Matilah engkau, mati
Soetardji Calzoum Bachri —
Kau akan lahir berkali-kali.
Dua bait puisi di atas adalah alasan utama saya memutuskan untuk membeli buku ini. Puisi yang sangat kuat, mampu menyalakan api semangat, meski dikemas hanya dalam dua bait saja.
Dua bait puisi yang ditulis berulang, berkali-kali di tengah dan akhir novel ini membuat saya menduga bahwa Leila S. Chudori, sang penulis pun tergugah untuk menulis satu novel yang kelak menerima penghargaan S.E.A. Write Award 2020 berkat puisi ini.
Dugaan saya mendekati benar saat membaca ucapan terima kasih di belakang novel. Di dalamnya, Leila menuliskan betapa lirik puisi karya Soetardji Calzoum Bachri ini merupakan “jiwa” dari novel ini.
Kenangan
Novel ini secara umum mengangkat kisah orang-orang yang “hilang” dalam sebuah periode kelam dalam sejarah Indonesia. Saya ingat, pada periode kelam itu, ada masa di mana orang tua saya, berhenti membeli ikan di pasar karena ada rumor “ditemukan potongan jari tangan dan kaki manusia di dalam perut ikan yang dibeli di pasar.” Bagi saya yang masih anak-anak, perkara orang tua berhenti membeli ikan hanya sebatas petaka tidak bisa menikmati hidangan kesukaan di rumah. Tapi, lambat laun saya menyadari bahwa petaka yang sesungguhnya terjadi jauh lebih mengerikan dari hal itu.
Ada orang Indonesia yang membunuh dengan sadis sesama warga Indonesia demi mempertahankan rezim pemerintahan yang berlangsung. Itu adalah kenyataan yang harus saya terima ketika beranjak dewasa. Sebuah fakta mengerikan yang terkuak karena kebebalan mencari penjelasan di balik peristiwa saya dan adik “dipaksa” pindah sekolah sementara ke Sulawesi dari Papua karena “alasan keamanan.”
Di waktu itu, pelajaran sejarah di sekolah masih pada periode perjuangan kemerdekaan dan pascaproklamasi. Karenanya, sulit bagi saya untuk memahami mengapa bangsa yang dulu saling bahu-membahu memperjuangkan kemerdekaan dari bangsa asing yang menjajah mereka, malah saling menyiksa dan membunuh dalam kerangka “kemerdekaan” itu.
Hal-hal inilah yang kemudian diingatkan kembali oleh novel Leila. Betapa pun alurnya dirangkai dengan cerita keseharian mahasiswa yang penuh canda, resep masakan enak-enak khas rumah, dan cinta yang membara, novel ini mengabadikan kenangan tentang orang-orang yang dihilangkan, perjuangan. dan pengorbanan yang mereka lakukan, tangis senyap keluarga yang ditinggalkan, dan fakta bahwa ada sesama warga negara yang tega bahkan merasakan kesenangan dalam menyiksa sesama warganya dengan dalih “mempertahankan keamanan negara.”
Bagi saya, novel ini berat. Saya bahkan sempat berhenti membaca novel ini selama 2 minggu karena tidak kuat membaca detail penyiksaan yang dialami Laut dan kawan-kawannya. Meski dituliskan dengan gaya ringan, mau tidak mau saya membayangkan situasi sebenarnya yang tentu tidak akan seringan itu.
Bahwa ada orang-orang yang disetrum dan dipenjara hanya gara-gara membaca novel karangan Pramoedya Ananta Toer tentu di luar nalar anak-anak Indonesia yang lahir pascareformasi. Tapi, itulah kenyataannya. Ada periode gelap dalam sejarah bangsa kita yang harus terus diingatkan kepada generasi muda agar mereka bisa mencegah agar sejarah ini tidak berulang.
Indonesia dan Keberanian
Negara ini merdeka karena rakyat, bertahan karena rakyat, dan berdiri untuk rakyat. Pemerintah adalah pelayan yang menjamin agar rakyat dapat merasa aman, bebas berpenghidupan, mampu meraih kesejahteraan, dan pada akhirnya berkontribusi memajukan peradaban.
Jika ada pemerintah yang malah menimbulkan situasi sebaliknya, maka mereka wajib diberhentikan. Lalu diganti dengan pemerintahan baru yang dipilih oleh rakyat juga. Bukan malah dilindungi hingga jurtru mengorbankan nyawa rakyat. jangan tunggu sampai ada teman, kerabat, atau bahkan saudaramu yang mengalami kekerasan dan/atau penyiksaan, baru mau bereaksi. Pun, sudah menjadi bubur, aksi yang dilakukan untuk menjamin keadilan bagi mereka tetap harus dikerjakan.
Pesan-pesan inilah yang membuat saya akan tetap merekomendasikan novel Laut Bercerita ini untuk dibaca oleh siapa saja. Meski berat, Laut dan kawan-kawannya yang dihilangkan maupun yang selamat telah menunjukkan peran mereka melawan rezim demi Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Indonesia yang merdeka sehingga rakyatnya bebas dalam berpenghidupan temasuk dalam hal membaca dan berdiskusi tentang apa saja, termasuk mengungkap kritik atas pemerintah. Novel ini terutama saya rekomendasikan untuk dibaca mahasiswa-mahasiswa baru dalam kegiatan pengenalan kampus karena akan lebih efektif dalam memahamkan peran barunya sebagai mahasiswa ketimbang kegiatan perploncoan yang miskin faedah.
Pada akhirnya, untuk menyelesaikan sebuah misi yang berat, seperti menuliskan atau membaca novel yang menyingkap kembali kenangan buruk di masa lampau, dibutuhkan keberanian. Tapi, seperti puisi Soetardji:
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali
Baca juga : Memeluk Kenangan
Penulis : Faudzan Farhana
Editor & Ilustrasi : Uli’ Why
Gambar : Pranata Haroun