“Kau mainkan untukku, sebuah lagu tentang negeri di awan. Di mana kedamaian menjadi istananya. Dan kini tengah kau bawa. Aku menuju ke sana.”

Katon Bagaskara

Lirik dan musik lagu Katon Bagaskara di atas membuatku senantiasa teringat sebuah
kepingan hidup di sebuah sekolah di awan, SMUDAMA.

SMUDAMA, singkatan dari SMU 2 Malino, adalah nama beken dari sebuah sekolah yang cukup unik di Sulawesi Selatan (Sulsel). Nama resminya dulu adalah SMA Andalan. Kenapa andalan? Karena harapannya tidak sekedar unggulan, tapi ada nilai plusnya.

Konon sekolah ini dibentuk oleh Bapak Gubernur Sulawesi Selatan kala itu, Prof. Ahmad Amiruddin. Sesuai dengan visi dan misinya, maka sekolah ini mengumpulkan putra-putri daerah dari 23 kabupaten. Di mana tiap kabupaten mengirimkan 1-2 utusan yang didanai oleh pemerintah daerah masing-masing.

Saya jadi salah satu utusan dari Pinrang, salah satu kabupaten yang terletak di bagian utara Sulsel. Karena nilai saya cukup tinggi se-kabupaten saat lulus SMP. Keder juga sih membayangkan akan bertemu dengan anak-anak pintar dari berbagai kota. Tapi karena ini anug(e)ra(h) alias anu gratis, maka saya membulatkan tekad untuk menerima tawaran tersebut dan tinggal berjauhan hampir 200 km dari orang tua.

Sekolah ini lokasinya di daerah pegunungan, terisolir dari keramaian. Sangat pas buat
mereka yang memang mau belajar serius. Tak jauh dari Kota Malino, salah satu kawasan wisata terkenal yang berjarak 80-an km dari Makassar, ibukota Sulsel.

Lokasinya bukan persis di kota Malinonya, melainkan di sebuah pedusunan yang arahnya menuju ke Malino. Sekolah ini dikelilingi lembah dan hutan. Hanya sedikit rumah penduduk di sana.

Pertama kali ke sana pas pendaftaran, saya diantar ibu naik transport umum alias pete-pete dari terminal Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa. Kami turun di pinggir jalan, tepat di depan gerbang sekolah. Butuh beberapa langkah menanjak untuk tiba di gerbang. Sampai di situ, saya melihat lurus ke depan.

“Alamakkk….apa ini?? Kok yang ada hanya ruang kosong dengan latar belakang gunung dan awan? Sekolahnya mana???”

Setelah melayangkan pandangan ke arah bawah, terlihat sekumpulan bangunan di lahan yang sangat luas. Rupanya masih ada jalanan menurun cukup jauh untuk mencapai bangunan sekolah. Bangunan itu terdiri dari ruang kelas, perpustakaan, kantor, ruang kepala sekolah dan guru, rumah-rumah dinas guru, ruang makan, dan asrama.

Asramanya ada dua kala itu, Aspura (asrama putra) dan aspuri (asrama putri). Kalau sekarang asramanya sudah bertambah banyak.

Karena di daerah gunung, maka bangunan-bangunan tersebut tidak terletak pada ketinggian yang sama. Dari gedung sekolah paling depan hingga aspura paling belakang, posisinya semakin menurun. Bangunan-bangunan tersebut dihubungkan dengan selasar yang memiliki banyak tangga.

Karena suhu yang dingin, maka daerah itu sering berselimut kabut. Kadang tipis menghalangi sebagian pandangan. Namun, kadang tebal hingga seluruhnya seolah tertutup dinding putih. Karena itu lah saya menjulukinya sekolah di awan. Seperti lagu Katon di atas. Katon sendiri pun mengakui bahwa “Negeri di Awan” yang diciptakannya terinspirasi dari dataran tinggi Dieng yang laksana berada di atas awan saat berkabut tebal.

Pertengahan tahun 1997 saya masuk asrama putri, tepatnya di Anggrek 5. Asrama putri lainnya adalah Melati, yang diperuntukkan untuk kakak kelas kami, yang baru gabung ke sekolah pas sudah kelas 2 SMA.

