Sebelum fajar menyapa, ada ibu yang sudah sibuk di dapur. Melawan rasa dingin di antara kepulan asap yang membumbung di atas panci. Terkadang sendiri atau ditemani anaknya, menyiapkan makanan untuk keluarganya. Ia rela bangun lebih cepat di antara yang lainnya, demi sajian istimewa untuk sahur pertama.
Ayah membangunkanku yang masih meringkuk di antara selimut. Malam ini begitu dingin hingga aku tertidur lebih cepat dari biasanya.
“Megumiiii, bangun, Nak. Katanya mau ikut sahur,” ucap Ayah pelan sembari menggoyangkan bahuku.
“Mmmm, iya, Ayah. Gumi bangun bentar,” sahutku mencoba membuka mata.
Ayah keluar kamar lalu menyalakan TV. Terdengar suara riuh penonton dan bunyi peluit berkali-kali. Mendengar itu, aku bergegas melompat dari kasur.
“Wah, siapa ini yang tanding, Yah?” tanyaku mendongakkan kepala di pintu.
“Ya udah keluar sini nonton!” pertanyaanku tidak dijawab langsung oleh ayah. Kupikir ini salah satu strateginya untuk membangunkanku sahur. Yah, kami berdua memang menyukai sepakbola. Dan subuh ini, ada siaran langsung pertandingan dari tim kesayangan kami, Timnas Brazil.
Aku baru duduk 15 menit di depan TV bersama ayah, tapi kemudian ibu memanggil kami.
“Makanan sahurnya sudah siap. Ayah, Gumi, ayo makan dulu,” ucap ibu saat menghampiri kami di ruang keluarga.
Ayah bergegas berdiri mengikuti ibu yang masuk ke dapur lebih dulu. Aku menyusul sesaat setelah dari kamar mandi mencuci muka.
“Bu, Gumi boleh makan di ruang TV?” tanyaku pada ibu yang tengah menyendok nasi.
“Duduk di sini saja, Nak. Kita makan bersama. Ini juga sahur pertama kan, Gumi,” belum sempat ibu menyahut, ayah sudah menimpali pertanyaanku lebih dulu.
“Bisa sahur bersama dengan keluarga itu momen paling dinantikan banyak orang. Tahun depan, belum tentu kita bisa berkumpul seperti ini, Nak. Apalagi kalau kamu sudah kuliah nanti,” ucap ibu sesaat sebelum ia mulai menyantap makanannya.
Aku hanya diam mendengar ucapan ayah dan ibu. Menu sahur yang sudah terhidang di depan mata, jelas lebih menggiurkan dibanding pertandingan sepakbola dari layar kaca itu.
***
Sudah sekian tahun melewati sahur pertama Ramadan di perantauan. Harus bangun memasak sendirian. Terkadang pula ketiduran, ketika alarm ponsel tidak sanggup membangunkan.
Subuh ini, saat menghidangkan makanan, aku teringat kembali masa kecil di kampung. Bisa sahur bersama, lengkap sekeluarga, menikmati masakan ibu, menu apapun jadi terasa istimewa.
Ternyata benar yang dikatakan ibu dulu, momen langka jangan sampai dilewatkan. Jika ada kesempatan untuk berkumpul, jangan disia-siakan. “Anak-anak bertumbuh dengan cepat. Mereka akan memiliki kehidupan sendiri. Maka, sebisa mungkin jaga kebersamaan itu selagi masih sempat,” ucap ibu kala itu.
Sebelum fajar menyapa, setelah menyantap sahur, aku bergegas mengambil air wudu. Menunaikan salat subuh sendirian di rumah. Kukirimkan doa untuk ayah. Harapku, semoga kelak kami bisa berkumpul lagi sekeluarga di Surga-Nya. Untuk ibu, semoga Allah selalu menjaganya dan mengumpulkan kami dalam kondisi sehat saat lebaran nanti.
Day 1 – Ide : Sahur (01)
Gambar : Andres Garcia
[…] Book Thoughts (BT) ke-24. Nyaris kebetulan, topik yang dibawakan kedua pembicara hampir sama: Ayah. Seketika acara BT kali ini pun menjelma menjadi ajang apresiasi ayah dari para ayah. Meski tentu […]