adalah untuk mendapatkan poin setinggi-tingginya selama semusim Liga Premier Inggris.

Selain itu, ada aspek lain dalam permainan seperti free transfer yang didapatkan pemain setiap pekannya yang digunakan untuk mengganti atlet dalam skuad. Setiap transfer setelahnya akan memberi penalti -4 poin. Transfer-transfer ini kemudian akan mempengaruhi fluktuasi harga atlet dimana harganya akan naik apabila banyak pemain yang memasukkannya ke dalam skuad mereka masing-masing.

Plan

FPL adalah game of decision, setiap pekan pemain dihadapkan pada beragam keputusan, siapa yang akan dimasukkan di starting eleven, siapa yang akan dijadikan kapten (poin kapten akan dikali dua), dan kemungkinan siapa yang akan ditransfer masuk dan keluar dari tim.

Melihat Yang Terdalam dari Yang Terdalam

Saya meminjam kata-kata Kakashi dari serial Naruto, bahwa ninja harus mampu untuk melihat yang terdalam dari yang terdalam, walaupun konteksnya berbeda. Hal yang sama harus dilakukan oleh pemain FPL dalam merencanakan transfer pemain.

Banyak hal yang walaupun di permukaan terlihat bagus, kenyataannya berbeda ketika ditinjau lebih dalam. Contoh yang paling mudah adalah pemain bertahan Tottenham Hotspurs pada musim 2021/2022.

Tottenham mencatat 3 clean sheet pada 3 pertandingan awal. Hal yang membuat pemain bertahan Spurs menjadi aset yang menggiurkan. Tetapi, ketika kita melihat lebih dalam lagi statistik Spurs di 3 pertandingan tersebut akan didapatkan kesimpulan yang berbeda. Mereka mencatatkan xGA sebesar 3.9, ini menunjukkan bahwa pertahanan Spurs tidak sebagus yang terlihat di permukaan.

Betul saja, Spurs kebobolan 6 gol di 2 pertandingan selanjutnya, walaupun 3 gol di pertandingan ke-4 bisa dikatakan akibat kartu merah yang diterima Japhet Tanganga.

Lantas apakah xG, xGA, dan semacamnya menjadi sesuatu yang mutlak dalam memilih pemain? Tentu tidak demikian, untuk setiap data ada konteks yang harus kita ketahui. Misalnya, xGA Chelsea dari 5 pertandingan pertama sebesar 3.3. Walaupun sekilas terlihat buruk, 2.7 dari 3.3 xGA itu terjadi di pertandingan ke-3 melawan Liverpool yang merupakan tim dengan xG terbesar di liga dan Chelsea efektif bermain dengan 10 orang selama 1 babak di pertandingan tersebut.

Keinginan untuk melihat “yang terdalam dari yang terdalam” menurut saya merupakan hal yang penting di era click bait seperti sekarang ini. Jangan terlalu cepat lompat pada kesimpulan, coba kita lihat underlying stats dan konteksnya terlebih dahulu.

Sabar, Sabar, Sabar

“Maths and science give us an edge. We can use scientific tools to reveal patterns and to tame randomness. Each time we apply a mathematical model, we get a clearer idea of how the world works. But mathematicians and scientists should recognize their limits: there will always be things in football, and in the rest of life, that we can’t fully explain. This shouldn’t worry us. It is something to be celebrated.”

Kalimat di atas adalah kutipan dari Soccermatics, buku yang membahas tentang sepak bola dari sudut pandang seorang matematikawan. FPL tidak lepas dari randomness ini yang bisa saja hadir dalam bentuk cedera, pemain dengan performa di bawah underlying stats mereka (aka Adama Traore), atau mungkin seorang warga negara Spanyol berkepala plontos yang terlalu suka merotasi timnya.

Oleh karena randomness ini, kita harus menyadari, dengan banyaknya keputusan yang kita ambil dalam permainan ini beberapa di antaranya akan berakhir buruk. Dan ini adalah hal yang harus kita maklumi.

Akan tetapi, bukan berarti kita membiarkan keputusan kita begitu saja tanpa ada audit. Bermain FPL mengajarkan tidak semua hal perlu dinilai berdasarkan hasil, sebagian perlu dinilai berdasarkan apa yang melatarbelakanginya.

Tawakkal Football

Pada akhirnya, FPL adalah semua game dan harus diperlakukan sebagai game. Walaupun musim ini performa tim tidak sebagus musim lalu, saya tetap menerapkan filosofi yang berkembang di akhir tahun 2018 dan menginspirasi nama tim saya, Tawakkal Football.

*Karena tulisan ini sudah lama bersemayam di hard disk, pertandingan yang dianalisa sudah lama.

Penulis : Somnus Tinro
Editor : Uli’ Why
Ilustrator : Nur Farahiyah Amalina

CATATAN :
Assist = Operan terakhir ke pemain sebelum mencetak gol
Fluktuasi = Gejala yang memperlihatkan keadaan naik turunnya harga
xG = Expected goal, statistik yang menunjukkan berapa besar kemungkinan sebuah peluang menjadi gol. Faktor-faktor yang dipertimbangkan berupa jenis umpan, jenis tendangan ke gawang (menggunakan kaki/kepala), sudut asal tendangan, jarak tendangan dan sebagainya
xGA = Expected goal against, sama dengan xG, tetapi digunakan untuk menunjukkan kemungkinan kebobolan
Click bait = Umpan berupa judul pada sebuah konten yang memicu rasa penasaran
Adama Traore = Pemain sepak bola berkebangsaaan Spanyol yang bermain di Barcelona FC
Japhet Tanganga = Pemain sepak bola berkebangsaan Inggris yang bermain di Tottenham Spurs FC

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!