Sekedar info, angkatan perdana di SMUDAMA langsung duduk di bangku kelas 2. Pertama kali SMUDAMA dibuka dan menerima siswa baru, hanya ada dua asrama. Barulah saat pertengahan tahun 2003, kamar Melati dan Anggrek yang awalnya adalah asrama putri beralih fungsi jadi Asben (asrama putra kedua).

Kami termasuk generasi yang beruntung, menikmati gedung-gedung baru asrama, lemari yang baru, kasur yang baru, seprai baru, meja yang baru. Pokoknya semua baru.

Di dalam kamar ada 2 ranjang bertingkat, 2 lemari dua pintu, dan 4 meja. Singkat cerita, berkumpul lah kami dari berbagai daerah, berinteraksi selama tiga tahun dalam suka dan duka dengan berbagai macam karakter. Ada yang cerewet, ada juga yang pendiam, jarang terdengar suaranya, hanya senyumnya yang senantiasa tampak.

Ada pula yang suaranya keras bak halilintar, ada yang kalem. Ada yang suka nyanyi, ada yang suka berpuisi. Ada yang selalu tampak ceria, ada yang sering tampak sendu. Ada yang suka ngejoke, ada yang selalu tampak serius. Ada yang sering banget sariawan, ada yang selalu pilek. Pokoknya macam-macam lah.

Ruang makan yang diberi nama Ruang Saji Maccini Baji merupakan tempat kami berkumpul setiap pagi, siang, dan malam. Di sana setiap meja mampu menampung enam orang. Kami makan pakai ompreng, seperti di rumah sakit. Lauk sudah dibagi dengan porsi yang sama. Makanya tidak ada yang mau semeja dengan “gerombolan si berat (GSB)”. Soalnya ga bakal dapat makanan karena jatah di ompreng akan mereka sabotase. Maklum aja, mereka anaknya gede-gede atau tinggi-tinggi jadi porsi makannya tentu butuh lebih dari yang lain.

Berhubung porsi setiap orang sama, ya satu-satunya solusi adalah mengambil dari ompreng yang pemiliknya ga hadir atau telat. Jadi jangan coba-coba telat masuk ke ruang saji, karena pasti kursi yang kosong cuma yang di mejanya GSB. Untung kalau mereka masih berbaik hati menyimpankan makanan di ompreng lain di meja itu.

Secara fisiologis sih wajar aja mereka sabotase begitu karena jelas kebutuhannya lebih besar. Kalau tidak, mereka akan relatif kekurangan glukosa dan jadi lebih gampang ngantuk di sekolah. Didukung dengan dinginnya suhu pegunungan, angin semilir yang berhembus lebih gampang menggiring ke dunia mimpi. Tak heran kalau wajah-wajah tertunduk ngantuk saat guru menjelaskan adalah pemandangan biasa di kelas. Bahkan bukan cuma GSB yang mengalaminya. Termasuk saya kadang-kadang, padahal saya termasuk kurus dengan tinggi sedang aja. Makanya guru-guru kami sukanya pakai metode diskusi dalam mengajar, untuk mencegah siswa-siswanya tertidur. Karena metode ini mengharuskan kita aktif mendengar dan berbicara.

Tidak cuma muridnya yang punya berbagai karakter, guru di SMUDAMA pun punya karakter yang bermacam-macam. Ada yang suaranya lembut, ada yang menggelegar. Ada yang serius tapi suka ngelucu, ada yang emang serius dan “menakutkan”, ada yang memang wajahnya sudah selalu terlihat lucu. Sebagian besar dari mereka adalah guru-guru baru, masih muda, cerdas dan visioner. Patut diacungkan jempol pada yayasan yang sudah menyeleksi guru dengan baik.

Guru-guru berbaur akrab dengan siswa-siswanya, terkadang jadi pembimbing, terkadang jadi teman. Tak heran, hingga kami lulus, mereka masih memperhatikan perkembangan kami. Guru-guru yang penuh dedikasi ini rela tinggal di rumah dinas yang terisolir, membersamai para siswa. Di pagi hingga siang mengajar, sore jadi pembina ekskul, malamnya jadi guru les alias pemantapan.

Pemantapan itu kegiatan belajar malam di kelas untuk pengayaan materi. Terutama terkait persiapan ujian masuk perguruan tinggi nanti. Paling seru kalau pas kerja soal, tiba-tiba mati lampu. Gelap-gelapan deh kami belajarnya.

