Stadion, sebuah lapangan olahraga yang dikelilingi tempat duduk. Di kota kelahiran adik saya dulu pernah berdiri satu stadion, Stadion Mattoanging namanya. Sudah sekitar setahun berlalu sejak renovasi dimulai, tempat yang dulunya menjadi markas PSM itu telah beralih fungsi menjadi tempat berkebun dan tempat memancing.
Melalui tulisan ini saya ingin bercerita mengenai stadion lain, salah satu dari dua stadion yang pernah saya kunjungi selama tinggal di sini, Saitama Stadium 2002. Stadion ini sudah berkali-kali menjadi venue pertandingan besar, salah satunya semifinal Piala Dunia di tahun 2002 antara Brasil melawan Turki. Tentu saja saya masih terlalu kecil untuk mengingat apa yang terjadi saat itu.
Hari itu, Senin 14 Januari 2019 bukanlah pertandingan antar negara, bukan pula antar klub profesional. Hari itu, Saitama Stadium di tahun 2002 digunakan untuk mengelar pertandingan antar SMA. Mungkin bagi sebagian besar orang pertandingan ini “hanya” antar anak sekolah, tapi hal itu tidak menyurutkan animo saya dan 54.193 orang lainnya yang hadir hari itu.
Di Jepang, hari Senin pada pekan kedua bulan Januari merupakan hari digelarnya partai final All-Japan High School Soccer Championship, hari yang sama dengan upacara coming of age. Tahun 2019 merupakan kali ke-97 turnamen diselenggarakan. Turnamen yang memperebutkan gelar sebagai yang terbaik di antara 4.058 SMA yang menjadi peserta.
Setiap pertandingan dari seleksi tingkat prefektur memperebutkan tiket ke satu tempat untuk ke turnamen tingkat nasional. Hingga pertandingan tingkat nasional melawan perwakilan prefektur lain menggunakan sistem knock out, yang menambah bumbu emosi di setiap pertandingan.
Dari kompetitisi antar SMA ini lahir sosok-sosok pemain seperti Shunsuke Nakamura, Yuya Osako, Gaku Shibasaki dan banyak lagi. Hal yang membuat saya iri melihat betapa terintegrasinya pembinaan olahraga di Jepang.
Lamunan itu buyar ketika closing ceremony dimulai. Mrs. Green Apple membawakan single mereka yang dibuat khusus sebagai supporting song untuk edisi kali ini. Boku no koto menggema ke penjuru stadion. Saya pribadi menyukai bagian yang berarti kurang lebih “kiseki (奇跡 = keajaiban)” telah tiada. Tidak semua kerja keras akan berbuah hasil, tapi orang-orang akan menyebut hari-hari yang kita lalui ini sebagai kiseki (軌跡 = jejak).
Setelah closing ceremony berakhir, kedua tim memasuki lapangan. Pertandingan hari itu mempertemukan Aomori Yamada, perwakilan dari Prefektur Aomori dan Ryukei Okashiwa perwakilan dari Prefektur Chiba. Waktu menunjukkan 14.05 waktu setempat ketika kick off menandai dimulainya pertandingan hari itu.
Setelah 90 menit wasit meniup peluit panjang, pertandingan hari itu berakhir dengan kemenangan Aomori Yamada. Ryukei Okashiwa sempat unggul lebih dulu melalui gol sundulan dari Sekigawa sebelum dibalas dua gol dari Danzaki dan satu gol dari pemain pengganti Komatsu.
Bersamaan dengan peluit tersebut, pemain-pemain berseragam hijau meluapkan kegembiraan mereka. Sedangkan pemain-pemain berseragam merah tersungkur dan tenggelam dalam tangis mereka.
Melihat kontras tersebut saya tersenyum, tentu saja saya bukannya menikmati kegagalan seseorang. Hanya saja, memiliki mimpi yang diperjuangkan hingga air mata harus menetes saat gagal merupakan hal yang sangat berharga, hal yang sedikit banyak bisa saya pahami. Did i sound like an old man just now? Let’s stop here then.
Penulis : Somnus
Editor : Uli’ Why
Gambar : Dokpri penulis
CATATAN :
PSM = Persatuan Sepakbola Makassar
Coming of age = upacara datangnya kedewasaan (成人式 seijin-shiki) yang diadakan di kuil-kuil keagamaan di Jepang untuk memberikan ucapan selamat dan memberikan dorongan kepada semua orang yang telah mencapai usia mayoritas (20 tahun) selama tahun kemarin, dan untuk membantu menyadarkan mereka bahwa kini mereka telah menjadi orang dewasa
Prefektur = istilah pembagian wilayah di Jepang, provinsi seperti yang ada di Indonesia
Knock out = salah satu format turnamen dengan sistem gugur yang melibatkan semua peserta pada awal turnamen. Peserta yang kalah langsung keluar dari turnamen
Kick off = tanda dimulainya pertandingan sepak bola baik babak pertama dan kedua dengan ditiupnya peluit oleh wasit pengatur pertandingan
[…] Lantas apakah xG, xGA, dan semacamnya menjadi sesuatu yang mutlak dalam memilih pemain? Tentu tidak demikian, untuk setiap data ada konteks yang harus kita ketahui. Misalnya, xGA Chelsea dari 5 pertandingan pertama sebesar 3.3. Walaupun sekilas terlihat buruk, 2.7 dari 3.3 xGA itu terjadi di pertandingan ke-3 melawan Liverpool yang merupakan tim dengan xG terbesar di liga dan Chelsea efektif bermain dengan 10 orang selama 1 babak di pertandingan tersebut. […]
[…] Baca juga : Jejak di Stadion […]