Walaupun di gunung, kami tetap punya ekskul. Ada paduan suara, ada karate yang jadwal latihannya 2 minggu sekali dan semua siswa wajib ikut. Ada PMR dan Pramuka. Di karate, yang paling menyiksa bukan karatenya tapi justru pemanasannya. Pernah kami disuruh lari keliling sekolah 3x putaran. Padahal larinya menanjak hingga ke gerbang sekolah.

Lompat kodok juga hampir selalu ada. Nah, di awal-awal menjalani yang namanya lompat kodok, asam laktat numpuk di betis kayak batu kecil yang terasa banget mengganjal otot-otot gastrocnemius pas turun tangga. Sakitnya bukan kepalang. Walhasil, enakan kita turunnya mundur, kayak petugas pengibar bendera paskibraka saat mengambil dan mengembalikan bendera ke Bapak Presiden setiap 17 Agustus.

Sit up juga hampir selalu dijalankan. Habis sit up, hingga beberapa hari ke depan, kalau kami tertawa, otot-otot perut pun terasa sakit tertarik-tarik.

Bukan cuma belajar dan berekskul. Kami juga tetap dibimbing untuk kerohanian. Setiap Magrib dan Subuh wajib salat di masjid sekolah dan ada absen setelah salat. Setiap siswa akan dapat giliran kultum, kuliah tujuh menit. Malam Jumat kami yasinan. Kok waktu itu bukan baca Al Kahfi ya? Ya, saya juga ga ngerti kenapa, mungkin waktu itu hadis tentang keutamaan baca Al Kahfi di malam Jumat belum banyak yang tahu. Namanya ilmu, bukan cuma ilmu sains yang berkembang tapi juga ilmu agama. Alhamdulillah  sekarang sudah berganti ke Al Kahfi.

Walaupun kami sudah rasa saudara, tetap ada yang namanya kompetisi. Kompetisinya biasanya lebih bersifat kelompok, misalnya antara ekskul PMR dan pramuka. Atau antara kelas IPA 1 dan IPA 2. Pada waktu itu, jumlah kelas hanya 2. Akibatnya, kompetisi antar kelas ini terasa banget pas di pameran dan pagelaran seni. Saat itu kami ada pementasan musik, drama, pameran karya baik gambar, lukisan, dan aneka hasil kerajinan tangan lainnya. Lokasinya ya di kelas kami masing-masing.

Untuk pagelarannya biasanya di lantai 1 perpustakaan, yang namanya Perpustakaan Anakukang. Perpustakaan ini jadi semacam aula kecil buat kami. Di sanalah kami dikumpulkan setiap kali menyambut tamu-tamu pejabat yang berkunjung. Karena adanya kompetisi itu, bakat seni kami akhirnya terpaksa terasah. Banyak yang jadi jago main gitar, bermain peran, dance, dan lain-lain. Kalau ini harus diceritakan dalam satu judul sendiri sih.

Masih banyak cerita tentang Anak Gunung yang tentu tidak bisa dipaparkan dalam beberapa paragraf tulisan ini. Tentang perjuangan mereka mencari sumber air, karena air yang sering ngadat. Berbondong-bondong membawa ember masing-masing untuk air mandi, BAB, dan mencuci. Melalui medan yang tidak mudah, jalan berbukit yang menanjak dan licin. Sampai di asrama, air yang tadinya seember tinggal setengah. Hiks.

Ketika air berhenti mengalir seperti itu, suara air yang mulai kembali mengalir dari keran menjadi salah satu suara terindah. Eh, tapi jangan dikira karena air sering ngadat, saya jarang mandi. Selama di sana, saya termasuk paling lincah pergerakan ke toilet kelas, atau toilet masjid untuk ngambil air. Harus pandai-pandai juga memakai airnya. Bagi saya 3 timba air sudah cukup untuk mandi. Timba pertama untuk basahin badan sambil memakai sabun, kemudian dua timba untuk bilas, tapi pelan-pelan supaya semua bagian tubuh terkena air.

Cerita lain yang tentu memberi kenangan bagi banyak penghuni asrama adalah ramainya selasar di waktu malam, terutama setelah makan malam. Maklum namanya remaja yang hormonnya sedang meningkat secara alami kemudian bermunculan pasangan-pasangan yang senantiasa menjadi penghuni selasar.

Ada juga cerita tentang kumpulan siswa yang berani coba-coba memanggil Jailangkung menggunakan jangka pada malam hari setelah jam pemantapan. Ini sebelum rilis film Jailangkung di bioskop-bioskop loh.

Juga tentang lomba-lomba yang kami ikuti, harus turun gunung berhadapan dengan para siswa sekolah-sekolah unggulan di Makassar dan berhasil meraih juara. Pertama kali kami turun gunung ikut lomba Biologi dan 3 tim yang masuk final semuanya dari sekolah kami. Pun ketika kami bolak balik mengikuti tahapan cepat tepat TVRI mulai dari penyisihan, semifinal hingga akhirnya juara 1 di final.

Banyak lagi cerita-cerita seru, kenangan-kenangan indah yang tentu berbeda bagi setiap orang. Tak terasa, tiga tahun berlalu begitu cepat dan saatnya kami berpisah, melanjutkan cita-cita kami msing-masing di berbagai kota di negeri ini. Yang jelas persaudaraan itu terus berlanjut hingga 20-30 tahun setelahnya. Tolong-menolong, bantu-membantu layaknya saudara kandung adalah hal yang lumrah. Itulah sedikit kisah sekolah di atas awan di tahun 90-an.

Sekolah kami kini berubah nama menjadi SMA 5 Gowa. Semoga tetap menjadi istana bagi pribadi-pribadi yang mandiri, tangguh, berprestasi, dan berakhlak mulia. Akhirnya, ini sedikit gubahan lirik di atas, seperti yang biasa kami lakukan di sekolah, mengubah lirik sebuah lagu ke lirik yang lebih relate dengan kami.

Kucritakan untukmu, sebuah kisah tentang skolah di awan. Di mana persaudaraan menjadi istananya. Dan kini tengah kubawa. Kamu menuju ke sana.

Yenni

Keterangan:
Keder: takut; gentar; gemetar.
anu: yang tidak disebutkan namanya (orang, benda, dan sebagainya).
Pete-Pete: istilah lokal bagi mobil angkutan umum di Makassar.
gastrocnemius: otot pada betis yang menghubungkan knee joint dan ankle bagian posterior. Otot gastrocnemius merupakan sebagian besar otot betis.
Ekskul: singkatan dari kata ekstra kurikuler.
PMR: singkatan dari Palang Merah Remaja.
Sit up: istilah olahraga yang merujuk pada gerakan mengangkat tubuh bagian atas yang dilakukan dengan bertumpu pada pinggul dan panggul dengan lutut sedikit ditekuk ke atas.
BAB: singkatan dari buang air besar.
relate: istilah bahasa Inggris yang secara kolokial digunakan untuk menggambarkan sebuah peristiwa/pengalaman yang dirasakan mirip dengan yang dirasakan orang lain.

Penulis : Yenni Yusuf
Editor : Faudzan Farhana
Gambar : Uli’Why

5 thoughts on “SMUDAMA: Sekolah di Awan”
    1. Alhamdulillah kalau pak Nurdin masih ingat, pas cawu 3 anjlok jadi 8 pak heheh….masya Allah, pak Nurdin guru keren kami di SMUDAMA, yang menuliskan buku pelajaran di usia yang masih muda, smg banyak alumni yang bs mengikuti jejaknya pak…aminn

  1. Alhamdulillah, pak, tks bimbingannya selama di sekolah. Salah satu guru terkeren kami, sudah menulis buku pelajaran terbitan nasional di usia yang masih muda, smg alumni ada yang bisa mengikuti jejaknya ….Saya kira bapak sdh lupa, nilai saya anjlok jadi 8 di cawu terakhir setelah dapat 10 terus heheh….

  2. Dulu sekolahku (MAN Model) pernah berkunjung ke sini di tahun 2001 kalau nda salah. Saya sering juga bertemu dgn anak2 Smudama kalau ada lomba2 di Makassar. Dalam hati takjub banget sama siswa2nya krn mereka rata2 cerdas dan rendah hati. Nahh akhirnya dapat deh suami alumni Smudama 😄

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!